Jakarta, Portonews.com – PT Geo Dipa Energi (Persero) (GeoDipa) sebagai special mission vehicle (SMV) Pemerintah di bawah Kementerian Keuangan, adalah satu-satunya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bergerak di pengembangan panas bumi, yang saat ini sebagai pelaksana upaya Pemerintah menurunkan risiko pengusahaan panas bumi melalui pengeboran eksplorasi panas bumi.
Sebagaimana dimaksud dalam UU Panas Bumi No. 27 tahun 2003, Pemerintah telah mendapatkan persetujuan Komisi XI DPR RI untuk melaksanakan pengelolaan Dana Geothermal yang telah dialokasikan dalam APBN. Untuk merealisasikan pemanfaatan Dana Geothermal dimaksud, Pemerintah melalui Menteri Keuangan telah mengeluarkan PMK No.286/KMK.011/2011 tentang Penugasan Kepada Pusat lnvestasi Pemerintah Untuk Melaksanakan Pengelolaan Dana Geothermal dan PMK No.178/PMK.05/2011 tentang Tata Cara Penyediaan dan Pencairan Dana Geothermal dari Rekening Kas Negara ke Rekening Induk Dana lnvestasi Pada Pusat lnvestasi Pemerintah. Terakhir, pada tahun 2017, Kementerian Keuangan telah mengeluarkan PMK Nomor 62/PMK.08/2017 tentang Pengelolaan Dana Pembiayaan Infrastruktur Sektor Panas Bumi (PISP) pada PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero).
Dalam hal ini, GeoDipa sebagai satu-satunya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang fokus pada pengembangan PLTP di bawah pembinaan dan pengawasan Kementerian Keuangan, menerima penugasan untuk melakukan akselerasi kegiatan pembangunan pengembangan energi panas bumi. Sinergi dan komitmen yang dilakukan oleh BUMN GeoDipa ini adalah kesiapan sebagai pelaksana pengeboran eksplorasi dengan PT PII sebagai penjaminan resiko eksplorasi melalui pengelolaan Dana PISP oleh PT SMI.
Monopoli PT PLN (Persero) sebagai satu-satunya badan usaha penyedia jasa di bidang ketenagalistrikan diberikan tanggung jawab oleh pemerintah untuk bisa memenuhi kebutuhan energi listrik di Indonesia. Pembangunan energi listrik dari energi terbarukan setiap tahunnya ada peningkatan walaupun sangat lambat karena naik-turunnya pembeli listrik PLN atau demand PLN khususnya di luar Jawa Bali tidak seperti yang diperkirakan. Oleh karena itu, beberapa kebijakan langkah strategis sektor energi terbarukan yang harus dilakukan untuk membangun ketenagalistrikan yang sehat dan berkelanjutan.
1) Menyehatkan PLN
Pertama, PLN agar bisa menjadi badan usaha yang sehat, maka tetap perlu ditingkatkan penerapan Good Corporate Governance agar cepat tumbuh menuju World Class Company. Prinsip ini dilakukan dengan harapan agar PLN dengan cepat melakukan perubahan budaya perusahaan sesuai dengan kondisi yang dihadapi saat ini, akibat sangat cepatnya perubahan dan tuntutan dunia.
Dalam strategi bisnisnya, PLN juga harus bisa melakukan investasi atau kerjasama dengan menerapkan risk sharing dan mempersiapkan mitigasi dari setiap resiko yang akan terjadi demi kelancaran dan keberhasilan perusahaan kedepan. Diharapkan, PLN dapat memberikan keuntungan untuk negara karena kebutuhan listrik masih besar/banyak.
Selain itu, penetapan harga jual listrik oleh pemerintah harus mencapai angka keekonomian bagi PLN agar tidak terjadi subsidi yang terlalu tinggi akibat naik-turunnya politik dan ekonomi dunia yang juga mengakibatkan naiknya nilai tukar dolar US terhadap rupiah. Penetapan harga jual listrik baru kepada masyarakat yang dilakukan oleh pemerintah dengan persetujuan DPR RI harus dilakukan setiap saat agar mendapat pertimbangan yang tujuannya meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Sebaliknya, apabila penetapan harga jual listrik oleh pemerintah masih jauh terdapat selisih antara nilai keekonomian dan nilai yang ditetapkan tersebut akibat tingginya nilai tukar dolar US terhadap rupiah, maka perlu adanya jaminan kompensasi dari pemerintah dan DPR Rl terhadap selisih tersebut.
2) De-politisasi Tarif Listrik
Tarif listrik yang sudah mejadi instrumen politik (listrik murah) yang tidak rasional yang dalam penetapannya perlu dirubah. Saat ini memang sulit untuk bisa menentukan tarif listrik yang rasional agar usaha ketenagalistrikan bisa mencapai angka keekonomian.saja tidak harus mahal, melainkan nilai yang bisa mencapai rasionalitas dari setiap aspek yang diperhitungkan untuk menyalurkan listrik. Selain itu, harus ada konsistensi dan persamaan visi serta komitmen bersama dalam menentukan tarif biaya listrik, agar pembangunan pembangkit listrik energi terbarukan dapat diperkenankan menggunakan pinjaman perbankan, melalui penjaminan oleh pemerintah.
Dengan demikian, penyesuaian harga listrik harus dilakukan dengan mempertimbangkan harga pembangkit baru dari setiap sumber energi terbarukan yang digunakan untuk pembangkitan listrik, ditujukan tidak hanya sebagai definisi melengkapi elektrifikasi rasio, tetapi juga untuk membangun kesejahteraan ekonomi masyarakat. Penentuan mekanisme penetapan tarif baru mungkin harus dilakukan bertahap dan harus dilakukan secara konsisten agar tujuan pencapaian kesejahteraan ekonomi masyarakat dapat tercapai dengan segera. Hal konsistensi ini juga terkait dengan adanya pemberian subsidi dari pemerintah dalam jangka waktunya.
Biaya operasi energi terbarukan umumnya kecil dan hampr dikatakan flat/konstan tidak terpengaruh dengan harga pasar dibandingkan dengan biaya investasi awalnya yang sangat tinggi/mahal. Disinilah peran subsidi atau Insentip pemeintah apabila terjadi harus dilakukan oleh pemerintah untuk jangka waktu 5-10 tahun saja, dan setelah itu tidak diperlukan subsidi pemerintah.
3) RUKN Harus Berdasar Demand Creation (terutama yang berbasis ET)
Rencana Umum Ketenagalistrikan (RUKN) yang selama ini berdasar pada Demand Growth harus diperluas dengan mencakup Demand Creation untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pengembangan energi terbarukan. Hal ini sangat perlu dilakukan untuk dapat mendorong tumbuhnya Kawasan Ekonomi Baru sesuai dengan program-program yang telah atau akan ditetapkan. Kedua, adalah untuk memastikan Ketahanan Energi Nasional, memastikan anak cucuk kelak masih memiliki warisan sumberdaya energy. Koordinasi Multi Kementerian dalam merealisasikan listrik baru dengan energi terbarukan dalam rangka membuka atau menumbuhkan Kawasan Ekonomi sangat perlu dilakukan dengan konsisten dan pasti agar penerapan/pembangunan/implementasinya tersebut dapat direalisasikan dengan baik dan cepat. Peran PLN disini sangat diharapkan berdiri didepan sebagai pemimpin sector energi bersama Kementerian ESDM dalam membangun Demand Creation untuk memastikan Indonesia aman mendapatkan energi yang terjangkau harga dan kualitasnya bagi masyarakat.
4) PLN dan IPP Harus Risk Sharing
Prinsip risk sharing harus diterapkan dengan pendekatan yang transparan dan saling menguntungkan. Saat ini PLN sebagai Pemegang Wilayah Usaha masih harus menanggung Reserve Margin, Peaking, Resiko Turunnya Beban, dan sebagainya. Pihak IPP belum dikenakan resiko ini dengan hal-hal tersebut.
Pembagian resiko selayaknya harus dilakukan dengan memperhatikan berbagai macam resiko termasuk resiko pasar yang mempertimbangkan beban industri dan pemakaian produktif untuk seluruh kerjasamanya yang pada prinsipnya untuk menumbuhkan/membangun kawasan ekonomi baru. Kerjasama PLN dengan IPP perlu diperluas yang didukung oleh pemerintah agar PLN sebagai pembeli dan distribusi listrik tetap sehat. Hal ini, tentu kerjasama bisnis yang lebih nyata seperti masukanya saham PLN di IPP tergantung dengan kesepakatan kedua belah pihak dalam menjabarkan arti dari Win-Win Solution. Sampai hari ini, kerjasama hanya banyak terjadi di pembangkitan fossil batubara dan belum ada di Energi Terbarukan.
Risk Sharing masih sulit mencapai satu persamaan definisi oleh kedua belah pihak dan belum mencapai Win-Win Solution bail PLN dan IPP. Kementerian BUMN dan Kementerian ESDM perlu membuatkan kebijakannya agar perkawinan ini jelas aturan mainnya (rambu-rambunya) dan tidak terjadi kesalahan dalam aturan mainnya dibelakang hari akibat terjadinya kerugian uang negara.
5) Bangun Infrastruktur Energi Terbarukan Melalui KPBU
Dalam mekanisme pelaksanaannya, pembangunan rumah dengan skema KPBU ini mirip seperti pembangunan jalan tol, di mana pihak swasta akan melakukan desain, pendanaan, dan pengoperasian. Kerjasama tersebut juga tentunya akan berlaku selama konsesi yang disepakati untuk kemudian diserahkan kepada pemerintah.
Begitupula dengan proyek infrastruktur ketenagalistrikan di lokasi yang masih didominasi oleh import BBM, yang dapat digantikan dengan energi terbarukan seperti energi panas bumi yang kaya raya terbanyak/besar di dunia. Keberhasilan dalam pelaksanaan proyek-proyek infrastruktur ketenagalistrikan energi panas bumi tentu akan dapat menyertakan skema KPBU demi terciptanya konektivitas pembangunan ekonomi antar daerah.
Dalam pelaksanaan proyek dengan skema KPBU, PT PII melaksanakan penjaminan atas kewajiban finansial PJPK yang dilaksanakan berdasarkan Perjanjian Kerja Sama yang biasanya memiliki jangka waktu yang Panjang untuk memungkinkan pengembalian investasi pihak Badan Usaha. Basis dari perjanjian kerjasama proyek KPBU adalah pembagian alokasi risiko antara Pemerintah (melalui PJPK) dan Badan Usaha. Setiap risiko dialokasikan kepada pihak yang secara relatif lebih mampu mengendalikan, mengelola, mencegah ataupun menyerapnya. Bentuk perjanjian kerjasama proyek KPBU dapat berupa kerjasama operasi dan pemeliharaan fasilitas infrastruktur hingga pembiayaan, penyediaan dan pengoperasian fasilitas infrastruktur.
Selain PT PII, Kementerian Keuangan juga membentuk badan usaha lain yang memiliki tugas serta fungsi untuk melaksanakan tugas-tugas pembangunan yang diamanatkan kepada Menteri Keuangan di luar fungsi pengelolaan fiskal utama dalam bentuk Special Mission Vehicle (SMV). Badan usaha tersebut antara lain adalah PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero), PT Sarana Multigriya Finansial (Persero), PT Geo Dipa Energi (Persero), dan Lembaga Pembiayaan Ekspor Impor (LPEI).
SMV tersebut juga diwajibkan untuk melakukan sinergi guna mendukung capaian program-program pemerintah. Dalam pelaksanaannya, SMV harus mendukung investasi pemerintah dan penyediaan barang serta sarana publik yang dibutuhkan secara sosial ekonomi, meskipun tidak menguntungkan secara bisnis/komersial.
Dengan demikian, kebutuhan infrastruktur sebagai konektivitas nasional tidak hanya mengandalkan APBN semata, melainkan perlu adanya peran swasta untuk mempercepat konektivitas antar daerah guna pertumbuhan ekonomi yang lebih merata. Dengan cara ini, biaya pembangunan infrastruktur terhadap APBN semata atau anggaran negara yang terbatas dapat dipastikan akan pengurangan drastis utang pemerintah dalam membangun infrastruktur.