Jakarta, Portonews.com – Boleh dibilang, separuh perjalanan hidupnya ia isi dengan bekerja. Ya, menjadi seorang wanita karir dengan jabatan tinggi seperti sekarang ini tidak ia raih dalam waktu semalam. Sebuah proses panjang, selama 19 tahun suka duka dilewati oleh perempuan berparas ayu ini dalam meniti karirnya.
Anggie Setia Ariningsih mengawali karirnya sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) kelas 2, menjadi seorang guru bahasa Inggris. Bayangkan, seorang anak remaja berumur 16 tahun sudah dipercaya menjadi guru bahasa asing di berbagai sekolah.
Bakat bahasanya memang sudah ada sejak Anggie kanak-kanak. Dia belajar bahasa Inggris dari seringnya menonton tayangan Sesame Street dan talkshow di televisi. Sejak saat itu, ia mulai senang berbicara dalam bahasa Inggris. Beranjak remaja Anggie mulai menyukai debat Bahasa, terutama Inggris.
Anggie menceritakan, perlombaan debat bahasa Inggris sering dilakukan di sekolah-sekolah, tetapi waktu itu hanya Sekolah Menengah Atas (SMA) yang mengadakan perlombaan tersebut. Sementara, SMK belum pernah mengadakan lomba yang sama.
“Waktu itu lomba debat kesannya hanya untuk anak orang kaya dan dari SMA, tapi aku ngotot mau ikut. Akhirnya sekolahku menjadi SMK pertama yang ikut perlombaan debat bahasa Inggris. Aku lalu mengusulkan ada debat nasional untuk anak-anak SMK. Akhirnya aku juara nasional beberapa kali,” kata Anggie Setia Ariningsih, Direktur Corporate Affairs and Public Relations Akulaku Indonesia, saat berbincang dengan PORTONEWS, di Ecology Kemang, Jakarta, (26/3/2019).
Anggie bahkan membuat buku modul bagaimana bisa bahasa Inggris tanpa harus ke tempat kursus. Zaman dulu kursus-kursus bahasa Inggris memang menjamur di Jakarta dan terbilang cukup mahal biayanya, sebut saja English First (EF), Lembaga Indonesia Amerika (LIA), dan lain sebagainya.
Hingga suatu hari, Anggie dilirik oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan diminta untuk mengajar. Jadilah Anggie mengajar bahasa Inggris setiap hari Senin-Jumat di SMK-SMK wilayah Jakarta dan beberapa daerah di Pulau Jawa. Tidak hanya mengajar, ia juga membentuk English Debating Society. Dari hasil mengajar Anggie diberikan uang transport sebesar Rp50.000-Rp100.000.
Seiring berjalannya waktu, karir Anggie perlahan merangkak naik. Ia mulai bergelut dengan dunia oil and gas. Ia menjabat sebagai project admin di perusahaan kontraktor migas, PT Raga Perkasa Ekaguna. Anggie mulai belajar untuk teliti dalam mempelajari dokumen-dokumen yang masuk kepadanya. Kemudian ia pindah ke perusahaan migas lainnya, Co Maritime.
Pimpinan Anggie berbaik hati menyuruhnya belajar bisnis di perusahaan rekanan mereka, BP. Di sana ia terjun langsung ke daerah-daerah terpencil, seperti di kawasan Papua, ke luar negeri, hingga berada di kapal bersama 72 laki-laki. Anggie bergabung dengan BP selama dua tahun, mulai dari 2005-2007. Setahun kemudian, ia dipindahkan ke Pertamina Hulu Energi (PHE).
Tidak lama kemudian, ia tinggal sementara di Amerika Serikat (AS) mengikuti suami yang bertugas di Houston, AS. Padahal sebelumnya ia baru empat bulan bekerja di perusahaan DAR Energy. Belasan tahun Anggie berkecimpung di industri migas, Anggie memutuskan untuk tinggal di AS bersama suami dan tiga anaknya selama empat tahun.
Sejak kepulangannya dari AS, lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini pun memilih perusahaan startup di bidang transportasi yang keberadaannya sempat booming di Indonesia, yaitu Uber.
“Di Uber semua orang open minded sekali. Jujur saja waktu pulang ke Indonesia aku shock karena di sini soal penampilan saja diperbincangkan. Di Uber itu menarik, mau berpenampilan seperti apapun terserah yang penting kerja. Tidak ada prototipe lah di Uber. Ketika Uber harus dilepas, aku merasa mungkin fintech bisa jadi yang terbaik untuk karirku,” ujar perempuan yang jago memasak ini
Sehubungan Uber telah ditutup, maka Anggie melanjutkan karir startupnya di Tunai Kita. Baru satu tahun di Tunai Kita ia kembali mendapat tawaran menarik di Akulaku.menjadi Direktur Corporate Affairs and Public Relations.
Perpindahannya dari dunia migas ke startup memang terkesan jauh sekali perbandingannya. Di startup menurut Anggie, justru ia mempunyai kesempatan untuk membuat Standart Operational Procedure (SOP), lebih mengedepankan ide -ide kreatif, serta waktu yang fleksibel.
“Kalau punya ide dikerjakan, you believe in something, you do it, itu saja. Startup adalah waktunya aku untuk jadi diri sendiri, mengerjakan apa yang aku mau. Meskipun banyak orang menyarankan kembali lagi ke oil and gas, karena kenyamanan dan benefit yang didapat di startup tidak ada apa-apanya kalau dibandingkan oil and gas,” ucapnya.
Soal kenyamanan memang berkaitan dengan keluarga, terlebih lagi Anggie masih mengurus ketiga anaknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Beruntungnya, Akulaku cukup memahami hal tersebut.
“Kalau di Akulaku so far so good. CEO dan Country Manager sangat mengerti. I’m gonna give my 100 % for my work. Pekerjaan aku memang berbeda sama orang yang bekerja duduk di kantor,” ungkap perempuan yang juga memiliki yayasan pendidikan untuk anak kurang mampu bernama BSC Al Futuwah.
Ia sangat menyayangkan bila ada orang atau ada seorang suami mengatakan anak-anak dan keluarga bukanlah prioritas. Anggie mengungkapkan, istri bekerja sama halnya dengan berkontribusi menghasilkan uang untuk keluarganya.
“Pertama, kalau perempuan kerja duitnya dipakai juga sama keluarga. Kedua, kita masih ngurusin keluarga juga kok. Ketiga, mungkin keluarga tidak bisa liburan kalau istri tidak bekerja, dengan istri bekerja jadi punya duit lebih untuk liburan. Itu kan nyenengin anak juga. Persepsinya harus diubah. Jadi aku pikir orang-orang sebaiknya berhenti menilai buruk seseorang,” tuturnya.
Ya, Anggie memang sangat concern pada dunia perempuan. Ia sampai membuat sebuah gerakan let support each other dalam bentuk edukasi. Dia juga mengajak mengurangi judge mental kepada perempuan lain. Anggie mengingatkan, banyak orang baik di luar sana. Perempuan hanya harus showing strong.
“I think everybody needs their own support system. Kita pasti punya support system di kehidupan kita dan tentunya harus mensupport juga,” papar perempuan yang memiliki jiwa sosial tinggi ini.
Anggie memiliki cita-cita punya sekolah terbuka dan gratis. Ia ingin mengedepankan pendidikan, serta ingin membuat kampanye tentang migrain awareness. “Perempuan kadang tidak sadar kalau dia sakit. Aku bisa berkontribusi di pendidikan dan kesehatan,” Anggie berucap.