Jakarta, Portonews.com-Aktivis serikat buruh/pekerja yang tergabung dalam Aliansi Pekerja Buruh Garmen Alas Kaki dan Tekstil Indonesia (APBGATI) menggelar rapat kerja dengan tema ‘Membangun Sosial Dialog Melalui Joint APBGATI Bersama Asosiasi Pengusaha’. Agenda yang berlangsung mulai dari 11-12 November 2020 ini membahas isu dan penguatan konsolidasi buruh.
Tujuan didirikan aliansi ini sebagai wadah pendidikan, advokasi serta peningkatan kualitas sosial dialog. Serta menyikapi isu di seputar industri padat karya dan nasional yang berkaitan dunia perburuhan.
Turut hadir dalam kegiatan tersebut, Elly Rosita Silaban Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), Ristadi Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN), Danang Girindrawardana Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) dan Rizal Rakhman Sekjen Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API).
“Perburuhan tidak boleh sendiri-sendiri, harus bersama. Grup ini akan membuat sebuat kesepakatan untuk melakukan sosial dialog dengan APINDO, APRISINDO, dan Asosiasi Pertekstilan Indonesia, apakah nanti mereka akan melakukan negosiasi di tingkat nasional, kampanye masalah perburuhan yang sedang terjadi. Seharusnya kita berkolaborasi dengan stakeholder, makanya mereka bentuk aliansi ini,” kata Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBI), Elly Rosita Silaban, saat dihubungi, (13/11/2020).
Sementara itu, Ary Joko Sulistyo Ketua Umum Federasi Serikat Buruh Garmen, Kerajinan, Tekstil, Kulit dan Sentra Industri-Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (FSB GARTEKS-KSBSI) mengatakan dengan terbangunnya APBGATI, diharapkan semakin menambah solidaritas dan kekuatan menyikapi isu nasional dan global tentang isu perburuhan.
Hasil diskusi itu pun akhirnya merekomendasikan tentang penyusunan agenda yang harus dikerjakan dalam waktu dekat ini. Diantaranya, sikap APBGATI terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, Sikap APBGATI Terkait Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/ 1 1/HK. A4/X/2020 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2021 dimasa pandemi Covid-19.
Menurut Elly, sejauh ini sudah ada tiga gubernur yang menentang Surat Edaran Menteri berkaitan dengan tidak ada kenaikan upah di 2021, harus mengikuti upah 2020. Mereka adalah Gubernur Jawa Tengah menaikkan 3,27 persen, lalu Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta juga 3 persen, DKI Jakarta dengan syarat sektor yang sanggup menaikkan.
“Kita berharap teman-teman buruh di daerah masing-masing akan memperjuangkan agar upahnya naik. Harapannya upah naik, kalalu tidak aksi-aksi buruh akan berlanjut, seperti sekarang masih berlanjut menolak Surat Edaran Menteri, masih mendemo gubernur-gubernur yang tidak punya hati yang tidak mau menaikkan. Lalu, nanti kita akan dorong untuk dilakukan dialog sosial dengan manajemen dan dibuat di Perjanjian Kerja Bersama (PKB),” ucap Elly.
Perumusan agenda selanjutnya adalah sikap APBGATI terkait relokasi tgsl di wilayah wilayah industri baru, agenda join komitmen dengan membangun sosial dialog bersama APINDO, APRISINDO dan API, membangun perwakilan APBGATI di tiap daerah, membahas kelanjutan logo APBGATI, membahas dan membuat rekening Bank atas nama APBGATI, penyusunan statute, serta pembuatan website APBGATI.
Hasil rekomendasi itu akhirnya juga dibentuk tim kecil untuk membahas kelanjutan agenda yang telah disepakati. Adapun tim kecil ini direkomendasikan dari perwakilan APBGATI antara lain, Dion Untung Wijaya (TSK SPSI), Helmy Salim (TSK KSPSI), Suhendi (SBSI 92), Benny Rusli (KSPN), Abdullah Affas (Sarbumusi), Ary Joko Sulistyo (FSB GARTEKS KSBSI).
Helmy Salim perwakilan Tekstil Sandang Kulit Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (TSK KSPSI) mengatakan terbentuknya APBGATI merupakan langkah yang baik menyatukan kekuatan buruh. Dia berharap agar setiap perwakilan serikat pekerja/buruh yang telah membentuk wadah APBGATI, lebih membela kepentingan buruh.
Dia tak membantah ketika Indonesia terdampak pandemi Covid-19, banyak buruh di sektor garmen, alas kaki dan tekstil menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK) dan dirumahkan. Tentunya menyelesaikan masalah ini sulit kalau hanya ditangani aktivis buruh ditengah ancaman resesi ekonomi.
“APBGATI harus bisa berinisiatif menciptakan sosial dialog. Dengan mengajak duduk bersama perwakilan pemerintah, pengusaha seperti APINDO, API dan ASPRINDO mencari solusinya. Sebab yang paling mengetahui masalah ini buruh dan pengusaha. Jadi mari kita berdialog secara transparan,” ujarnya
Helmy juga menyampaikan APINDO beserta organsisasi pengusaha lainnya harus komitmen dalam sosial dialog. Karena, banyak pengusaha mengabaikan hak terhadap buruh yang terkena PHK dan dirumahkan ditengah pandemi. Ada juga perusahaan tidak terdampak Covid-19, sengaja mengurangi pekerjanya dengan memanfaatkan situasi. Sementara, pemerintah terkesan tidak bersikap tegas.
Sementara Astrid perwakilan dari CNV International mengapresiasi terbentuknya APBGATI ditengah kekuatan buruh yang kian melemah. Karena minat pekerja untuk berserikat semakin menurun. Ditambah lagi, Covid-19 sangat berdampak pada industri garmen, alas kaki dan tekstil.
Untuk itu, sangat dibutuhkan pemecahan masalah ini secara tepat, melalui dialog dan lobi dengan pemerintah, APINDO beserta organisasi pengusaha lainnya. Dengan terbentuknya APBGATI, dia berharap posisi tawar serikat pekerja/buruh menjadi wadah penyadaran buruh masuk organisasi buruh.
Sejauh ini, CNV International melihat perkembangan sosial dialog mengalami kemajuan. Aktivis buruh tidak alergi lagi menyelesaikan masalah perselisihan hubungan industrial dengan pengusaha melalui non litigasi. Termasuk, pengusaha semakin membuka pintu dan menganggap sosial dialog solusi yang efektif, tidak membuang waktu dan tenaga.
“Terbentuknya APBGATI merupakan terobosan dan sejarah baru yang sejalan dengan visi misi CNV International. Tentunya kami tetap mendukung langkah APBGATI dalam memperjuangkan hak buruh,” ucapnya.