Jakarta, Portonews.com – Usai Presiden Joko Widodo menetapkan larangan mudik Lebaran 2020, kini muncul fenomena baru terkait angkutan mudik “gelap” (angkutan mudik berpelat hitam).
Pengamat Transportasi, Djoko Setijowarno, menilai, fenomena angkutan plat hitam untuk angkut penumpang antar kota antar provinsi, sebenarnya sudah berlangsung sejak lama.
Hal tersebut, sama halnya dengan angkutan barang yang membawa penumpang kerap terjadi di setiap mudik lebaran tiba. Meskipun, sesungguhnya kedua jenis angkutan pelat hitam tersebut dilarang untuk dikomersialkan membawa penumpang.
“Tidak sekadar melarang, akan tetapi mencari jalan keluar agar warga tetap eksis di perantauan, walau tanpa penghasilan untuk sementara waktu,” jelasnya, kepada Portonews, (03/05).
Bagi sebagian masyarakat, lanjut Djoko, kebutuhan menggunakan angkutan pelat hitam dirasa lebih efektif ketimbang menggunakan angkutan umum resmi. Terutama masyarakat bertempat tinggal di pedesaan yang berdekatan atau berbatasan dengan wilayah Jabodetabek untuk beraktivitas di pasar tradisional.
“Selain menggunakan jalan raya, ada pula yang menggunakan sarana moda kereta setiap hari untuk sekedar berdagang di ibukota Jakarta. Berombongan berangkat dini hari dari desanya menuju stasiun terdekat, seperti Stasiun Karawang. Moda kereta ekonomi ini kebanyakan dimanfaatkan masyarakat wilayah Kab. Karawang. Sore hari setelah dagangan laris, mereka pulang menggunakan kereta sejenis dari Stasiun Kemayoran,” ungkapnya.
Menurutnya, dengan adanya jalan tol ke wilayah Jabodetabek hingga perbatasan Jateng dan Jabar, membuat perjalanan warga yang biasa bekerja di sektor non formal menjadi lebih efisien. Waktu perjalanan lebih singkat.
“Biasanya mereka berasal dari desa-desa yang berada di wilayah Kab. Brebes, Kab. Tegal, Kab. Karawang, Kab. Subang, Kab. Purwakarta, Kab, Kuningan, Kab, Cirebon, Kab. Pemalang,” katanya tegas.
Di samping itu, lanjut Djoko yang juga Dosen Unika Soegijapranata, aksi angkutan barang membawa penumpang yang biasanya penumpang nampak, sekarang, karena ada larangan mudik, penumpang ditutupi oleh penutup barang.
“Seolah angkutan barang benar-benar membawa barang, namun dikelabui dengan penutup barang pada bak yang didalamnya berisi sejumlah orang yang akan pulang kampung,” terangnya.
Ia menyebut, fenomena penawaran jasa mudik via media sosial (medsos) bukan hal yang baru. Kegiatan tersebut sudah berlangsung lama dari tahun-tahun sebelumnya, kegiatan tersebut saat ini menjadi sorotan lantaran pemerintah resmi melarang mudik Lebaran sejak 24 April 2020. Kebijakan tersebut sebagai upaya memutus rantai penyebaran Covid-19.
“Tidak bisa dipungkiri, masih banyak masyarakat perantau di Wilayah Jabodetabek yang belum mendapatkan bantuan sosial (Bansos) dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Saat ini, pemerintah daerah di wilayah Jabodetabek sedang dipusingkan dengan urusan warganya yang akan dibagikan sembako dan bantuan sosial,” katanya.
“Sementara kebutuhan hidup sehari-hari tetap berlangsung. Persediaan hidup semakin menipis, memilih pulang kampung dirasa lebih aman dan nyaman. Ketimbang hidup di perantauan tidak bisa makan sampai waktu kapan,” sambung Djoko.
Lebih jauh ia mengatakan, survey kedua Balitbang, Perhubungan (April 2020), menunjukkan sekitar 24 persen warga masih berkeinginan mudik. Berdasarkan data pemudik tahun 2019 sebanyak 18,34 juta orang, berarti 4,4 juta orang masih ingin mudik. Kendati sudah ada penurunan 13 persen dibanding survey pertama (37 persen).
Data Dinas Perhubungan Provinsi Jateng, sejak pemerintah melarang mudik 24 Maret 2020, setidaknya ada 25.825 orang yang pulang kampung ke Jateng. Sebelumnya yang sudah pulang kampung 725.785 orang (26 Maret -23 Mei 2020).
Siapkan Sanksi
Djoko menuturkan, sesungguhnya, kebijakan melarang mudik merupakan operasi kemanusiaan, agar tidak banyak orang yang meninggal dunia disebabkan oleh Virus Corona.
“Bertujuan untuk mengatispasi menyebarnya virus Corona hingga keluar wilayah Jabodetabek. Lebih tepatnya, bagi yang melanggar dapat dikenakan sanksi pasal 93 Undang-Undang Nomor 56 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan,” imbuhnya.
Namun bagi yang melanggar aturan berlalu lintas, seperti menggunakan kendaraan pelat hitam dan angkutan barang membawa penumpang dapat dikenakan sanksi di pasal 303 dan 308 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Mobil barang dilarang digunakan untuk angkut orang, kecuali (a) rasio kendaraan bermotor untuk angkutan orang, kondisi geografis, dan prasanara jalan di provinsi/kabupaten/kota belum memadai; (b) untuk pengerahan atau pelatihan TNI dan/atau Kepolisian RI; dan (c) kepentingan lain berdasarkan pertimbangan Kepolisian RI dan/atau Pemerintah Daerah (pasal 137 ayat 4).
Setiap orang yang mengemudikan mobil barang untuk mengangkut orang kecuali dengan alasan pasal 137 ayat 4 dapat dipidana kurungan maksimal satu bulan atau denda paling banyak Rp 250 ribu (pasal 303).
Dapat dipidana kurungan maksimal 2 bulan atau denda maksimal Rp 500 ribu bagi setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor umum (a) tidak memiliki izin menyelemnggarakan angkutan orang dalam trayek; (b) tidak memiliki izin menyelnggarakan angkutan oranag tidak dlaam trayek; dan 9c) tidak meiliki izin menyelenggarakan angkutan barang khusus dan alat berat (pasal 308).
Mencari Jalan Keluar
Djoko yang juga Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan MTI Pusat mengatakan, perantau yang belum sempat pulang ke kampung halaman ketika larangan mudik belum ditetapkan, saat ini berupaya untuk pulang kampung.
“Mereka ini tidak termasuk orang yang mendapat bantuan sosial (Bansos) dari pemerintah,” katanya.
“Jalan keluarnya adalah membangun solidaritas sosial di kalangan masyarakat untuk menjaga warga masyarakat yang tidak mampu di wilayah Jabodetabek agar tidak mudik. Ada upaya memberikan pertolongan bagi perantau seperti ini, sehingga kehidupan selama berada di perantauan tetap terbangun,” sambungnya kembali.
Ia mengatakan, dapat pula diadakan crisis centre untuk mewadahi permasalahan warga perantauan di wilayah Jabodetabek yang mengalami masalah kemampuan finansial. Sudah tidak ada biaya untuk makan sehari-hari dan membayar sewa atau kontrak tempat penginapan.
Sementara di kawasan tempat tinggalnya mayoritas warga pendatang dan sedikit warga lokal, sehingga tidak mungkin yang miinoritas membantu yang mayoritas. Biasanya berlokasi perkampungan di pusat kota berdekatan gedung perkantoran bertingkat.
“Urusan seperti ini jangan diserahkan di Kepolisian di jalan raya untuk menghadang mereka berupaya pulang kampung. Serahkan ke Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Penanganan Covid-19 untuk memikirkan mencari jalan keluar bagi warga yang sudah tidak memiliki penghasilan untuk membiayai kehidupan sehari-hari, namun tidak boleh pulang ke kampung halaman.Sementara, persediaan keuangan semakin menipis tidak cukup hidup berlama-lama di perantauan,* katanya.
Di sisi lain, masih ada lagi sejumlah pekerja konstruksi yang hingga kini masih tetap bekerja di beberapa proyek konstruksi pemerintah dan swasta di Jabodetabek. Mereka ini mendapatkan penghasilan mingguan.
Pekerja konstruksi itu mayoritas berasal dari luar wilayah Jabodetabek. Selama musim Lebaran ada jeda waktu sekitar dua minggu tidak bekerja.
“Apakah mereka ini diijinkan pulang kampung atau tetap berada di tempat tinggal sekarang. Lantas, siapa yang akan menanggung biaya hidup selama dua minggu tersebut. Atau masa jeda tidak bekerja dapat diperpendek kurang dari seminggu, supaya tidak terlalu lama menganggur,” imbuhnya.
Lebih jauh, Djoko mengungkapkan, jika dibebankan ke Pemda di wilayah, Jabodetabek cukup memberatkan mengurus warganya sendiri juga belum tentu tuntas. Perlu kerjasama antara Pemda di Jabodetabek dengan Pemerintah Pusat dan pemda asal para perantau ini.
“Tidak hanya melarang untuk mudik, akan tetapi harus memberikan jalan keluar agar mereka tetap betah berada di perantauan dengan jaminan hidup hingga mereda pandemi Covid-19,” tandasnya.