
Upaya untuk terus mengendalikan pencemaran lingkungan akibat tumpahan minyak, khususnya di daerah-daerah perbatasan kawasan laut senantiasa dilakukan. Metode dan strateginya dengan melakukan beberapa pencegahan, penanggulangan dan pemulihan.
“Yang banyak kita lakukan selama ini lebih pada pemulihan lingkungan dari tumpukan-tumpukan limbah baik tumpahan minyak dan bahan kimia,” kata M.R. Karliansyah, Direktur Jenderal (Dirjen) Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Pihak PPKL menjalin kerjasama dengan warga sekitar untuk mengumpulkan limbah tersebut.
Tidak tanggung-tanggung. Tumpukan limbah yang dikumpulkan bisa mencapai 78 – 91 ton. Selanjutnya, limbah tersebut dibawa ke tempat penglolan limbah.
Kepada PORTONEWS, Rabu (7/10/2020) di Jakarta Timur, Karliansyah mendialogkan beberapa hal. Mulai dari upaya pemulihan lingkungan, pencegahan dan penanggulangan tumpahan minyak. Berikut petikan dialognya:

Apa yang dilakukan oleh pihak PPKL terkait dengan tumpahan minyak di daerah perbatasan, khususnya di laut?
Yang banyak kita lakukan selama ini lebih pada pemulihan lingkungan. dari tumpukan-tumpukan limbah baik tumpahan minyak dan bahan kimia tersebut.
Misalnya kalau di dekat resort area kita bekerjasama kalangan mereka untuk mengumpulkannya dalam wadah karung. Kemudian kita bawa Batam untuk diolah pengolahan limbah.
Mulai tahun 2017 – 2020 di Bintan terdapat 76 ton limbah di Bintan. Sedang di Batam terdapat 91 ton limbah.

Limbah tersebut diolah untuk dijadikan apa bahan apa?
Ada industri pengolah limbah yang menjadikan limbah tumpahan minyak dan kimia sebagai bahan campuran bahan bakar dan lain semacamnya. Tapi karena tumpahannya di tengah lautan, terbawa arus ombak. Kalau kami terlambat dapat informasi sehingga telat juga mengantisipasinya.
Akhirnya yang terbawa ombak hingga ke pinggir pantai itulah yang bisa dibawa ke tempat pengolahan limbah.
Apa saja langkah dan kebijakan PPKL agar wilayah perbatasan tidak dijadikan surga pembuangan tumpahan minyak?
Harus ada kerjasama antar berbagai pihak.
Dalam penanganan tumpahan minyak terutama di perbatasan, kita telah membangun koordinasi antar kementerian/lembaga, termasuk meningkatkan pengawasan di lapangan, misalnya mengecek dokumen-dokumen kapal, loc book, berapa volume muatan minyak dan bahan kimianya serta mengecek kelengkapan persyaratan lainnya.

Apakah Menteri LHK telah menerbitkan peraturan tentang penanggulangan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup serta pemulihan fungsi lingkungan hidup?
Kalau Undang-undangnya ada. Juga Peraturan Pemerintahnya juga ada, yaitu PP 19 tahun 1999. Kalau di tingkat Permen sudah ada tetapi terkait dengan baku mutu. Untuk terumbu karang dan untuk mangrove.
Kalau terjadi tumpahan minyak, dan kita menemukan si pelakunya maka berapa ganti ruginya dapat dihitung. Karena sudah ada standartnya.
Itu kasus tumpahan minyak yang tidak dapat diidentifikasi pelakunya.

Bagaimana dengan kasus tumpahan minyak yang dapat diidentifikasi sumber asalnya?
Misalnya, kasus tumpahan minyak di perairan pantai Kawarang Jawa Barat.
Selain pihak pelaku dituntut untuk memulihkan lingkungan yang terpapar tumpahan minyak (luas area mangrove yang terdampak tumpahan minyak). Untuk kasus di Karawang kita minta pemulihannya satu banding tiga.
Satu yang rusak, tiga yang harus diganti/dipulihkan. Disamping itu, ada kewajiban untuk melaporkan setiap 6 bulan selama 2 tahun, kemudian keberhasilannya 75 persen dari tanaman yang ditanam.
Nah, bila demikian baru dikatakan berhasil pemulihannya.
Bagaimana dengan kasus tumpahan minyak di Teluk Balikpapan Kalimantan Timur, Kepulauan Seribu dan Karawang? Apakah sudah sesuai dengan UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup?
Balikpapan juga jelas sumber asalnya. Bahkan areanya pantai yang terkontaminasi oleh limbah minyak memang harus dipulihkan. Dan itu sudah berhasil. Sedangkan kasus Karawang, tumpahannya relatif lebih kecil.
Pihak Pertamina sudah berpengalaman dan belajar dari kasus di Teluk Balikpapan.
Sebelum tumpahan minyak masuk ke pantai (Karawang) ternyata sudah ditutup dengan oil boom sebagai pencegah menyebarnya tumpahan minyak.
Dan itu bagus sekali sehingga menjadi the best practices pencegahan penyebaran tumpahan minyak.
Di kasus ini, yang diutamakan pemulihannya adalah lautnya. Setelah beberapa bulan sudah pulih dan tidak ada masalah. Karena itu, Pertamina sudah menjalankan perintah UU 32.
Bahkan dia juga melaporkan masalah tersebut ke kami secara berkala berkaitan dengan pemulihan lingkungan yang tercemar.
Yang masih jadi masalah yang berkaitan dengan tambak yang terdampak tumpahan minyak. Pada mulanya sudah kita sampaikan agar persoalan tambak segera dituntaskan.
Bagaimana dengan tumpahan minyak dan bahan kimia di daerah perbatasan? Apakah KLHK juga concern terhadap hal tersebut?
Yang di sungai terkait dengan limbah tailing di perbatasan Indonesia dengan Papuanugini. Penanganannya bekerjasama dengan Kemlu, Kemhan, KLHK, Kemenhub.
Kalau di daerah perbatasan, khususnya di lautan, apakah sudah ada kerjasama dengan pihak lain?
Kita sudah menjalin kerjasama dengan negara negara ASEAN. Indonesia bersama-sama negara ASEAN telah membahas pelaksanaan ASEAN Mechanism to Enhance Surveillance Againts Illegal Desludging and Disposal of Tanker Sludge at Sea.
Kasus di Batam dan Bintan termasuk kejadian tumpahan minyak yang terjadi di daerah perbatasan atau perairan internasional, yang memerlukan kerjasama antar negara.

Bagaimana komentar Bapak terkait bencana tumpahan minyak?
Kalau bicara tumpahan minyak boleh dikatakan hampir setiap tahun terjadi di pesisir laut di Indonesia. Antara lain di Batam, Bintan dan Kepulauan Seribu. Itu setiap tahun terjadi.
Sumber tumpahan minyak tersebut dari mana asalnya?
Pertama, kalau tadi saya katakan di Bintan, Batam dan Kepulauan Seribu itu yang unidentified, yang tidak teridentifikasi sumbernya. Kita menduga tumpahan minyak itu berasal dari kapal.
Masalahnya, tidak seperti halnya di daratan, di laut sulit sekali mencari teknologi pemantauan real-time. Kedua, sumber tumpahan minyak atau bahan kimia yang bisa diidentifikasi. Misalnya, kasus tumpahan minyak di Teluk Balikpapan (2018) dan di Karawang, Jawa Barat (2019).

Ada berapa SOP untuk menanggulangi tumpahan minyak?
Ada sekitar 6 SOP, di bawah koordinasi Kemenko Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marvest). Dari segi pengelolaan sudah banyak kerjasama dengan dunia internasional.
Pencegahan tumpahan minyak dan bahan kimia harus yang diutamakan. Kalau hal itu dilakukan tentu akan mengurangi bencana tumpahan minyak dan bahan kimia. Kemenko Marvest sudah memprakarsainya. Sudah ada tiga SOP yang ditetapkan, termasuk lego jangkar, di Batam.
Dengan adanya SOP ini akan memudahkan pengawasan sehingga tidak ada lagi kapal-kapal yang dengan mudah berkeliaran.
Apa dibutuhkan UU Khusus untuk pencegahan dan penanggulangan tumpahan minyak dan bahan kimia ini?
Kalau dari segi regulasi sudah lengkap, luasan jelajah lautan Indonesia yang menjadi kendala penanganan tumpahan minyak di negeri kita.
Kita punya Angkatan Laut, Bakamla, dan polisi air.
Tetapi karena luasnya jelajah lautan maka pengawasannya pun agak susah.
Tumpahan minyak di Sabang itu kita tahu persis penyebabnya. Tapi tumpahan minyak yang berulang dan tidak teridentifikasi itu, yang kita duga berasal dari kapal.
Bagaimana metodenya untuk melacak tumpahan minyak yang berulang dan tidak teridentifikasi itu?
Kalau bicara soal pengendalian pencemaran itu ada tiga. Pertama, pencegahan. Kedua, penanggulangan. Ketiga, pemulihan.
Di pencegahan itu kami sudah lama bekerjasama dengan Kementerian Perhubungan, dalam hal ini Dirjen Perhubungan Laut, agar di setiap pelabuhan itu ada RF (Reception Facilities) sehingga kapal-kapal yang berlabuh itu bisa mengolah limbahnya sebelum bertugas kembali.
Walaupun demikian, saya meyakini belum semua pelabuhan besar dilengkapi dengan RF.
Yang kita temui di pesisir Pulau Bintan hampir tiap tahun ada tumpukan limbah. Memang untuk pencegahan dalam kasus ini terlewat. Karena tidak ada sistem yang bisa mengontrolnya.
Yang dilakukan kita mentracingnya. Kita sudah punya model untuk mentracing. Kira-kira ke mana arah untuk mentracenya. Bila kapal-kapal tersebut dilengkapi dengan Otomatic Identity System maka bisa dilacak.
Misalnya, pada tiga hari yang lalu jenis kapal apa yang lewat di lokasi tersebut berikut limbah apa yang dibuang di situ. Beberapa bulan yang lalu, kami sudah bekerjasama dengan BAKAMLA.
Mereka mengundang sembilan Kementerian dan Lembaga serta Pertamiana untuk membuat Piagam kerjasama. Mereka bertugas potroli secara teratur.
Sedangkan kami membantu mereka membuat model/tracing. Hasilnya kita serahkan pada mereka.
Harapan agar tidak terjadi pencemaran di lautan?
Laut adalah masa depan kita semua. Lebih dari 60 persen wilayah Indonesia adalah lautan. Umumnya saudara-saudara kita bermukim di daerah pesisir. Area yang produktif juga di pesisir.
Karena itu jangan sampai laut dan sungai tercemar oleh limbah tumpahan minyak dan bahan kimia. Bila sungai tercemar, ujungnya sungai itu pada akhirnya juga ke laut.
Kita memantau pencemaran sampah laut di 18 – 20 kota. Dan setelah kita pantau, terjadi penurunan pencemaran. Karena itu, kita menghimbau agar tidak terjadi pencemaran laut dengan tumpahan minyak dan bahan kimia.