Kebijakan PLTS Atap yang dipatok hingga 3,6 Gigawatt (GW) bakal menyerap tenaga kerja 120.000 orang. Nilai investasinya sebesar Rp45 – 60 triliun. Menurut Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dr. Ir. Dadan Kusdiana, M.Sc “Ini sangat baik,” kata Dadan. Apalagi di tengah pandemi, saat ekonomi mengalami kelesuan. Kepada Sofyan Badrie dari PORTONEWS, Rabu (29/9/2021) pukul 08.00 WIB di Lantai 2, kantor Ditjen EBTKE di Jakarta Pusat, mantan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) ESDM mendialogkan rencana revisi Permen ESDM No. 49/2018 terkait Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara, perkiraan kerugian PLN sebagai akibat kebijakan ini, dampak pengurangan gas rumah kaca dan lain semacamnya. Berikut petikannya;
Apa latarbelakang rencana revisi Permen ESDM No. 49/2018. Apakah sudah ada titik temu dan kesepakatan dari beberapa pihak?
Di Jakarta dan sekitarnya, jarang sekali kita melihat rumah gedung-gedung menggunakan PLTS. Padahal Permennya sudah cukup lama, Permennya terbit tahun 2018. Sekarang tahun 2021. Yang baru pasang itu baru sekitar 4000 an selama tiga tahun. Permen ESDM itu untuk pelanggan PLN. Jumlah pelanggan PLN sekitar 80 jutaan. Selama tiga tahun baru empat ribu jumlah pengguna PLTS Atap. Bila Permen ini tidak dilakukan perbaikan/perubahan dan dorongan tentu pelanggannya tidak akan bertambah. Jika pun bertambah tiga tahun lagi akan menjadi 8000 dari 4000 an pelanggan. Sekarang ini jumlah pelanggan 4000 dengan 35 Megawatt. Di rumah saya sudah pasang PLTS Atap. Sekarang tinggal menunggu Permennya. Karena yang sekarang ini (Permen) tidak terlalu menarik. Kita tidak bicara bisnis tetapi kita bicara appertize (selera) ke konsumen itu ‘Oh ya kalau saya pasang, seakan-akan saya untung’. Padahal tidak mencari keuntungan juga. Wong ini bukan bisnis. Kan tidak ada jual beli dengan PLN. Jadi, kita ingin menaikkan porsi dari pemanfaatan PLTS Atap sebagai kontribusi terhadap pemanfaatan Energi Terbarukan. Sebagaimana diketahui, Indonesia mematok bauran energi sebesar 23 persen pada tahun 2025.
Apa target 23 persen bauran energi tersebut tidak bakal tercapai bila mengandalkan rencana-rencana energi non surya?
Memang akan tercapai. Apalagi RUPTL telah ditandatangani oleh Menteri ESDM. Target 23 persen akan tercapai pada 2025. Tapi harus ada antisipasi/alternatif lain, yaitu mendorong pemanfaatan PLTS Atap. Hal ini akan memperbesar kemungkinan tercapainya target tersebut. Dari sisi waktu, PLTS Atap juga lebih manageable. Kendati demikian pemerintah juga mendorong PLTP. Tetapi hal itu membutuhkan proses dan waktu lama.
PLTS Atap ini dipastikan lebih cepat?
Ya, pasti lebih cepat dan teknologinya sudah proven dan di mana-mana sudah ada. Ya PLTS Atap. Sedang dari sisi administrasi misalnya dari aspek perizinan akan lebih dipersingkat. Ada perizinan. Ada batasan kapasitas. Ada standar-standar dan mendorong pemanfaatan produksi dalam negeri yang optimal. Jamak diketahui, perusahaan-perusahaan sekarang mengutamakan green product. Misalnya eksport suatu pabrik ke luar negeri, saat ini mulai dilihat juga produksinya menggunakan bahan bakar apa? Apakah menggunakan energi fosil atau berkarbon rendah? Hal seperti ini menjadi isu utama. Di beberapa negara Eropa mulai akan ditetapkan carbon border tax. PLTS Atap menjadi salah satu pendorong ke industri untuk menghasilkan green product sehingga ekspor ini tetap masih berjalan. Kalau tidak, produk kita dikenakan pajak oleh negara yang akan dituju sehingga mengurangi daya kompetitifnya.
Apakah produk PLTS Atap ini semuanya berasal dari produk dalam negeri? Bukankah di negeri kita ada LEN Industri, yang juga memproduksi teknologi panel PLTS Atap?
Kalau sekarang malah lebih banyak dari impor. Kalau kita bicara dari semua unsur untuk pembangkit listrik tenaga surya. Bukan hanya panel. Ada inverter. Ada support-support yang lain, seperti controler dan lain-lainnya yang diatur oleh Menteri Perindustrian berikut juga standar-standar minimumnya dalam road mapnya. Misalnya, ketentuan 40 persen harus produksi dalam negeri. Tetapi ketentuan itu juga belum dipenuhi kalau untuk produksi skala besar. Misalnya, PLTS yang akan dikembangkan di Bali, dengan kapasitas 2×25 Megawatt. Sekarang sedang diurus “relaksasi” untuk TKDN-nya. Karena di dalam negerinya juga tidak bisa support.
Dari negara mana impor komponen-komponen PLTS, termasuk PLTS Atap?
Kalau sekarang penguasaannya dari Cina. Saat ini pemain besarnya tidak hanya Cina. Ada juga Amerika Serikat. Tetapi kalau pabrikasinya Cina yang besar.
Bila ada satu proyek, yang harus diutamakan itu apakah TKDN atau proyeknya agar bisa berjalan?
Ini agak susah menjawabnya. Kalau pendapat saya, dua-duanya harus berjalan beriringan. Yang di dalam negeri maksimalkan hingga ke titik apa sehingga proyek tersebut bisa berjalan. Jadi yang kita lakukan di PLTS Atap ini sekarang, salah satu cara agar skala keekonomiannya tercapai. Kalau kita dorong investasinya supaya tumbuh, industri yang akan membeli dan memanfaatkan maka tentu ini tidak akan tumbuh-tumbuh.
Memang ada satu pendapat yang mengatakan, harus mendorong pembangunan pabrik PLTS nya dulu, baru kemudian pasarnya? Bagaimana komentar Bapak?
Kalau Kementerian ESDM, dari sisi energi. Jadi, kita mendorongnya ke aspek energinya. Kalau Kementerian Perindustrian pasti mendorong ke sisi lainnya. Kedua-duanya pasti ketemu nanti. Ada yang mendorong ke sisi hulunya (pabrikasi). Sedang kita mendorong dari sisi penciptaan pasarnya sehingga skala keekonomiannya masuk.
Berarti saat ini sudah ada titik temu antara Kementerian ESDM dan Kementerian Perindustrian dalam pengembangan PLTS Atap?
Dari awal memang sudah ada titik temu. Tapi nanti ada kasus-kasus tertentu yang memerlukan kebijakan bersama.
Kebijakan bersamanya seperti apa, kira-kira?
Misalnya kebijakan dalam pengembangan PLTS Bali. Di situ ada isu TKDN. Memang dalam Permennya diatur dan ada SOP-nya. Saya dengar TKDN-nya sampai 29 persen dari target 40 persen.
Apa saja keuntungan dari revisi Permen ESDM No. 49/2018. Bisa dijabarkan?
Kita mengharapkan industri hulunya akan tumbuh. Ini kan investasi, sekecil apa pun nilai investasinya dan mau dilakukan oleh siapa pun, baik oleh rumah tangga dan industri dan lain-lainnya, itu semua investasi. Ini menjadi kegiatan ekonomi yang ikut membantu upaya pemulihan ekonomi nasional. Kalau ini berjalan tentu akan menciptakan lapangan kerja. Kan ini ada yang pasang, ada juga yang merawat. Ada yang menjual inverter. Ada yang menjual PLTS nya. Ada yang menjual panelnya dan lain-lainnya. Kalau kita hitung, dari target 3,6 Gigawatt (GW) akan menyerap tenaga kerja 120.000 orang. Ini sangat baik, dengan investasi senilai 45 – 60 Triliun. Di tengah pandemi, saat ekonomi mengalami kelesuan, PLTS Atap menjadi salah satu jalan keluar dan kontribusi bagi pemulihan ekonomi.
Bagaimana kontribusi PLTS Atap terhadap pengurangan emisi karbon yang kini telah menjadi kampanye dunia global?
Sebagai bagian dari masyarakat global, kita juga berkomitmen pada kesepakatan Paris Agreement, penurunan gas rumah kaca (GRK). Salah satunya melalui pemanfaatan Energi Terbarukan dan PLTS Atap. Bila dihitung dari 3,6 GW selama setahun dapat menurunkan 4,6 juta ton. Di dalam Permen ESDM No. 49/2018 juga dibuka potensi perdagangan karbon. Hal ini juga sejalan dengan penurunan GRK. Perdagangan ini dibuka ke kalangan industri/pabrik yang memasang PLTS Atap. Misalnya memasang 1 MW, itu ada nilai ekonomi karbonnya karena menggunakan listrik dari energi yang tidak mengeluarkan CO2. Ini bisa diklaim dapat menghemat emisi CO2 sebesar sekian ton. Jumlah sekian ton tersebut bisa dijual. Agak aneh, emang, he he… Jualannya jualan apa sih? Karena barangnya tidak dapat terlihat barangnya tetapi bisa dihitung, diukur dan ditimbang. Peluang ini kita buka dan sudah berjalan di negara-negara lain. Kalau tidak salah, saat ini sedang direvisi UU tentang Pajak. Dan nanti akan masuk dalam UU Pajak. Selain perdagangan karbon, boleh jadi nanti akan ada pajak karbon.
Ada klaim bahwa PLN (Persero) bakal dirugikan dengan revisi Permen ESDM ini. Bagaimana komentar Bapak?
Ya, memang masing-masing pihak memiliki cara menghitung. Tapi kalau disebut PLN merugi, menurut saya bukan rugi tapi berkurang pendapatan. Begini, kalau saya jualan makanan 100 boks kepada Anda, sedang 3 boksnya saya buat sendiri. Berarti saya hanya bisa menjualnya 97 boks. Saya rugi gak? Tergantung. Bisa disebut rugi. Bisa juga disebut gak rugi. Kalau 97, ya saya beli berasnya untuk 97. Saya masaknya untuk 97. Saya enggak rugi tapi pendapatan saya berkurang. Karena tadinya 100 sekarang jadi 97. Nah ini sama persis dengan PLTS Atap. Jadi PLN akan berkurang pendapatannya dari sisi kWh. Kan kWh nya penjualannya berkurang. Dari sisi ini kita sepakat. Karena jelas. Sekarang yang coba kita samakan adalah cara menghitungnya. Cara menghitungnya bagaimana? PLN punya penghitungan. Mereka menjalin kerjasama dengan UGM dan bekerjasama dengan pihak lain cara menghitung kerugiannya seperti apa. Kita juga sama. Kita juga menghitung. Kita juga disupport oleh USAID. Kami, tidak hanya Ditjen EBTKE tetapi lainnya di KESDM. Karena yang paling tahu cara penghitungan itu Ditjen Listrik. Di situ ada PMKnya, ada cara tata cara menghitung subsidi, kompensasi, dan BPP. Ditjen Listrik sudah menghitung untuk hal ini.
Apakah sudah ada titik temunya?
Belum. Kita masih membahas beberapa satu dua hari lagi. Sedang di sini kita sudah bahas dengan pihak PLN. Menko Perekonomian juga sudah menyetujuinya. Saat ini masih di Setkab. Sekarang melibatkan Menko Perekonomian dan Kementerian Keuangan. Perhitungan kami memang BPP nya kemungkinan besar akan naik. Tapi tidak sebesar penghitungan PLN kalau 3,6 GW-nya jadi. Kami di ESDM, akan dilakukan secara bertahap. Misalnya, tahun ini berapa puluh MW, untuk tahun depan dinaikkan lagi sehingga tahun 2025 tercapai targetnya 3,6 GW.