Jakarta, Portonews.com – Maraknya kasus penipuan tawaran pekerjaan melalui aplikasi chat membuat banyak orang menjadi korban. Baru-baru ini, seorang korban berbagi kisahnya di media sosial terkait penipuan yang ia alami. Kisahnya dimulai dengan seorang yang mengaku sebagai Citra, bagian sumber daya manusia dari sebuah perusahaan jasa yang menawarkan pekerjaan paruh waktu.
Pekerjaan tersebut mengharuskan para pekerja memberikan ulasan dan komentar positif di Google dengan imbalan komisi sebesar Rp 10.000 per ulasan, dengan perkiraan gaji harian antara Rp 100.000 hingga Rp 1.000.000. Setelah korban setuju, pelaku mengarahkannya untuk menginstal aplikasi Telegram karena semua instruksi akan diberikan melalui aplikasi tersebut.
Proses Penipuan yang Rumit Melalui Aplikasi Telegram
Setelah calon korban menyatakan kesediaannya, pelaku mengarahkan mereka untuk menggunakan aplikasi Telegram sebagai media komunikasi. Semua instruksi dan tugas akan diberikan melalui aplikasi tersebut. Calon Korban kemudian diminta untuk mengisi data diri dan nomor rekening serta diundang ke grup Telegram oleh pelaku bernama Yasmin. Semuanya berjalan lancar pada awalnya, korban mulai melakukan review di beberapa lokasi dengan komisi yang cair.
Awalnya Berjalan Mulus
Pada awalnya, korban merasa semuanya berjalan lancar. Mereka melakukan ulasan di beberapa lokasi dan menerima komisi sesuai dengan perjanjian awal.
Namun, keanehan mulai muncul di tugas keempat yang disebut sebagai “kerja sama mitra” oleh pelaku. Korban diminta untuk membuat kerja sama fiktif yang konon akan meningkatkan reputasi mitra dan dijanjikan komisi persentase dari jumlah transaksi.
Korban, tanpa curiga, mengikuti instruksi pelaku dan bahkan mentransfer Rp 300.000 ke salah satu rekening pelaku. Ia melanjutkan tugas dengan mereview pelaku dalam tugas 5, 6, dan 7 dengan komisi yang diterima sebesar Rp 30.000.
Mulai Setor Dana
Namun, di tugas ke-8, korban diminta untuk menyetorkan dana sebesar Rp 2.350.000 dengan janji akan mendapatkan komisi sebesar Rp 879.000. Pelaku memindahkan korban ke grup Telegram baru yang diberi judul “VIP” dan dari situlah korban mulai curiga.
Korban mencoba berkonsultasi dengan anggota grup lainnya, tetapi beberapa di antaranya malah mendorongnya untuk tetap menyetorkan dana sesuai instruksi, sepertinya mereka berkomplotan. Akhirnya, korban kehabisan dana dan meminta pengembalian uangnya, namun pelaku semakin sulit dihubungi.
Kecurigaan Terbukti
Kecurigaan korban terbukti ketika pelaku tak lagi membalas pesan pribadi korban, dan ia akhirnya dikeluarkan dari grup Telegram serta nomornya diblokir oleh pelaku.
Korban mengalami kerugian lebih dari Rp 5.000.000 dan kemudian menemukan korban lain yang mengalami hal serupa setelah membuat thread di Twitter.
Kasus ini menjadi peringatan bagi kita semua untuk selalu berhati-hati dalam menerima tawaran pekerjaan yang mencurigakan, terutama melalui platform online. Modus penipuan semacam ini menunjukkan betapa kompleksnya dan meresahkannya ancaman kejahatan di dunia digital. Semoga dengan berbagi pengalaman ini, kita dapat lebih waspada dan menghindari jatuh ke dalam perangkap penipuan serupa.
Pengamat Hukum Menyikapi Maraknya Penipuan ini
Maraknya penipuan tawaran pekerjaan melalui aplikasi chat ini, yang kini berlanjut dengan modus menawarkan lowongan freelance mengisi review Google Maps. Frank Alexander, pakar hukum dari Hotman Paris dan Partner, menyatakan dua hal krusial dalam kasus ini. Pertama, korban harus membayar untuk mendapatkan pekerjaan palsu. Kedua, terjadi pembocoran data pribadi korban.
Menurut Alexander, penipuan semacam ini hanya merupakan modus baru dari para penipu yang selalu mengembangkan cara-cara baru. Pelaku penipuan dalam kasus lowongan freelance review Google Maps cenderung mengincar orang-orang yang baru lulus pendidikan dan belum memiliki pekerjaan. Mereka menawarkan imbalan dari review untuk menarik calon korban yang mungkin membutuhkan penghasilan.
Data Pribadi yang Tersebar
Penting untuk dicatat bahwa pelaku penipuan telah memiliki data pribadi calon korbannya. Dalam mengincar targetnya, oknum penipuan ini tidak mengincar orang-orang yang berduit, melainkan mengandalkan data pribadi yang mudah didapatkan di Indonesia.
Meskipun terdapat Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi dan UU ITE, pelaksanaan informasi yang membocorkan data belum sepenuhnya mendapatkan hukuman pidana.
Terkait uang yang menjadi korban penipuan, banyak dari mereka lebih memilih untuk tidak melaporkan kasusnya, terutama ketika jumlah kerugian relatif kecil. Masyarakat Indonesia cenderung enggan melapor, dan efek laporan baru terasa saat ada dukungan kolektif dari banyak korban yang melaporkan hal serupa.