Jakarta, Portonews.com – maraknya fenomena pinjaman online atau pinjol yang banyak menjerat perempuan di Indonesia, membuat Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) memberikan perhatian khusus.
Plt. Asisten Deputi Asdep Pengarusutamaan Gender Bidang Ekonomi KemenPPPA, Eko Novi Ariyanti mengungkapkan, perempuan kerap menghadapi hal tersebut dikarenakan tertinggalnya kecakapan literasi perempuan di dunia finansial, transformasi digital, dan cybersecurity dibandingkan dengan laki-laki.
“Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat persentase sebesar 54,95% perempuan mendapatkan pinjol sementara laki-laki sebesar 45,05% pada tahun 2021. Hal tersebut menunjukkan bahwa perempuan lebih rentan menjadi korban dan sasaran pinjol ilegal karena perempuan memiliki literasi finansial yang relatif lebih rendah dibandingkan laki-laki meskipun perempuan dianggap paling bertanggung jawab dalam urusan domestik,” ungkap Eko Novi.
Eko Novi menjelaskan, rendahnya literasi finansial yang dihadapi oleh perempuan merupakan salah satu dari kesenjangan gender yang dirasakan oleh perempuan. Tidak hanya minimnya literasi finansial semata, perempuan pun kurang mendapatkan sosialisasi pengetahuan mengenai cybersecurity terkait keamanan dan perlindungan sistem, data diri, jaringan, privasi, serta ancaman serangan digital yang kini tengah marak terjadi di lingkungan masyarakat.
“Perempuan yang terjerat dalam kasus pinjol ini dihadapkan pada kebutuhan mendesak, tekanan ekonomi, biaya kehidupan sehari-hari dan sekolah anak-anak, serta perilaku konsumtif. Keberadaan pinjol yang menawarkan pencairan dana yang mudah, cepat, dan tanpa banyak syarat menjadi pilihan masyarakat untuk memenuhi berbagai macam tuntutan yang dihadapi. Namun, keberadaan pinjol ilegal berbunga tinggi mengakibatkan masyarakat justru terlilit hutang dan perempuan menjadi salah satu korban terbanyak,” jelas Eko Novi.
Lebih lanjut, Eko Novi menuturkan, terjeratnya perempuan dalam pusaran pinjol mengakibatkan dampak yang luar biasa. Perempuan tidak hanya mengalami kekerasan secara psikis dan fisik semata, tetapi tekanan sosial dimana dalam beberapa kasus ada yang mengakibatkan hilangnya nyawa atau bunuh diri. Fenomena pinjol tidak hanya terjadi pada perempuan sebagai ibu rumah tangga semata, namun juga pada mahasiswa hingga anak sekolah turut tereksploitasi.
Sebagai kementerian yang memiliki tugas dan fungsi koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kebijakan di bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, KemenPPPA memiliki 5 (lima) isu prioritas Arahan Presiden Joko Widodo dimana Arahan Presiden (AP) tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam agenda pembangunan Indonesia ke depan serta upaya mencapai Sustainable Development Goals (SDGs), yaitu mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan kaum perempuan dan anak perempuan.
“Dalam menjalankan AP tersebut, KemenPPPA telah melakukan berbagai macam upaya dan strategi, diantaranya edukasi, literasi, dan solusi digital perempuan; kebijakan untuk mendukung ekosistem kewirausahaan; serta hadirnya Strategi Nasional Keuangan Inklusi Perempuan (SNKI-P) untuk memastikan bahwa semua perempuan pelaku usaha di Indonesia memiliki pengetahuan, kapasitas, sumber daya, dan peluang untuk dapat mencapai dan menikmati pemberdayaan ekonomi. Kami juga akan terus melakukan upaya-upaya yang dapat memastikan perempuan berdaya secara ekonomi,” tutur Eko Novi.
Tidak hanya itu, Eko Novi pun menekankan pemanfaatan koperasi yang dapat kembali di gencarkan karena keberadaannya yang berasaskan kekeluargaan dan gotong royong yang sudah ada sejak dahulu. Koperasi memiliki peran sebagai tiang dari pengembangan ekonomi yang berkelanjutan, khususnya bagi kelompok rentan dan marginal. Koperasi pun terbukti mampu membantu dan memberikan akses perekonomian dan sumberdaya kepada perempuan secara berkelanjutan.
“Koperasi merupakan budaya masyarakat Indonesia yang sangat tua yang berawal dari tanggung renteng. Ketika koperasi dibuat dan melibatkan suatu kelompok masyarakat dan salah satu anggotanya meminjam, maka anggota tersebut memiliki rasa tanggung jawab untuk mengembalikan sehingga masyarakat yang di dalamnya pun memiliki kelembagaan keuangan yang sehat dan berkelanjutan,” kata Eko Novi.
Eko Novi menegaskan, upaya prefentif dari praktik pinjaman online yang merugikan masyarakat harus dilakukan secara masif melalui kolaborasi dan sinergi multipihak dari akar rumput hingga instansi lain yang terkait. Tidak hanya itu, akses dan literasi finansial, transformasi digital, serta cybersecurity bagi perempuan pun harus terus ditingkatkan sehingga tidak adanya lagi kesenjangan yang dirasakan oleh perempuan.