Jakarta, Portonews.com – Menteri Kesehatan Budi G. Sadikin mengungkapkan dua pendekatan krusial yang dilakukan oleh sektor kesehatan dalam menghadapi masalah polusi udara di Indonesia. Pernyataan ini disampaikan dalam rapat terbatas yang digelar di Istana Negara beberapa waktu lalu.
Salah satu upaya yang diambil oleh Kementerian Kesehatan adalah penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan yang khusus ditujukan untuk mengatasi penyakit yang disebabkan oleh polusi udara, terutama di wilayah Jabodetabek.
”Kami berkoordinasi dengan fasilitas kesehatan untuk menangani pasien. Jenis penyakit pernafasan seperti apa yang terjadi, misalnya ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut), bisa ditangani di puskesmas, sementara kasus pneumonia perlu dilakukan pemeriksaan rontgen di rumah sakit,” ujar Budi.
Sebanyak 674 puskesmas telah disiapkan untuk melakukan pemeriksaan ISPA dengan menggunakan alat aspirator. Selanjutnya, ada 66 rumah sakit di wilayah Jabodetabek yang telah diarahkan untuk melakukan pemeriksaan pneumonia dengan alat rontgen.
Menteri Kesehatan juga mengungkapkan bahwa RSUP Persahabatan telah diberi peran sebagai koordinator penyakit pernapasan oleh Kemenkes untuk mendeteksi serta mendiagnosis gejala pneumonia melalui pemeriksaan darah lengkap, kultur darah, kultur sputum, dan ID-AST.
Menurut Menkes, polusi udara memiliki dampak serius terhadap kesehatan dan menjadi penyebab utama penyakit gangguan pernafasan di Indonesia, bahkan juga menjadi faktor risiko kematian tertinggi ke-5 di negara ini.
”Kami juga menganalisis penyebab dari penyakit pernafasan ini. Salah satu penyebab dominan adalah polusi udara, yang menyumbang antara 28-37% dari tiga penyakit utama yaitu pneumonia, ISPA, dan asma,” tambah Budi.
Penting untuk dicatat bahwa secara lebih rinci, polusi udara menyebabkan 37% kasus PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis), 32% kasus pneumonia, 28% kasus asma, 13% kasus kanker paru-paru, dan 12% kasus tuberkulosis.
”Yang perlu kami sampaikan di sini, tiga penyakit utama adalah infeksi paru atau pneumonia, ISPA, dan asma. Total biaya pengobatan ketiganya mencapai sekitar Rp. 8 triliun dari total pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN),” sambung Budi.
Menkes Budi menekankan bahwa pemerintah perlu memantau lima komponen udara, tiga di antaranya adalah gas (SOX, CO, NOX), dan dua lainnya adalah zat padat (PM 10 mikro dan PM 2.5).
”Dalam konteks kesehatan, yang paling berbahaya adalah PM 2.5 karena dapat masuk hingga ke pembuluh alveoli di paru-paru, menyebabkan pneumonia. Oleh karena itu, kita fokus pada PM 2.5 dalam hal kesehatan, karena ini juga merupakan penyebab biaya pengobatan terbesar di BPJS Kesehatan,” ungkap Budi.
Untuk meningkatkan pengawasan, Kementerian Kesehatan telah menyiapkan peralatan kit sanitasi untuk puskesmas yang lebih berfokus pada pengukuran indoor. Meskipun bisa digunakan di luar ruangan, peralatan ini tidak dapat digunakan secara terus-menerus untuk memonitor komponen udara, tanah, dan air.
Langkah berikutnya adalah melakukan edukasi kepada masyarakat secara berkelanjutan untuk tindakan pencegahan. Kementerian Kesehatan telah merilis protokol kesehatan untuk pencegahan polusi udara dengan tujuh langkah, yang meliputi pemeriksaan kualitas udara melalui aplikasi atau situs web, mengurangi aktivitas di luar ruangan saat polusi tinggi, menggunakan alat penyaring udara dalam ruangan, menghindari sumber polusi dan asap rokok, menggunakan masker saat polusi udara tinggi, menjalankan perilaku hidup bersih dan sehat, serta berkonsultasi dengan tenaga medis jika ada keluhan pernapasan.
”Kami juga menganjurkan penggunaan masker standar KF 94 atau KN 95 minimal yang memiliki kemampuan menahan partikel PM 2.5, yang berbahaya karena bisa masuk ke pembuluh darah paru-paru,” jelas Budi.