Jakarta, Portonews.com – Dalam menghadapi tantangan dan ancaman krisis pangan global, termasuk di Indonesia, banyak yang melihat pada bioteknologi modern sebagai solusi potensial. Prediksi akan mencapai puncaknya pada tahun 2050, krisis pangan menjadi perhatian serius yang memicu diskusi dan tindakan. Pusat Perlindungan Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian (PPVTPP) Kementerian Pertanian mengadakan Focus Group Discussion (FGD) yang berjudul “PVTPP On Talks #2” pada Kamis, 2 November 2023, dengan tema “Adopsi Bioteknologi Modern: Peluang dan Strategi Masa Depan Pangan.”
Dalam FGD ini, sejumlah pakar dan praktisi bidang bioteknologi modern berkumpul untuk mendiskusikan peran bioteknologi dalam mengatasi masalah ketahanan pangan. Ketua Kelompok Pendaftaran Varietas Tanaman, Lutful Hakim, menyoroti situasi ketahanan pangan saat ini yang semakin memprihatinkan, terutama dengan menipisnya stok pangan.
“Titik kritis utamanya adalah alih fungsi lahan dan produktivitas pangan khususnya padi cenderung stagnan. Dengan 278,70 juta jiwa penduduk Indonesia pada tahun 2023 dan akan mengalami peningkatan sekitar 2,26% pada tahun 2030 atau sekitar 285 juta jiwa, maka dibutuhkan sedikitnya 8 juta hektar lahan sawah untuk mencukupi kebutuhan pangan nasional,” ujarnya. Pemanfaatan bioteknologi modern adalah langkah penting untuk meningkatkan produktivitas pangan.
Lutful Hakim juga menyebutkan bahwa baru ada 10 jenis tanaman pangan yang telah berhasil dimodifikasi dengan bioteknologi modern di Indonesia hingga tahun 2023, termasuk tebu, kentang, dan jagung. Oleh karena itu, pengembangan berkelanjutan perlu dilakukan untuk mencakup lebih banyak jenis varietas tanaman yang dapat dihasilkan melalui bioteknologi modern.

Roy Sparringa dari Komisi Keamanan Hayati menyoroti kondisi ketahanan pangan global yang semakin buruk akibat faktor seperti pandemi Covid-19. Banyak negara menghadapi masalah kelaparan kronis dan kurang gizi.
Di Indonesia, sekitar 95 persen penduduk masih kekurangan asupan buah dan sayur, dan masalah gizi seperti obesitas dan stunting masih menjadi prioritas.
“Stunting memang mulai berkurang, tapi prevalansinya masih tinggi. Sebenarnya, bila bisa diaplikasi dengan maksimal, bioteknologi modern bisa menjadi solusi ketahanan pangan dan masalah gizi di Indonesia. Di negara lain seperti Vietnam dan Philipina bioteknologi modern sudah lebih berkembang,” tuturnya.
Roy berpendapat bahwa dengan penggunaan maksimal, bioteknologi modern dapat menjadi solusi untuk mengatasi masalah ketahanan pangan dan gizi di Indonesia, mengacu pada pengalaman positif di negara seperti Vietnam dan Filipina.
Tren diet sehat yang semakin populer di Indonesia juga menjadi sorotan Roy. Dia mencatat bahwa tren ini hanya bisa memenuhi sekitar 60 persen dari standar kecukupan gizi dan menimbulkan tantangan baru dalam bentuk emisi karbon yang tinggi. Oleh karena itu, dia berpendapat bahwa regulasi yang lebih jelas sehubungan dengan sertifikasi aman pangan diperlukan.
Dalam konteks ini, Imam Sujono dari PT Syngenta Indonesia membagikan kesuksesan dalam meluncurkan benih jagung bioteknologi pertama di Indonesia dengan kualitas tinggi dan keunggulan ganda. Benih jagung varietas NK Pendekar Sakti, NK Sumo Sakti, dan NK Perkasa Sakti memiliki keunggulan toleransi terhadap herbisida glifosat dan ketahanan terhadap penggerek batang atau Asian Corn Borer/Ostrinia furnacalis. Imam menjelaskan bahwa keunggulan ganda ini dapat membantu petani mengurangi biaya produksi, meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil panen, serta membuat budi daya jagung lebih aman dan nyaman.
Dengan potensi peningkatan hasil sekitar 10-15 persen dibandingkan varietas jagung nonbioteknologi, penggunaan jagung bioteknologi dapat berperan dalam mendukung swasembada jagung di Indonesia. PT Syngenta bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk Badan Riset dan Inovasi Nasional, perguruan tinggi, asosiasi petani, dan badan pemerintahan, dalam menyediakan benih berkualitas dan membantu petani dalam budidaya jagung yang lebih produktif.
Bioteknologi modern memiliki potensi besar dalam menjawab tantangan ketahanan pangan di Indonesia, dan kolaborasi antara pemerintah, industri, dan akademisi menjadi kunci kesuksesan dalam memanfaatkan teknologi ini untuk meningkatkan produksi pangan.