Jakarta, Portonews.com – Belum turunnya harga BBM di Tanah Air ditengah anjloknya harga minyak dunia menjadi polemik hangat. Tidak sedikit kalangan mengkritik tajam kebijakan belum diturunkannya harga BBM ini.
Rudi Rubiandini, profesional bidang energi, angkat bicara. Menurutnya,
Pertamina dan Badan Usaha BBM saat ini masih menjual Pertamax seharga Rp. 9.000. Malaysia sudah menjual Pertamax Plus dengan harga Rp. 4.500 pada saat harga minyak dunia terjun bebas dari yang sebelumnya sekitar $ 65 menjadi hanya sekitar $ 30 per barrel.
“Di Malaysia masih menerapkan subsidi, sehingga berani menjual harga Rp. 4.500, walaupun subsidinya sangat sedikit, dari bulan sebelumnya sekitar Rp. 7 Triliun mungkin sekarang tidak sampai Rp. 1 Triliun saja. Namun dibanding Indonesia, memang yang jumlah penduduknya sekitar sepuluh kali lipat, angka tersebut ekivalen dibawah Rp. 10 Triliun,” kata Rudi pada Portonews, Minggu (19/4/2020). Umum diketahui anggaran yang disediakan di APBN untuk subsidi BBM tahun 2020 sekitar Rp. 20 Triliun. Barangkali dengan harga yang terus turun ini, hampir tidak diperlukan lagi Subsidi untuk BBM.
Rudi mengungkapkan, apabila dibandingkan tiga buah peraturan yang kebetulan dibuat oleh tiga Menteri yang berbeda, yaitu Permen nomor 39 tahun 2014 oleh MESDM Sudirman Said, Permen Nomor 34 Tahun 2018 oleh MESDM Ignatius Jonan, dan Kepmen nomor 62K/MEM/2020 oleh Arifin Tasrif, ada dua hal yang mendasar yang telah berubah yang mempengaruhi harga BBM kepada masyarakat (lihat Tabel 1).
Pada Permen Tahun 2014 dan 2018 Pengambilan parameter ditentukan sebulan sebelumnya, ungkap Rudi, baik untuk Harga Minyak maupun Kurs Dollar. Tapi pada Kepmen 2020 ditentukan dua bulan sebelumnya. Sebagai perbandingan sebelum 2014 pengambilan parameter hanya dilakukan 2 minggu sebelumnya. Sedang di Malaysia dan beberapa negara lain cukup seminggu sebelumnya.
“Dalam hal cara perhitungan, Permen Tahun 2014 menggunakan Harga Dasar yang diambil dari ICP (Indonesian Crude Price) ditambah nilai Alfa, yaitu biaya perolehan sampai Terminal BBM, kemudian ditambah PPn 10 persen, PBBKB 5 persen, dan ditambah Margin minimum 5 persen sampai maksimum 10 persen. Sedangkan Permen Tahun 2018, sama cara perhitungannya dengan Permen Tahun 2014, tetapi Margin dibuat tetap sebesar 10 persen,” katanya.
Rudi melanjutkan, “Kini dengan Kepmen 2020, perhitungannya mendasarkan pada MOPS (Means of Platts Singapore) yaitu harga produk jadi hasil olahan dari Kilang yang dijual di Singapore, kemudian ditambah margin 10 persen serta ditambah Konstanta sebagai pengganti biaya Penyimpanan, transportasi, tugas satu harga, biaya operasi lainnya. Nilai Konstanta untuk BBM dibawah RON 95 sebesar Rp. 1800, sedangankan R0N 95 atau lebih sebesar Rp. 2000,” papar Rudi.
Sebagai informasi RON 88 adalah Premium, RON 90 adalah Pertalite, RON 92 adalah Pertamax, RON 95 adalah Pertamax Plus, dan ada juga RON 98 Pertamax Turbo. Hasil dari perhitungan dengan menggunakan Permen 2018 (Paramater ICP yang dipakai) dibandingkan dengan Kepmen 2020 (Parameter MOPS yang dipakai), untuk skema Waktu pengambilan Paramater dua bulan sebelumnya (Skenario A), sebulan sebelumnya (Skenario B), dan Real Time atau seminggu sebelumnya (Skenario C) adalah terpapar pada Tabel-2.
Jadi dapat dimengerti, lanjut Rudi, mengapa Badan Usaha saat ini masih menjual BBM Pertamax RON 92 seharga Rp. 9000, dalam tabel Skenario A (parameter dua bulan lalu), diperoleh hitungan sebesar Rp. 8800.
“Namun bila dihitung dengan Skenario B (parameter sebulan lalu), maka harganya hanya cukup Rp. 7100 saja, malah bila menggunakan Skenario C (parameter seminggu lalu), maka harganya hanya Rp. 5650. Apalagi bila masih menggunakan dasar perhitungan dari ICP seperti pada Permen 2014 dan Permen 2018, hasil dari hitungan Skenario A, B, dan C, beturut-turut adalah Rp. 7200, Rp. 6000, dan Rp. 4600,” ungkap Rudi. Oleh karena itu Ketika Malaysia menerapkan Pertamax Plus RON 95 seharga Rp. 4500 sementara RI untuk Pertamax masih menggunakan harga Rp. 9000, banyak masyarakat yang terheran-heran.
Rudi berharap semoga dengan penjelasann tersebut, dapat dimengerti duduk perkaranya, sehingga bukan kesalahan hitung dari Badan Usaha seperti Pertamina, Shell, AKR, akan tetapi memang peraturannya yang menyebabkan dalam situasi prihatin ini masyarakat belum bisa menikmati BBM murah. “Masih dibutuhkan kesabaran sampai awal Mei agar BBM murah mulai bisa dinikmati Rp. 7000 dan awal Juni Rp. 5500,” ujar Rudi.