Pemerintah Amerika Serikat melalui Departemen Luar Negeri meminta calon pelamar visa ke Amerika Serikat untuk menunjukkan akun media sosial yang mereka punya.
Kebijakan tersebut dikonfirmasi oleh seorang pejabat berwenang di Departemen Luar Negeri. Tanpa ingin mengungkap identitas dirinya, pejabat tersebut mengatakan kebijakan itu telah berlaku sejak 25 Mei lalu.
Berdasarkan informasi dari pejabat itu,seperti dikutip dari AFP, maka petugas konsuler dapat meminta informasi tambahan yang mereka butuhkan kepada calon pelamar visa Negeri Paman Sam. Hal ini untuk mencegah pendatang dengan latar belakang radikal atau memiliki motif untuk melakukan teror menginjakan kakinya di AS.
“Calon pelamar visa akan ditanya informasi tambahan, termasuk akun media sosial yang mereka miliki. Tentu mereka juga ditanya mengenai nomor paspor, anggota keluarga dan sejarah bepergian ke luar negeri, pekerjaan dan kontak informasi yang mereka miliki,” ujar pejabat di Deplu tersebut.
Tetapi, dia mengatakan perubahan kebijakan terhadap calon pelamar visa ini hanya akan berdampak terhadap satu persen dari lebih dari 13 juta pengajuan visa ke AS dari seluruh dunia. Petugas konsuler di Kedutaan AS juga tidak akan meminta password ke akun media sosial si calon pelamar.
Tetapi, jika memang diperlukan, contohnya adanya dugaan bahwa calon pelamar visa pernah mengunggah materi di Facebook atau mengikuti akun-akun kelompok ekstrimis di Twitter atau Instagram, maka mereka akan dikenai pertanyaan tambahan.
Pengetatan proses pemindaian terhadap calon pelamar visa ke AS merupakan kebijakan lanjutan setelah sebelumnya pemerintahan Donald Trump melarang warga dari enam negara masuk ke Negeri Paman Sam. Enam negara itu mayoritas berpenduduk Muslim.
Kebijakan lainnya yang telah dilakukan yakni melarang masuk laptop atau alat elektronik lebih besar dari ukuran ponsel ke dalam kabin pesawat. Larangan itu dikhususkan bagi semua pesawat yang terbang dari bandara-bandara di Timur Tengah dan akan mendarat di AS.
Kebijakan tersebut diberlakukan setelah pemerintah AS menerima laporan dari CIA (badan intelijen Amerika Serikat) bahwa ada kemungkinan kelompok militan memasukan bom melalui laptop.
Sementara, kebijakan baru yang harus menunjukkan akun media sosial sudah tentu dikritik publik. Banyak yang mengaku khawatir akan dilabeli hanya karena memiliki pandangan politik atau agama tertentu berdasarkan materi yang diunggah di media sosial.