Jakarta, Portonews.com-Belum lama ini muncul segelintir oknum-oknum mengatasnamakan koperasi yang terkena persoalan hukum dan berakhir di Pengadilan Niaga akibat gagal bayar.
Menurut Deputi Bidang Pengawasan Kementerian Koperasi dan UKM (KemenkopUKM) Ahmad Zabadi, koperasi gagal bayar merupakan terminologi baru yang sebenarnya tidak dikenal dalam sejarah keberadaan koperasi.
“Sebagian anggota dan mitra memilih membawa permasalahan di koperasi ke jalur formal sehingga saat ini banyak koperasi berujung di Pengadilan Niaga. Seharusnya kita hindari. Permasalahan di koperasi diselesaikan melalui musyawarah mufakat sampai rapat anggota, karena pada dasarnya koperasi berasaskan kekeluargaan,” kata Ahmad Zabadi, dalam acara webinar nasional Viunomics #3, yang bertajuk Lembaga Penjamin Simpanan Sebagai Solusi Multi Dimensi Kebangkitan Koperasi Indonesia: ” Akankah Mimpi Itu Segera Menjadi Nyata?”, (16/09/2020).
Turut hadir dalam diskusi tersebut Ketua Umum Visi Indonesia Unggul (VIU), Horas Sinaga, yang memandu acara, juga menghadirkan Pengawas Koperasi Ahli Utama KemkopUKM Suparno, Kepala Pusat Penelitian Ekonomi LIPI Agus Eko Nugroho, Staff Ahli Bidang Hubungan Antar Lembaga KemkopUKM, Luhur Pradjarto , Ketua DPP ASKOPINDO sekaligus Direktur Executive GORC Frans Meroga Panggabean
Kementerian Koperasi dan UKM pun saat ini sedang memperjuangkan adanya Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) anggota koperasi. Dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja, pembentukan LPS koperasi ini juga menjadi salah satu yang paling didorong.
“Lembaga Penjamin Simpanan ini membawa keamanan dan kenyamanan untuk bergabung dengan anggota koperasi. Mampu membangun jaring pengaman ditambah dengan kehadiran lembaga APEX, yakni sebuah lembaga yang mengelola amanat sebagai pengayom lembaga yang menjadi anggotanya, dalam hal ini koperasi,” ujarnya.
Dia menambahkan, dalam menyiapkan LPS memerlukan persiapan yang panjang, karena dibutuhkan stimulus modal awal dari pemerintah untuk membentuk LPS.
“Penyiapannya memerlukan waktu yang cukup. Kalau tahun ini berhasil masuk dalam UU, paling lambat kita membutuhkan waktu dua tahun,” ungkap Ahmad.
Sementara itu, Pengawas Ahli Utama Kementerian Koperasi dan UKM Suparno mengatakan, banyak orang memanfaatkan keadaan masyarakat, dengan dalih koperasi simpan pinjam. Hingga akhirnya banyak masyarakat terjebak oleh rentenir.
“Banyak di masyarakat muncul menjual nama koperasi padahal belum tentu itu koperasi. Banyak modelnya, alih-alih jualan perabot dapur, tetapi di kantongnya ada duit, menawarkan barang sekaligus uang ke masyarakat. Jangan terpancing dengan sistem demikian. Banyak yang sudah kita tutup, berantas rentenir berkedok koperasi,” papar Suparno.
Dia berharap ada pengawas tersertifikasi jabatan fungsional di berbagai daerah agar bisa tumbuh dan berkembang. Tidak hanya itu, diperlukan juga lembaga pendidikan di koperasi untuk mencerdaskan karyawannya, karena koperasi tidak terlepas dari pendidikan untuk para anggota.
Suparno turut menyarankan jika ada kecurigaan pada koperasi yang belum jelas diketahui, sebaiknya mengecek dulu apakah koperasi tersebut sudah legal atau berbadan hukum. Hal ini ditandai dengan adanya kantor dan pengurus yang jelas, serta menjadi anggota terlebih dahulu.
dalam kesempatan yang sama, Ketua DPP ASKOPINDO sekaligus Direktur Executive GORC Frans Meroga Panggabean mengungkaokan, apa yang sudah disampaikan para narasumber dapat menjadi kasanah luas dan menjadi optimisme bahwa koperasi kedepannya akan lebih maju.
“Apa yang menjadi pergerakan koperasi dan kegalaun selama ini sudah terwakili. Apalagi dengan terbentuknya Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pada koperasi, walaupun melalui proses,” jelasnya.