Oleh Yusri Usman, Direktur Eksekutif CERI
Publik tidak perlu heran dengan apa yang dikatakan Basuki Tjahaya Purnama atau kerap dipanggil Ahok dalam salah satu media sosial (medsos) (14/9/2020) yang telah beredar luas soal di masyarakat. Mantan Gubernur DKI Jakarta mengungkapkan berbagai persoalan. Mulai holding, sub holding hingga cucu dan cicit dari perusahaan energi plat merah ini. Boleh dikatakan hanya sebagian persoalan saja diungkap Ahok. Namun seiring perjalanan waktu, pada saatnya juga akan terkuak.
Suka atau tidak suka, semua media berlomba menulis testimoni Ahok ini. Bahkan sempat menenggelamkan panasnya hubungan para Menteri Jokowi dengan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan mengenai kebijakan PSBB ketat diberlakukan. Itu bisa terjadi karena Ahok selain dia sebagai Komisaris Utama Pertamina, sekaligus sosok kontroversial, sehingga komentar pedas Ahok sangat ditunggu-tunggu para awak media.
Artinya dari testimoni ini, Ahok lagi mengirim pesan keras ke publik bahwa Erick Tohir, Menteri BUMN telah berbohong, yaitu ketika mengatakan bahwa memilih direksi Pertamina pada RUPS 12 Juni 2020 adalah karena KPI (Key Performace Indicator)nya bagus, ternyata fakta yang diungkap Ahok malah sebaliknya.
Meskipun semua yang diungkap Ahok telah kita beberkan sejak tahun 2015 hingga 2020, namun banyak pihak tidak juga percaya atau pura-pura tidak percaya. Tetapi bagi kita hal tersebut tidak terlalu penting mau percaya atau tidak. Biarlah waktu akan menjawab semuanya. Dan sekarang Ahok telah menjawabnya.
Sejak awal April hingga Juni 2020 kita berhipotesis bahwa ngototnya Pertamina tidak menurunkan harga BBM sepeser pun ketika harga minyak dunia pada posisi terendah selama 43 tahun terakhir karena terjadi inefisiensi di proses bisnis Pertamina dari hulu ke hilir.
Untuk itu kita mengapresiasi tinggi dan mendukung penuh semua langkah Ahok. Maju terus dan pantang mundur.
Abaikan saja suara Andre Rosiade, anggota DPR RI Komisi VI yang meminta Ahok dicopot karena membuat gaduh di Pertamina. Sayangnya, mengapa Ahok sebagai Komisaris Utama tidak mengambil tindakan tegas, yaitu mengambil langkah menonaktifkan direksi yang telah melanggar prinsip GCG dan merugikan Pertamina. Padahal sesuai UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Pasal 31 UU BUMN Nomor 19 Tahun 2003 tentang tugas seorang Komisaris BUMN, yakni mengawasi dan menasehati direksi, serta tugas dan wewenangnya komisaris lebih lengkap dan detail diatur pada Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan dan Pembubaran BUMN sangat bisa melakukan tindakan semua itu. Atau paling tidak, dia bisa membuat rekomendasi dari dewan komisaris ditujukan kepada menteri BUMN untuk mengganti jajaran direksi dan komisaris di holding dan sub holding serta cucu dan cucitnya yang telah terlanjur menempatkan orang yang tidak mempunyai kompetensi dan integritas serta tidak kredibel.
Atau bisa jadi rekomendasi tidak bisa keluar, karena dewan komisaris tidak kompak. Atau banyak yang tidak satu visi dan misi dengan Ahok, terpaksalah harus diungkap ke publik melalui medsos.
Menurut hemat kita, semua persoalan yang ada di Pertamina selama ini berhasil ditutup rapat dengan pencitraan yang dikemas seolah-olah kinerja direksi hebat.
Buktinya, pada Agustus hingga September 2020, kita menemukan sedikitnya 4 rilis media yang berasal dari humas perusahaan yang judul berita dan kontennya terkesan menyesatkan publik. Pertama, rilis berjudul ‘Sukses Produk D100 Green Diesel Kado Pertamina HUT RI ke 75’. Kedua, ‘Pertamina Ekspor Solar Euro4 ke Malaysia senilai USD 9,5 miliar.’ Ketiga, ‘Harga Pertalite Diturunkan Jadi Setara Premium Rp 6450 Perliter’. Keempat, ‘Dorong Efisiensi, PGN Hemat Biaya Pipa Rokan Rp 2,1 Triliun.’
Tentang ulasan konten yang menyesatkan publik tersebut, kita akan mengulasnya dalam kesempatan lain. Tentu berdasarkan kaidah keilmuan dan proses bisnis yang benar serta dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.