Jakarta, Portonews.com – Madura bukan hanya kekerasan. Dibalik budaya keras, Pulau garam ini ternyata menyimpan SDM mumpuni. Di semua lini kehidupan. Tidak terkecuali sektor penerbangan. Bahkan nama Lapangan Udara Halim Perdanakusuma dinisbatkan pada pria kelahiran 18 November 1922 di Sampang Madura, Komodor Muda Udara Halim Perdanakusuma. Nama lengkapnya Abdul Halim Perdanakusuma.
Kini, Madura memiliki Marsekal Muda TNI Chairil Anwar. Dia telah menekuni profesi kedirgantaraan selama 32 tahun. Kunci sukses menapaki karir yang dipegang Marsekal Muda TNI Chairil Anwar adalah; Bekerja dalam bidang apapun harus fokus mempunyai karakter idealis yang dapat mengakomodir seluruh kepentingan. Bila idealis saja, akan banyak mendapatkan benturan dalam pekerjaan. Namun bila hanya mengakomodir seluruh kepentingan akan celaka dalam hidupnya. Nasehat tersebut diperoleh dari (Alm.) Haji. Munawar, ayahandanya. Karena itu tidak heran bila Komandan Komando Pendidikan dan Latihan Angkatan Udara di Kesatuan Mabesau ini menjadi instruktur penerbang andalan Angkatan Udara (AU).
“Sesuatu yang sangat menyenangkan dan membahagiakan diri saya saat menjadi instruktur penerbang apabila anak didik saya lulus di setiap tes terbang di phase kurikulumnya. Motivasi saya adalah saya mendidik untuk menjadikan seorang penerbang. Semoga menjadi amal jariyah hidup saya,” kata pria kelahiran 28 Nopember 1960 di Sumenep Madura pada Portonews, Rabu (30/3/2022).
Pada tahun 2004, alumnus SMA 6 Jakarta ini dipindah tugas ke Jakarta. Tepatnya di MABESAU Cilangkap, sebagai Staf Operasi.
Penerima Bintang Yudha Dharma Pratama ini mengisahkan awal mula minatnya menekuni dunia aviasi. “Saya menyadari mempunyai keterbatasan-keterbatasan dalam diri. Untuk bersekolah maupun bekerja mengharuskan diri saya mencari yang sesuai dengan kemampuan dengan segala keterbatasan kekurangan yang ada pada diri saya,” tutur penerima Satyalancana Dharma Dirgantara.
Semula Chairil remaja mengikuti pendidikan di Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akademi Angkatan Udara) pada tahun 1982. Masa pendidikannya selama empat tahun. Dia masuk jurusan bidang elektronika. Saat masih duduk di tingkat tiga, kebetulan diselenggarakan tes seleksi untuk penerbang. “Saya coba ikut tes. Alhamdulillah, lulus. Di tingkat empat, saya berada di Jurusan Penerbang dengan masa pendidikan selama delapan belas bulan,” kata Chairil yang lulus AAU pada 20 September 1986.
Tidak berpuas diri, penerima Bintang Swa Bhuana Paksa Pratama ini melanjutkan pendidikannya di Sekolah Penerbang hingga lulus bersama Korps Penerbang. Ketika itu alumnus SMP 1 Sumenep ditempat tugaskan di Bogor. Tepatnya di Skadron Udara 6 Lanud Atang Sanjaya.
“Di Skadron Udara 6 Lanud Atang Sanjaya sampai tahun 1995, dan saya melaksanakan pendidikan Sekolah Istruktur Penerbang Angkatan Udara di Yogyakarta lulus dengan panggilan Jupiter 322, dan ditempatkan menjadi Instruktur Penerbang sampai tahun 2002,” papar Komandan Lanud Samratulangi di Sulawesi Utara ini. Dia bertugas di sana hingga tahun 2004.
Diakui Chairil dalam pekerjaan penugasan tersebut dirinya kerap berpindah tempat. Tentu ada tantangannya tersendiri. Misalnya soal pendidikan anak-anak. “Saya selalu memilih pendidikan anak-anak di sekolah yang memiliki kurikulum pendidikan yang selaras dengan kurikulum pendidikan awal sekolah anak. Saya dan istri selalu mengikuti hasil tes psikology dan bakat anak. Mulai dari SD, SMP, SLTA,” ungkap Chairil yang memiliki hobi naik sepeda dan otomotif.
“Saat waktu senggang, saya bersepeda pada hari-hari libur dengan tujuan untuk melatih motorik diri saya. Kadangkala touring dengan moge atau mobil VW kodok bersama teman komonitas ditempat tujuan berziarah,” kata putra dari pasangan (Alm.) Haji. Munawar dan Hj. Erni Umamiyah.
Sedang untuk pendidikan buah hatinya, Chairil bersama Raden Ayu Hj.Maharani Setyaningsih, sang istri selalu berfikir detil dan memilih pendidikan yang terbaik. Misalnya, tempat sekolah, kuliah, jurusan bidang studi hingga jenis pekerjaan yang bakal dijalankannya.
“Alhamdulillah, anak-anak saya pada akhirnya bekerja sesuai dengan keinginan saya dan istri saya dan sesuai psikology dan tes bakatnya yaitu; bekerja di bidang oil and gas,” ungkap pria yang menerima bintang Seroja pada tahun 1996.
Selama itu, karir alumnus Lemhannas RI tahun 2013 ini lebih banyak ditempatkan di bidang pendidikan di lingkungan TNI Angkatan Udara. “Karena itu, dalam banyak kesempatan tertentu saya selalu mengingatkan staf saya untuk memperhatikan norma-norma etika kehidupan dalam mendidik. Dengan ungkapan lain, seorang instruktur menjadikan orang yang tidak bisa menjadi bisa dalam hal yang positif. Semoga ini menjadi amal jariyah dalam kehidupan,” harapnya. Sebab hidup di dunia hanya persinggahan menuju kehidupan abadi. Untuk menuju ke abadian diperlukan bekal, diantaranya amal jariyah. Dengan demikian, masuk akal bila Chairil dan istrinya telah pula menyiapkan diri menuju ke kehidupan abadi.
“Pada tahun 2015 saya membuat Pamijen/Kuburan untuk saya dan istri saya di Astana Bibis Luhur Solo, dengan tujuan untuk mengingatkan diri saya makna kehidupan diri saya dan keluarga saya,” tutur ayah dari Raden Roro Shara Octaviani. M.S. dan Raden Reza Yudha Angkasa. B.Sc
Disamping itu, pada saat Chairil masih aktif bekerja, dia selalu memohon kepada Allah, semoga pada masanya nanti dirinya beserta keluarga setelah pensiun dapat hidup layak di dalam kehidupan masyarakat. “Setelah pensiun nantinya saya dan istri saya dapat menghadap Allah SWT dengan beban dosa yang tidak berat,” harapnya.
Saat ditanya siapa sosok yang menginspirasi kehidupannya sehingga dapat sukses seperti ini, penerima Bintang Swa Bhuwana Paksa Nararya ini menjawab, “Sewaktu ayah saya masih hidup selalu mengingatkan diri saya, bekerja dalam bidang apapun harus focus dan mempunyai karakter idealis yang dapat mengakomodir seluruh kepentingan, karena apabila idealis saja, maka akan banyak mendapatkan benturan dalam pekerjaan, dan apabila mengakomodir seluruh kepentingan saja, akan celaka dalam hidupnya. Nasehat lainnya ditanamkan adalah harta itu hanya titipan, dan pangkat itu hanya sandangan serta nyawa itu hanya titipan”.
Walaupun telah melanglangbuana, penerima Bintang Yudha Dharma Nararya ini tidak melupakan tanah kelahirannya; Sumenep. Ia masih turut memikirkan upaya pengembangan SDM Sumenep.
“Mohon maaf saya belum bisa menjawab pertanyaan bagaimana meningkatkan kualitas SDM Sumenep, karena saya belum mempunyai tolok ukur. Walaupun demikian, selama ini saya meningkatkan sumber daya manusia, ditempat saya bekerja dengan memperhatikan pada kualitas pendidikan dan menanam karakter,” tutur penerima Satyalancana Wira Nusa.