Jakarta, Portonews.com – Sudah lebih dari setahun sejak gempa berkekuatan 7,4 mengguncang Palu, Sulawesi Tengah. Namun hingga kini, ratusan kepala keluarga (KK) masih tinggal di tenda pengungsian dengan kondisi yang amat memprihatinkan.
Nur Safriti dari Yayasan Sikola Mombine mengatakan banyak korban gempa tinggal di tenda karena belum mendapatkan hunian sementara (huntara). Tempat pengungsian tersebar di Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Kabupaten Donggala.
Mereka yang berada di tenda-tenda pengungsi bukan hanya orang dewasa, tetapi juga bayi dan anak-anak dengan kondisi yang cukup memprihatinkan. Mereka kekurangan makanan dan kebutuhan lainnya.
Bahkan tempat tinggal mereka itu sebenarnya tidak layak untuk dijadikan tempat tinggal karena tendanya sudah bocor sehingga saat hujan tak jarang banjir masuk ke tenda dan mengusik kenyamanan para korban.
Nur menambahkan rata-rata pengungsi bertahan di tenda terbuat dari terpal. Saat huntara dibagikan, mereka tidak mendapatkan karena namanya tidak ada dalam daftar penerima.
“Karena tidak mendapatkan huntara, makanya mereka memilih untuk tinggal di tenda pengungsi, meski tidak layak dihuni,” kata Nur seperti dikutip kantor berita Antara, Selasa (8/10/2019).
Tanpa Jaminan Hidup
Selain tinggal di tenda darurat, para penyintas bencana alam di tiga wilayah Palu, Sigi, dan Donggala hingga kini belum juga mendapatkan jaminan hidup. Padahal pemerintah sudah menjanjikannya.
“Kalau pemerintah tidak punya uang, lebih baik berterus terang saja kepada kami. Bukan hanya janji-janji saja sebagai surga telinga,” kata salah seorang penyintas yang enggan disebut identitasnya dan masih tinggal di tenda di Kecamatan Palu Barat.
Hal senada juga disampaikan Rosa, warga korban gempa di Kelurahan Wombo Kalongo Kecamatan Taweli. Dia masih tinggal di tenda pengungsi bersama belasan KK lainnya karena rumahnya hancur. Mereka belum mendapatkan bantuan dana untuk pembangunan atau perbaikan rumah rusak akibat gempa. Dia juga mengaku tidak mendapatkan bantuan huntara dan jaminan hidup.
Bencana alam paling dahsyat di Provinsi Sulteng tersebut menelan korban jiwa mencapai ribuan orang. Bencana yang terjadi pada September 2018 ini menghancurkan banyak rumah , jalan, jembatan, jaringan listrik, telekomunikasi, dan irigasi.
Di Kabupaten Sigi, ribuan petani masih merana karena tidak bisa menggarap lahan. Jaringan irigasi rusak total dan sedang dalam upaya perbaikan oleh pemerintah pusat dan daerah.
Terdapat sekitar 8.000 hektar lahan pertanian pangan dan hortikultura di empat kecamatan Gumbasa, Tanambulva, Dolo, dan Sigibiromaru terlantar karena irigasi rusak diterjang gempa dan likuefaksi pada 28 September 2018.