Jakarta, Portonews.com-Berbicara soal seni, jangan ditanya lagi. Orang-orang Bali seperti hidup dalam berkesenian. Bahkan, dari berkesenian tersebut memunculkan produk seni hasil kreativitas dengan nilai ekonomi yang dapat menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat setempat.
“Kalau di Bali itu kayak kita berlomba-lomba kreativitasnya. Kalau tidak berkreativitas pasti tertinggal, karena tamu mancanegara selalu datang ke Bali membawa fashion baru, mau tidak mau kita harus mengikuti bahkan harus mendahului. Itu yang membuat kita terpacu, makanya banyak sekarang muncul desain-desain Bali yang menggunakan kain tenun khas Bali. Apalagi juga didukung oleh Gubernur Bali untuk munculnya para desainer Bali,” kata Ida Ayu Eka Putri Yuliandari, pemilik Dewi Sita’s Authentic Leather, saat berbincang dengan PORTONEWS, di Gedung SMESCO, Jakarta, (8/6/2023).
Atas dasar kreativitas tersebut, wanita yang akrab disapa Ayu ini mulai menciptakan karyanya sendiri. Ia pun rajin mendesain tas, dompet, clutch, pouch, hingga cinderamata untuk dipasarkan.
Dewi Sita’s Authentic Leather lantas lahir dari tangan Ayu di tahun 2017. Ayu mengisahkan, perjalanan bisnisnya ini berawal dari pertemuannya dengan seorang buyer dari Australia, dimana orang tersebut mencari perajin asal Bali. Kemudian, ia membuat produk berbahan dasar kulit, namun lambat laun Ayu mulai melakukan inovasi dengan memasukkan unsur ukiran khas Bali dalam motif produk-produknya.
“Inspirasinya buat sesuatu yang orang lain tidak punya dan saat orang pakai itu tidak murahan. Jadi kita buat desain yang maksimal ada dua atau tiga motifnya dan ketika orang memakainya akan percaya diri, itu motivasi dibalik desain-desain saya,” ujar wanita kelahiran Jembrana, 21 Juli 1989 ini.
Sementara, Ayu pada dasarnya memang senang membuat atau mendesain sesuatu. Namun, ia cenderung tidak terlalu mengikuti mode fashion, desainnya justru terkesan tabrak-tabrak.
“Saya bikin sesuatu yang beda, etnik, unik, bahkan kadang hanya saya yang pakai. Sebenarnya kita lebih menjaul ide dan kreasinya,” ucapnya.
Ayu mengakui sudah puluhan tas ia desain sendiri dan peminat karya-karyanya pun terbilang lumayan banyak. Hal ini dikarenakan ia mempromosikannya di media sosial dan memiliki reseller.
“Ada sekitar lebih dari 20 tas yang saya desain. Kalau pouch kita menggunakan bahan kulit yang premium, jadi dia lentur. Dari besinya kita pakai yang black nikel jadi antikarat,” tambahnya.
Lalu, untuk harganya cukup bervariasi, tergantung sedikit banyak pemakaian bahan kulitnya, termasuk dari sisi kerumitannya.
“Harganya variatif, mulai dari Rp200.000 sampai mahalnya tergantung seberapa banyak menghabiskan (bahan) kulit. Kita hitung dari kulit dan pengerjaannya. Kita juga terima custom juga dari konsumen yang ingin memesan,” ungkap Ayu.
Menurut Ayu, paling cepat pengerjaan sebuah produk itu berkisar lima hari untuk craft and painting. Sebaliknya, untuk pengerjaan selesai dalam satu hari adalah produk souvenir.
“Pengerjaan paling cepat bisa satu hari. Kadang mereka emergency banget untuk kado. Instansi juga begitu pesan, kita harus siap. Souvenirnya ada gantungan kunci, pouch kombinasi kain endek dengan kulit, ada juga ikat pinggang, name tag, tergantung permintaan pelanggan,” papar gadis berkulit sawo matang ini.
Sebagai informasi, kain endek merupakan kain tradisional khas Bali yang sudah memiliki hak paten dari Kementerian Hukum dan HAM, bersama dengan kain rangrang.
Sebelumnya, di masa pandemi Covid-19, Ayu mengatakan, usahanya mengalami penurunan, tetapi tidak terlalu turun signifikan.
“Waktu Covid kita masih jualan karena untuk souvenirnya. Pas Covid (penjualan) memang menurun tapi masih tetap jalan. Penurunannya lumayan, masih 40 persen berjalan,” jelasnya.
Meski demikian, Ayu tetap optimis usahanya bisa terus berjalan, tidak lain karena ia sudah mempunyai pelanggan yang biasa membeli karyanya. “Di toko biasanya tiga sampai empat pieces terjual. Kalaupun tidak ada yang datang, ada orderan custom yang datang,” tambahnya.
Dalam hal promosi, Ayu tidak hanya memanfaatkan sosial media, melainkan ia juga mengikuti berbagai pameran kerajinan. Pasalnya, Pemerintah Kabupaten Badung menaruh perhatian pada para perajin Bali dengan memberikan banyak sekali kesempatan pameran.
“Beberapa waktu lalu kami ikut Inacraft di Jakarta. Di Badung juga banyak dibuatkan event. Biasanya kita dibuatkan galeri di Badung. Ada saja kunjungan kerja para ibu dari beberapa daerah dan mereka interest dengan apa yang kita punya dan persiapkan untuk mereka,” imbuh Ayu.
Dalam perjalanannya membangun bisnis kerajinan ini, Ayu sudah mempunyai beberapa pegawai. Dengan kesadarannya, ia turut menyertakan BPJS Ketenagakerjaan untuk para karyawannya sebagai bentuk tanggungjawab Ayu.
“Untuk mendukung para tenaga kerja saya, dibuatkan BPJS Ketenagakerjaan. Namanya juga hidup, seandainya terjadi, nafas itu punya Tuhan, untuk acara diakhir itu biar tidak memberatkan keluarga. itulah saya anggap mereka bekerja untuk saya, mungkin sekecil itu saya bisa memberi tapi semoga bermanfaat untuk mereka,” ucapnya.
Seakan tak ingin berhenti, Ayu berharap kedepannya ingin membuat desain kombinasi, memadukan unsur budaya Bali dengan budaya lain yang ada di Indonesia.
“Kedepannya saya ingin mengkombinasi tidak hanya dari budaya Bali, misalnya dari Kalimantan. Rotannya mereka itu berbeda. Saya pikir, mengombinasikan carvingan kita dengan rotan mereka. Jadi menghasilkan perpaduan, tidak hanya dari satu material, bisa custom dengan beberapa material dijadikan satu,” tuturnya.
Dan, tidak ketinggalan adalah cita-citanya ingin bertemu buyer luar negeri yang bisa mengakui budaya Indonesia, dengan menuangkannya dalam karya tas yang ia buat dan layak untuk dihakpatenkan.