Jakarta, Portonews.com – Alih alih proyek digitalisasi sebanyak 5.518 SPBU Pertamina – PT. Telkom Indonesia Tbk senilai Rp 3,6 triliun. Proyek ini diresmikan oleh Direksi Pertamina dan Telkom pada 10 Desember 2020. Bahkan dinyatakan sukses dan bermanfaat bagi negara.
Digitalisasi SPBU diframing sebagai capaian Pertamina. Ironisnya, seperti kata kepala BPH Migas (8/1/2021) proyek tersebut tidak sesuai target. Hal ini semakin memperburuk reputasi Pertamina yang lagi terpuruk lantaran 4 kontrak pembelian LNG dari perusahaan luar negeri selama 20 tahun, yang berpotensi rugi puluhan triliun. Demikian diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman, Minggu (10/1/2021).
Menurut Yusri, Kepala BPH Migas Fansurullah Asa menyatakan proyek digitalisasi yang belum genap sebulan berjalan, tidak merekam lengkap nomor polisi kendaraan konsumen pembeli BBM di SPBU. Sebab belum tersedia perangkat video analytic yang bisa merekam nomor kenderaan di semua SPBU Pertamina, sehingga tidak termonitor siapa pengguna BBM subsidi dan BBM khusus penugasan.
Padahal, lanjut Yusri, proyek digitalisasi SPBU itu dilaksanakan berlandaskan surat BPH Migas Nomor 6 Tahun 2013 tentang Sistem Tehnologi Informasi Dalam Penyaluran BBM dan sesuai perintah Menteri ESDM kepada Menteri BUMN, yakni sesuai surat Nomor 2548/10/MEN/2018 Tanggal 12 Maret 2018.
Sedang tujuan proyek digitalisasi SPBU adalah untuk mengontrol apakah penggunaan BBM subsidi tertentu Solar dan BBM khusus penugasan Premium benar tepat sasaran.
Menurut Yusri, mengutip pernyataan Fansurullah, pada tahun 2020, terdapat sekitar Rp 16 Triliun dari APBN untuk subsidi solar yang harus dikontrol. Jika proyek digitalisasi ini tidak bisa mencatat nomor kenderaan pengguna BBM subdisi di SPBU, maka proyek itu akan menjadi sia-sia alias tidak tepat sasaran. Bahkan bisa gagal upaya pemerintah dalam mengontrol BBM subsidi.
“Sebelumnya, pada 7 November 2020 Kepala BPH Migas telah menginformasikan bahwa BPH Migas telah meminta KPK untuk mengaudit teknologi terhadap program IT Nozle ini. Tapi kami tidak tahu apa yang telah dilakukan oleh KPK atas permintaan tersebut,” kata Yusri.
Oleh sebab itu, Fansurullah di awal Januari 2021 kembali menegur Pertamina untuk berani memberikan sanksi kepada SPBU yang tidak melakukan perekaman nomor kenderaan yang membeli BBM subdisidi dengan sistem digital, atau memang sistemnya yang belum sempurna.
Menurut BPH Migas, digitalisasi SPBU sejak awal telah mengalami keterlambatan operasi program ini patut dicurigai ada yang menghambat, karena awalnya oleh Pertamina dan Telkom sudah berkomitmen bahwa sistem digitalisasi bisa beroperasi pada akhir tahun 2018 atau paling lambat awal tahun 2019, namun faktanya sampai awal tahun 2021 belum sempurna programnya sesuai target BPH Migas.
Diketahui, pihak BPH Migas sejak awal November 2020 sudah menyarankan BPK dan KPK untuk menelisik apakah wajar nilai investasi software dan hardware sistem ini bernilai sekitar Rp 275 juta untuk setiap SPBU, karena dugaan mark up sudah menjadi bisik-bisik ramai di lingkungan karyawan Pertamina
Menurut Yusri, pihaknya pada 9 November 2020 telah coba mengkonfirmasi perihal keterlambatan ini pada Direktur Utama Peramina Patra Niaga Mas’ud Khamid yang sebelumnya pernah jadi Direksi di PT Telkom. “Tapi bukan jawaban yang diperoleh, malah memblokir pesan Whatsapp kami,” ungkap Yusri. Sebaliknya, imbuh Yusri, Direktur Enterprise and Business Service PT Telkom Tbk Edy Witjara malah sangat koperatif memberikan penjelasan agak detail tentang progres proyek dan terbuka terkait soal anggaran investasinya yang mencapai Rp 3,6 triliun, terdiri dari investasi dan membangun sistem Rp 1,5 triliun, overhead 5 tahun sebesar Rp 800 miliar dan bunga serta lainnya sebesar Rp 1,3 triliun. “Termasuk mengiyakan ketika kami informasikan bahwa Pertamina harus membayar kepada Telkom Rp 15,25 perliter dari setiap transaksi BBM diseluruh SPBU Pertamina selama 5 tahun,” ungkap Yusri.
Lebih lanjut Yusri mengatakan, “Mengingat program digitalisasi tujuannya untuk mengamankan besaran subsidi BBM yang setiap tahun puluhan triliun agar tidak bocor, sehingga menimbulkan pertanyaan serius terhadap BPK dan KPK apakah serius menindak lanjuti permintaan yang pernah disampaikan oleh BPH Migas untuk melakukan audit tehnologi terhadap sistem IT proyek digitalisasi SPBU ini.”