Jakarta, Portonews.com – Tiarma Siboro, nama lengkapnya. Namun, orang-orang terdekat biasa memanggilnya dengan sebutan Ade. Disela kesibukannya menjadi seorang analis, Ade memiliki hobi unik dan bisa dibilang jarang dilakukan oleh kaum hawa. Ya, Ade adalah pembuat miniatur dan diorama, dimana seluruh hasil karyanya merupakan hasil representasi dari setiap momen atau peristiwa yang melekat dalam dirinya.
Ada kisah tak terlupakan saat ia mengawali hobi tersebut. Beberapa tahun silam, tepatnya di tahun 2017. Kala itu, wanita kelahiran Bandung, 17 Juli ini, seringkali menjaga dan merawat ayahanda yang terkena kelumpuhan pada separuh badannya akibat stroke. Kondisi ini diperparah lagi dengan serangan jantung terkadang datang secara tiba-tiba.
Secara otomatis, seluruh keluarga termasuk Ade harus berjaga-jaga karena kondisi kesehatan sang ayah yang naik turun. Ia lantas mencari cara agar matanya selalu terbuka jika tiba giliran menjaga. Ade pun mulai berkreasi membuat beragam karya, salah satu diantaranya adalah membuat miniatur.
“Jadi, mulai bikin minatur dari 2017. Bagaimana caranya biar saya tetap melek sambil jaga bapak, tapi enggak stress. Mulailah bikin komik animasi, karya-karya, intinya biar bangun saja. Waktu itu terpaksa standby 24 jam karena ada bapak. Kalau enggak menemukan kegiatan seperti ini mungkin saya bisa stres,” kata Ade, saat berbincang santai dengan PORTONEWS, di Pejaten Village, Jakarta Selatan, Oktober silam.
Alhasil, anak ketiga dari empat bersaudara ini, banyak membuat seni miniatur. Kreasi pertama yang ia buat adalah makanan. Lalu, Ade membeli dry clay dan mulai membuat benda-benda yang diinginkan.
“Saya lihat di internet, kok mereka (seniman) bisa buat karya yang keras, ternyata mereka pakai polymer clay. Terus, saya perhatikan cara membuatnya dan mulai buat sendiri. Kemudian, mulai coba bahan kayu, kalau itu lumayan susah pembuatannya,” ujar alumni Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung ini.
Ade mengakui, bahan-bahan dasar membuat miniatur memang harus dibeli di toko khusus. Namun, ia dengan mudah mendapatkannya di toko online. Sementara, untuk pengerjaannya juga harus sedetail dan semirip mungkin dengan benda atau produk aslinya. Tak heran, bila untuk satu benda saja bisa memakan waktu hingga satu minggu.
Suatu hari, pernah ada seorang teman yang ingin dibuatkan miniatur replika rumahnya. Ade lantas mengerjakannya dengan sama persis seperti rumah tersebut. Kemudian, teman lainnya juga pernah memesan miniatur senjata bela diri asal Jepang, Katana.
“Saya coba bikin bagaimana cara agar sarungnya tetap bengkok, besinya bisa masuk dan tetap tajam, dan ternyata saya bisa. Saya senang waktu teman saya bilang benar ini Katana. Bangga banget rasanya,” ucap Ade bersemangat.
Wanita yang sempat mengambil sekolah seni ini, juga sempat membuat restoran Jepang lengkap dengan makanan-makanan mungil di dalamnya. Lalu, ada pula temannya yang memesan karakter orang untuk diberikan sebagai hadiah. Ade berhasil membuat karakternya sangat mirip, hingga temannya tidak menyangka sama sekali.
Hasil kreasi yang sudah pernah dibuat kemudian ia foto dan memasukkannya di media sosial, Instagram dan Facebook. Dari sana Ade mulai dibanjiri pesanan, bahkan ada orang yang memesan miniatur sampai ratusan jumlahnya.
“Pernah ada yang mau order banyak, tapi enggak bisa karena ini kan handmade. Saya enggak bisa bikin dua benda yang sama untuk produksi massal. Selain itu juga waktu saya sangat terbatas karena masih kerja. Jadi, kalau lagi ada order biasanya pulang kerja langsung dikerjakan,” ungkapnya.
Sementara itu, mengenai harga, Ade mematok harga tergantung dari kompleksitas benda yang dipesan. Meski demikian, para customer Ade tidak mempermasalahkan harga yang ditawarkannya.
“Harga tergantung dari kompleksitasnya. Harganya sekitar Rp150 ribuan, itupun orang pada mau beli. Padahal modalnya enggak banyak, hanya dari clay dan beberapa bahan campuran lainnya. Boleh dibilang ini masih bagian dari hobi. Saya tidak bisa menjual banyak, biasanya hanya ada satu barang saja atau terbatas,” papar Ade.
Ade sungguh menyukai kegiatan yang mengusung seni dan kreativitas seperti ini. Ia tidak semata-mata menjadikan miniatur itu sebagai sumber pencaharian. Malah, sekali waktu ada teman yang memesan miniatur kepadanya. Ketika miniatur itu jadi lalu diterima temannya sangat senang dan Ade dengan senang hati pula memberikannya gratis tanpa bayaran apapun.
“Hal yang didapat dari kegiatan ini adalah saya bahagia. Misalnya, bisa enggak ya saya buat daging sampai terlihat ada urat-uratnya, terus saya mengkhayal dan akhirnya jadi. Makin senang kalau orang bilang mirip, berarti saya bisa, sudah seperti itu saja. Sambil mengetes diri sendiri juga,” tuturnya, semudah itu.
Ia menambahkan, banyak orang dengan kemampuan melebihi dirinya dalam membuat karya seni ini. Namun, sekali lagi, wanita yang suka mengajarkan cara membuat miniatur kepada anak-anak di sekitar rumahnya itu, sudah cukup senang bila ada seseorang yang ingin memesan miniatur padanya.
“Mungkin lain hal kalau saya ambisi. Kalau sudah pensiun mungkin bisa fokus di sini, karena kalau tidak fokus maka akan terhenti,” jelas Ade.
Jurnalis Perang
Sebagai wanita, sosok Ade memang menakjubkan. Selain berbakat dalam dunia seni kreatif dengan membuat benda-benda berukuran mini, rupanya ia pernah menjadi jurnalis perang. Menarik, bukan?
Sejatinya, Ade memang bercita-cita ingin menjadi jurnalis. Usai lulus kuliah, Ade langsung melamar pekerjaan sebagai jurnalis. Keseruan hidupnya pun bermula di sini. Ade ditempatkan di kompartemen berita nasional, hingga seringkali ditugaskan meliput konflik.
Ade bercerita, ketika ia ditugaskan pertama kali ke wilayah konflik, yaitu Timor Leste, dahulu bernama Timor Timur, saat sampai ia disambut oleh suara tembakan dari berbagai arah. Takut menyeruak dalam diri Ade, tetapi ia harus tetap menjalankan tugasnya.
“Saya terima meskipun berat. Berani sama goblok itu beda tipis. Mungkin saya goblok karena itulah saya berani, kalau pintar mungkin saya enggak mau. Waktu menjalaninya depresi tapi sekarang jadi kenangan yang lucu-lucu saja. Bagaimana waktu itu saya terjebak diantara tembakan-tembakan. Pernah juga dihadang dengan parang,” tuturnya, sambil tertawa lepas mengenang peristiwa tersebut.
Tiarma Siboro, saksi mata di setiap perlawanan dan kebanggaannya menjadi jurnalis akan selalu terbawa hingga akhir cerita.