Suasana alam, seperti lingkungan perhutanan dan pegunungan memengaruhi arah dan pemilihan karir seseorang.
Ruandha Agung Sugardiman, yang kini menduduki Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Lingkungan (Dirjen PPI KLHK) terinspirasi situasi alam.
Pria kelahiran 1 Maret 1962 Madiun Jawa Timur, yang dikelilingi hutan-hutan jati dan pinus yang tumbuh diantara dua lembah dan lereng Gunung Lawu (di sebelah barat) dan Gunung Wilis (di sebelah timur) menginspirasi pilihan studi dan karir suami Retno Maryani ini.
Seusai menuntaskan program S1 Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta pada tahun 1981, ayah dari Rahardhyani Primarista Putri, Rahardhyani Dwiannisa, Rahardhyani Dwiannita (almrh) hijrah ke Ibukota, Jakarta.
Tujuannya mengikuti saringan masuk PNS ke Departemen Kehutanan di Manggala Wanabhakti.
Rupanya suratan tangan telah tergaris pada Ruandha muda. Pada awal tahun 1987, dia diterima sebagai PNS.
Tugas perdana dimulai dari Kalimantan Selatan. Tepatnya, di Balai Inventarisasi dan Perpetaan Hutan (BIPHUT) Wilayah V Banjarbaru. Wilayah kerjanya meliputi, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah.
Pengabdian di Departemen Kehutanan, lanjut Ruandha, tantangannya sangat menarik.
Utamanya saat dia diamanahi untuk mengurus Jaringan Data Spasial di Ditjen Planologi Kehutanan.
Jamak diketahui, keberadaan data dan informasi spasial (peta) menjadi titik strategis.
Bahkan sangat penting dalam mengelola hutan dan kehutanan.
Unit kerja yang menguasai data dan informasi spasial kehutanan akan berurusan dengan banyak pihak.
Membuat Sistem Aplikasi yang efisien
“Ada yang beranggapan sektor ini dapat di‘main’kan,” kata alumnus S2 dan S3 Wageningen University Belanda pada PORTONEWS, Senin (19/10/2020) di kantornya, Jakarta.
Karena itu ia merancang dan membuat sistem aplikasi agar data dan informasi spasial kehutanan tidak high cost economy dan dikelola transparan.
Sebagai seorang ahli di beberapa bidang, seperti Global Positioning System (GPS), Geographic Information System (GIS) dan Remote Sensing (RS)-Penginderan Jauh, Ruandha dan tim membangun geodatabase dengan mengembangkan WebGIS.
Selama ini teknologi GIS dikenal dengan aplikasi perpetaan berbiaya tinggi, terutama dalam menyusun data spasial (hampir 60 persen dari total cost) bisa dipangkas dengan memberdayakan tim pengelola data spasial dan data sharing melalui internet secara online sehingga tidak ada lagi duplikasi dan redundancy data spasial. Buntutnya, anggaran bisa dihemat dan efisien.
Menerima Beberapa Pengharagaan
Berkat kerja cerdasnya, apa yang dirintis dan dilakukan oleh Ruandha dan timnya, sontak mendapat apresiasi dunia internasional. Pada 20 Oktober 2011, ASIA Geospatial Forum 2011 menganugerahkan Geospatial Excellence Award 2011 dengan penilaian; Kementerian Kehutanan Indonesia dapat dijadikan contoh sebagai instansi pemerintah yang mampu memanfaatkan data spasial untuk pengambilan kebijakan dan mendukung pelayanan publik dengan baik.
Dari dalam negeri, kontribusi Ruandha juga ditetapkan sebagai juara pertama untuk kategori E-Government Application pada ajang Indonesia Information and Communication Technology Award 2012 (INAICTA).
Penghargaan ini diberikan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkoinfo). Selanjutnya, WebGIS ini diikutsertakan dalam lomba Information and Communication Technology (ICT) ke level ASEAN di ajang ASEANICTAWARD 2013 di Myanmar dan Singapura.
“Penghargaan ini merupakan hasil kerja keras yang selalu berorientasi dan berupaya memberikan yang terbaik untuk pelayanan masyarakat umum dan publik pengguna,” kata Ruandha yang punya motto hidup ‘Do the right thing and do it right, not just do it.’
Prinsip hidup tersebut menjadi pemicu Ruandha, yang pernah menjadi peserta program Postgraduate Geoinformation System for Rural Application dan Advanced Postgraduate Geoinformation System for Rural Application di Enschede Belanda pada 1990, untuk senantiasa mendedikasikan diri, ide, maupun kreativitas pada upaya pelestarian hutan.
Ultra Aerial Photograph
Salah satu gebrakan terbaru yang dilakukan oleh salah seorang putra dari (alm.) Moedjono dan (almh.) Rahayu Siti Soemadijani ini adalah metode inventarisasi hutan dengan menggunakan Ultra Aerial Photograph.
Teknologi ini dibutuhkan untuk menyiapkan, memproses dan menampilkan informasi hutan secara akurat, cepat, near real-time dan efisien.
Fungsi utamanya sebagai penunjang kepentingan inventarisasi sumber daya hutan, terutama di daerah dengan aktivitas manusia yang sangat tinggi dan hasil yang dapat dipertanggungjawabkan.
Pengembangan teknologi diterapkan dengan Ultra Aerial Photograph menggunakan platform micro-light/ultra-light (trike) yang dikombinasikan dengan fasilitas video conference sehingga hasil pemotretan lapangan langsung bisa dikomunikasikan dengan kantor pusat.
“Dengan platform ini, seeing is believing, ainul yaqin, kita berada di atas obyek yang diamati sehingga informasi sumber daya hutan diperoleh secara cepat dan akurat serta memberikan gambaran kondisi lapangan yang sebenarnya karena bisa dipelajari tidak saja hutan sebagai obyek pengamatan tetapi juga kondisi sekitarnya sehingga kebijakan benar-benar berdasarkan data sesuai fakta,” kata Ruandha seraya memaparkan tata cara operasionalnya.
Secara garis besar kegiatan yang akan didukung oleh pemanfaatan trike ini antara lain adalah: Pertama, inventarisasi hutan.
Hal ini menyangkut beberapa hal, yaitu survei udara untuk preliminary survey terrestrial (ground-based measurement); survei udara sosial masyarakat (desa sekitar hutan); ground-truthing/ checking lapangan hasil penafsiran citra satelit; pemetaan pohon (Tree mapping); pemetaan 3D (3D mapping, DTM/DSM); pemetaan penyebab deforestasi dan pemantauan untuk program penanaman (MRV).
Kedua, pengukuhan kawasan hutan yang meliputi: Inventarisasi trayek batas; Pemotretan pal batas; Land tenure conflict verifikasi; dan Ground control point.
Ketiga, pembentukan wilayah pengelolaan hutan, yang meliputi: Survei udara areal KPH; Survei udara areal pemanfaatan hutan dan rencana konstruksi infrastruktur KPH. Keempat, pengawasan dan pengendalian (surveillance).
Hal ini mencakup, yaitu combating illegal logging; areal pertambangan; pelepasan areal untuk non kehutanan; hotspot verifikasi; patroli hutan rutin; tanggap bencana alam dan kunjungan lokasi oleh pejabat.
“Masih banyak lagi kegiatan yang bisa didukung oleh pemanfaatan trike atau ultra-light tersebut, yang perlu digali lebih dalam untuk dapat disusun dalam program operasionalisasi trike atau ultra-light agar investasi yang ditanamkan bermanfaat dan tidak berpotensi pemborosan,” kata Ruandha yang juga pernah menjabat sebagai Deputy National Project Director (DNPD) UN-REDD Program Indonesia.
UN-REDD Indonesia berlangsung dua tahun sejak 2010 yang membantu memperkuat persiapan Indonesia dalam memasuki era mekanisme insentif pendanaan baru, REDD+ (Reducing emission from deforestation and forest degradation).
Kegiatan ini dilakukan untuk memperkuat kesadaran keterlibatan multi pihak dalam rangka mitigasi perubahan iklim dan lain semacamnya.
Perubahan iklim, ungkap Ruandha, adalah berubahnya iklim yang diakibatkan langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia sehingga menyebabkan perubahan komposisi atmosfir secara global dan selain itu juga berupa perubahan variabilitas iklim alamiah yang teramati pada kurun waktu yang dapat dibandingkan (UU 32 tahun 2009).
“Salah satu driver penyebab timbulnya perubahan iklim adalah akumulasi gas rumah kaca di atmosfer.
Gas rumah kaca dihasilkan dari berbagai aktivitas alamiah dan aktivitas manusia yang prosesnya secara kimiawi atau fisik melakukan transformasi suatu bahan atau material menjadi bahan lain,” katanya.
Proses tersebut dapat menghasilkan gas rumah kaca atau disingkat dengan GRK diantaranya karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitrous oksida (N2O), hidrofluorokarbon (HFC) dan perluorokarbon (PFC).
Selain itu, imbuh Ruandha, gas rumah kaca juga digunakan sebagai bahan baku di dalam produk-produk seperti refrigerator, busa atau kaleng aerosol.
Sebagai contoh HFC yang digunakan sebagai alternatif pengganti bahan perusak ozon (BPO) dalam berbagai jenis aplikasi produk.
Demikian pula, sulfur heksafluorida (SF6) dan N2O yang digunakan dalam sejumlah produk yang digunakan dalam infustri. “Misalnya SF6 digunakan dalam beberapa peralatan listrik dan gardu-gardu induk pembangkit listrik, bahkan digunakan di produk sepatu lari.
N2O digunakan sebagai propelan aerosol dalam produk terutama di industri makanan, dan selama anastesi,” paparnya.
Jenis GRK tersebut memiliki potensi menyebabkan pemanasan global atau disebut Global Warming Potential (GWP) yang berbeda-beda. Jadi, inilah kiprah anak bangsa untuk turut mengupayakan pelestarian lingkungan hutan di Tanah Air.
Kontribusi Indonesia untuk Pengendalian Perubahan Iklim
Indonesia dikenal dengan potensi hutan tropis yang terluas di dunia setelah Brasil.
Hutan mempunyai fungsi alami menyerap CO2 untuk proses fotosintesis dan mengkonversinya dengan menghasilkan oksigen (O2) sebagai senyawa vital bagi kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya.
Keberadaan hutan Indonesia diakui dunia sebagai sumbangsih Indonesia bagi dunia yang tidak ternilai harganya dalam menunjang kehidupan di muka bumi.
Selama ratusan tahun Indonesia memberikan kontribusi cuma-cuma bagi masyarakat dunia dengan keberadaan hutan ini.
Sementara negara maju membabat hutannya sejak ratusan tahun yang lalu dalam rangka meningkatkan perekonomian dan kesejahteraannya.
Dalam kancah global, Indonesia selalu berperan aktif memperjuangkan kepentingan nasional di atas kepentingan lain terutama dalam proses negosiasi di forum internasional seperti United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), di forum regional, bilateral dan multilateral lainnya.
Indonesia berhasil memperjuangkan Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) sebagai milestone keberhasilan dan pengakuan dunia akan peran dan manfaat sumber daya hutan bagi pengendalian perubahan iklim dunia.
Sejak 1992, Indonesia berperan aktif dan menjadi party terhadap Konvensi Perubahan Iklim dengan meratifikasi dalam Undang-Undang No 4 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim).
Indonesia berperan aktif memperjuangkan Persetujuan Paris dan meratifikasi dalam Undang-Undang.
Bahkan Indonesia menjadi tuan rumah pada COP 13/CMP 3 yang diselenggarakan tahun 2007 di Bali.
Indonesia menetapkan komitmen negara untuk menurunkan emisi GRK sebesar 29 persen sampai dengan 41 persen dengan kerjasama internasional.
Komitmen tersebut dituangkan dalam kerangka implementasi Persetujuan Paris dan disebut dengan Nationally Determined Contribution atau NDC.
Peran Indonesia dalam tatanan global sudah diakui dunia dan masyarakat internasional.
Salah satu pengakuan tersebut adalah keberhasilan Indonesia dalam mengelola hutan yang berkelanjutan dalam skema REDD+.
Keberhasilan Indonesia tersebut diwujudkan dengan pemberian dana dari Pemerintah Kerajaan Norwegia, dan dari Green Climate Fund atau GCF.
Saat ini sedang disusun Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pelestarian Fungsi Atmosfer, Rancangan Peraturan Presiden tentang Instrumen Nilai Ekonomi karbon untuk Memenuhi NDC.
Utamanya, Ditjen PPI mendorong pelibatan para pihak untuk gotong royong melaksanakan aksi mitigasi sesuai peran dan fungsi masing-masing para pihak, meningkatkan ketahanan terhadap perubahan iklim, meningkatkan akses pendanaan yang dapat dimanfaatkan oleh para pihak, alih teknologi dan peningkatan kapasitas lembaga serta sumber daya manusia dalam bidang perubahan iklim.
Berbagai kegiatan tersebut dilakukan di tingkat nasional dan sub nasional bahkan kerjasama luar negeri semakin ditingkatkan agar implementasi kebijakan perubahan iklim dapat dilakukan dengan tepat, efektif dan efisien.
Karena itu, obsesi Ruandha ke depan adalah bagaimana publik bisa melihat kondisi hutan dengan mudah dan cepat seperti weather report dengan membangun “forest report”.
Sehingga publik bisa mendapatkan informasi tentang neraca sumber daya hutan kita.
Pemahaman yang harus digaungkan kepada masyarakat bahwa hutan dan biodiversitas Indonesia adalah masa depan dunia (global future) tetapi tetap menjadi aset (milik) bangsa Indonesia (state sovereignty) bukan global public good.
Itu semua bisa terwujud dengan pemanfaatan teknologi digital dengan mengembangkan precision forestry.