Jakarta, Portonewscom-Tingkat urgensi isu kesehatan jiwa yang sangat tinggi di Indonesia menjadi alasan kuat berdirinya Kaukus Masyarakat Peduli Kesehatan Jiwa yang dideklarasikan pada Selasa, 14 November 2023, di Perpustakaan Nasional, Jakarta.
Para inisiatornya terdiri dari sejumlah tokoh, yakni Prof. Dr. dr. Nila Djuwita F. Moeloek, Prof. Dr. FX Mudji Sutrisno, SJ., Prof. Dr. Drs. Semiarto Aji Purwanto, M.Si., Dr. Adriana Elisabeth, Dr. Ray W. Basrowi, Maria Ekowati, dan Kristin Samah.
“Kehadiran Kaukus ini menjawab tantangan betapa masalah kesehatan jiwa saat ini merupakan hal yang sangat urgen,” kata Dr. Ray Basrowi, dalam keterangan yang diterima PORTONEWS, (14/11/2023).
Sebelum mendeklarasikan Kaukus, mereka melakukan studi dan survei terlebih dahulu. Tak main-main, survei eksploratif dilakukan pada sejumlah responden yang terdiri dari para akademisi, psikolog, dokter spesialis, praktisi kesehatan masyarakat, organisasi masyarakat sipil, sosioantropolog/budayawan, media, dan kalangan swasta.
Hasilnya, sebanyak 82% responden menyatakan bahwa isu kesehatan jiwa sangat penting dan 12% menyatakan penting. Studi juga menemukan 5 urgensi dan 3 esensi kesehatan jiwa di Indonesia. Dilihat dari dimensi prioritas isu kesehatan jiwa, terdapat 27 dimensi dengan 5 value preposition kesehatan jiwa di Indonesia.
Adapun lima urgensi isu kesehatan jiwa di Indonesia dapat dipaparkan sebagai berikut. Pertama, kesehatan jiwa berdampak multisektor karena merupakan bagian dari kondisi kesehatan yang komprehensif. Sehat tidaknya jiwa seseorang akan mempengaruhi tingkat produktivitas dan menentukan kualitas hidup serta pencapaian generasi selanjutnya.
Tingkat urgensi kedua menunjukkan lapisan paling serius menyasar pada anak, remaja, dan usia produktif (dewasa yang bekerja). Peningkatan kasus kejiwaan terjadi di berbagai tahap/siklus hidup. Peningkatan besaran masalah kesehatan jiwa terjadi pada usia remaja dan produktif.
“Urgensi ketiga adalah minimnya edukasi dan distribusi informasi yang tidak tepat,” ujar Ray.
Sementara dua urgensi lainnya, isu kesehatan jiwa menjadi prioritas masalah di dunia tetapi belum menjadi prioritas di Indonesia. Dan yang terakhir, penyebab masalah kesehatan jiwa di Indonesia berkaitan erat dengan persoalan ekonomi, sosial, dan budaya.
Tiga esensi kunci yang menjadi faktor pendorong tingkatnya urgensi masalah kesehatan jiwa adalah: (1) Adanya stigma yang luas dan masif terhadap penderita gangguan kesehatan jiwa; (2) Lingkungan spesifik terutama pada tingkat keluarga, sekolah, dan tempat kerja yang sebagian besar tidak ramah kesehatan jiwa; dan (3) Fenomena self-diagnostic terutama terjadi di kalangan, remaja, anak sekolah, dan pekerja.
Yang menarik, dari sekian banyak matriks isu prioritas dan esensi masalah kesehatan jiwa di Indonesia, terselip beberapa komponen, seperti penggunaan gawai tak terkontrol pada anak dan remaja, beban generasi sandwich, pencarian jati diri, pengaruh media sosial, serta problem emosi, perilaku dan kekerasan berbasis keluarga.
Temuan kelompok faktorial ini secara langsung mengoneksikan benturan nilai antargenerasi, yang terintegrasi dengan teknologi digital dan sosial media, terhadap isu prioritas kesehatan jiwa anak muda Indonesia.
Benturan nilai antargenerasi ditambah dampak ikutan dari revolusi teknologi digital
dan sosial media menjadi pemicu tingginya kasus kesehatan jiwa.
Solusi atas benturan nilai antargenerasi itu dapat dijembatani dengan sesering mungkin
dilakukan dialog antargenerasi. Perubahan sikap, perilaku, dan cara pikir generasi muda saat ini sangat dipengaruhi revolusi teknologi dan informasi, termasuk di dalamnya sosial media.
Perubahan pengaruh inilah yang sering kali tidak dipahami generasi yang lahir. sebelumnya.
Menurut Kristin Samah, salah satu inisiator yang baru saja meluncurkan buku Menulis Membaca Kehidupan, kelompok umur anak sekolah, remaja, dan usia produktif merasakan dampak paling berat dari perubahan cara hidup saat ini sehingga seringkali mengalami benturan dengan orang tua atau orang dewasa di sekitarnya.
“Hal ini juga bisa dirasakan di tempat kerja. Mudahnya mengakses informasi melalui internet membuat generasi muda memiliki pengetahuan sangat luas,” tambah Kristin.
Namun di sisi lain, informasi yang diperoleh di internet bila tidak diimbangi dengan eksplorasi pada sumber yang memiliki kredibilitas tidak akan memiliki kedalaman sehingga proses internalisasi informasi akan menimbulkan guncangan.
“Inilah yang berpotensi mengganggu kesehatan jiwa. Terkait dengan kemudahan memperoleh informasi itu juga bisa dilihat dari maraknya anak-anak muda melakukan self diagnostik untuk mengukur tingkat kesehatan jiwanya. Sudah banyak kasus yang membuktikan kesalahan diagnostik akan berakibat fatal karena tidak mendapat penanganan dengan baik,” ungkap Kristin.
Niat Bunuh Diri Anak Muda
Menurut Dekan Fisip UI, Semiarto Aji Purwanto, niat bunuh diri di kalangan anak muda sudah masuk ke kategori clinically important.
Kategori itu mengarah pada angka toleransi seriously considered suicide. Indikasi ini
diinterpretasikan perlunya intervensi penanganan masalah kesehatan jiwa lebih dari business as usual.
Dijelaskan Aji, hasil skrining kesehatan jiwa pada mahasiswa baru Fisip UI menunjukkan niat bunuh diri tidak mengalami peningkatan polynominal. Itu artinya tidak terjadi situasi luar biasa yang mengarah ke niatan ingin bunuh diri secara masif, katanya. Namun hal itu tidak mengurangi peringatan untuk memperhatikan isu kesehatan jiwa pada generasi muda.
Interpretasi hasil skrining kesehatan jiwa mahasiswa baru menunjukkan keinginan bunuh diri berada di angka 10,8%, di bawah kategori seriously considered suicide yang dipatok pada angka 18,8%-25,5%. Sejak 2019, UI melakukan skrining untuk mahasiswa baru menggunakan metode self reporting quesionaire (SRQ).
Di tahun 2019 keinginan bunuh diri mencapai
benturan nilai antargenerasi ditambah dampak ikutan dari revolusi teknologi digital dan sosial media menjadi pemicu tingginya kasus kesehatan jiwa. Permasalahan kesehatan jiwa tidak hanya melanda Indonesia tetapi seluruh dunia. Sayangnya, isu yang sudah menjadi perhatian global itu belum terlalu menjadi fokus di Indonesia.
Solusi atas benturan nilai antargenerasi itu dapat dijembatani dengan sesering mungkin
dilakukan dialog antargenerasi. Perubahan sikap, perilaku, dan cara pikir generasi muda saat ini sangat dipengaruhi revolusi teknologi dan informasi, termasuk di dalamnya sosial media.
Perubahan pengaruh inilah yang sering kali tidak dipahami generasi yang lahir sebelumnya.
Deklarasi Kaukus
Hasil studi tersebut makin menguatkan pendirian Kaukus Masyarakat Peduli Kesehatan Jiwa. Pada butir pertama deklarasi, mereka menyatakan bahwa Kaukus ini merupakan gerakan bersama berbasis komunitas yang menyadari urgensi masalah kesehatan jiwa melalui kegiatan advokasi, edukasi, riset, aksi pencegahan dan mitigasi karena tidak ada kesehatan fisik tanpa kesehatan jiwa. Kedua, Kaukus diinisiasi secara mandiri semata-mata untuk kepentingan kemanusiaan.
Ketiga, Kaukus Masyarakat Peduli Kesehatan Jiwa mendorong para pihak (pemerintah, perguruan tinggi, akademisi, praktisi, organisasi masyarakat dan komunitas, industri, media masa, dan key opinion leader) untuk menjadikan kesehatan jiwa sebagai isu sentral dan prioritas untuk membangun generasi yang sehat jiwa dan raga.
Keempat, Kaukus fokus pada masalah kesehatan jiwa di kalangan ibu dan balita, anak usia sekolah, remaja, usia produktif, dan kelompok rentan. Kelima, Kaukus meyakini bahwa kesehatan jiwa akan berdampak pada aspek psikologis, ekonomi, dan sosial budaya.
Selanjutnya butir keenam, Kaukus Masyarakat Peduli Kesehatan Jiwa mendorong pemerintah sebagai fasilitator dan regulator menyusun program penanganan kesehatan jiwa sejak dini mulai dari masa 1000 HPK, pendidikan dasar dan menengah sebagai bentuk penguatan karakter.
Terakhir, butir ketujuh, Kaukus Masyarakat Peduli Kesehatan Jiwa mendukung para pihak untuk berjejaring dalam meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya kesehatan jiwa serta cara-cara penanganannya secara tepat.