Kebumen, Portonews.com – Tidak seperti kafe pada umumnya yang terlihat modern dan kekinian, Jati Kopi menjadi tempat ngopi dengan suasana nyaman khas pedesaan.
Bagi pemilik Jati Kopi, Sugiyo, Jati Kopi memang bukan sekedar warung kopi biasa. Dia mengungkapkan, selain menjual kopi, tempat ini juga menawarkan suasana alam dimana pelanggan bisa santai beristirahat dan mengobrol dengan rekan-rekan mereka.
Dilihat dari bangunannya saja sudah menarik, yakni berbentuk rumah adat joglo, ditambah ornamen-ornamen tradisional didalamnya.
Sang pemilik rupanya sengaja membuat kafe tradisional. Hal ini dikarenakan ia sangat menyukai segala bentuk yang berhubungan dengan konsep tempo dulu atau bahasa kerennya, ‘jadul’.
“Saya memang punya hobi koleksi benda etnik zaman dulu. Konsepnya rumah joglo atau limas. Saya bikin kandang sapi tapi untuk ngopi. Karena tampilan rumah zaman dulu di sampingnya ada kandang sapi, sebelahnya lagi ada lesung, ada alat bajak sawah, saya berusaha itu dilengkapi. Harapannya ada unsur edukasi ketika ada orang menanyakan kami bisa jelaskan seperti itulah kehidupan orang di desa. Kami ingin memperlihatkan konsep Jawa tulen,” kata Sugiyo, saat berbincang dengan PORTONEWS beberapa waktu lalu.
Kesukaannya di bidang seni jelas terbaca dari penampilan Jati Kopi. Pria dengan pengalaman karir di pelayaran selama 15 tahun itu berani mencampurkan konsep tradisional dengan sentuhan masa kini. Inilah yang menyebabkan warung kopinya seringkali dikunjungi kaum muda.
Mereka datang bukan sekadar untuk ngopi dan mengobrol, melainkan juga tidak melewatkan kegiatan berfoto dengan background ciamik di sekitarnya. Bahkan, tak jarang tempat ini menjadi sumber inspirasi bagi kalangan seniman yang sering berkumpul di Jati Kopi.
Sementara itu, kopi yang menjadi sajian utama di Jati Kopi tak kalah sedapnya. Arabika dan robusta merupakan jenis kopi andalan di warung ini.
Warung kopi yang berlokasi di Desa Grenggeng, Kebumen ini, memiliki kopi arabika dari Aceh Gayo, Kintamani, Jayawijaya. Lebih seringnya Aceh untuk arabikanya. Kalau untuk robusta ada dari Temanggung, Wonosobo.
“Kadang kalau untuk yang kita beli itu Kintamani, Bali dan Jayawijaya, Papua. Ada juga liberika tapi belum familiar. Tapi yang lebih digemari arabika dan robusta,” tambahnya.
Sugiyo pun tidak menampik bahwa kedua jenis kopi tersebut memiliki penggemarnya masing-masing.
“Bagi penikmat kopi biasanya lebih suka yang arabika karena ada rasa kecutnya. Mereka itu penikmat kopi sungguhan. Kalau yang masih pemula biasanya robusta, seperti kopi Vietnam. Kalau penikmat kopi laki-laki biasanya cenderung memilih arabika, sedangkan yang perempuan memilih robusta dengan gula, jadi enggak terlalu keras,” ujarnya.
“Kami ingin mengenalkan program lomba barista tingkat nasional. Selain ingin mengenalkan Grenggeng sebagai desa wisata juga pegiat kopi Kebumen yang selama ini masih ‘tidur’, dengan adanya lomba barista ini karena tingkat nasional pegiat kopi Kebumen bisa bangun lagi, siap bersaing, berani muncul di permukaan,” ungkapnya.
Kedepan, Sugiyo juga berkeinginan mengembangkan bisnis Jati Kopi lebih luas lagi menjadi sebuah kawasan wisata.
“Mengingat Grenggeng itu juga desa wisata jadi kami inginnya mengembangkan usaha bukan sekedar warung lagi tapi mengembangkan lahan di sebelah warung untuk homestay, ditengah sawah. Kemudian, tidak lepas jika orang ingin mencari kopi juga bisa langsung ke warung kami. Artinya lebih ke alam, kita juga ingin membuat jembatan dan saung,” pungkas Sugiyo.