Jakarta, Portonews.com – Modernisasi alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI kurang diperhatikan. Anggaran pertahanan terus naik tapi pembelanjaan alutsusta menurun.
“Soal anggaran, memang di era Presiden Joko Widodo ada peningkatan anggaran pertahanan yang cukup signifikan. Misalnya, pada 2014 sebesar Rp86 triliun. Pada 2019 ini tercatat Rp108 triliun. Itu artinya lebih dari 25 persen naiknya dari awal sampai sekarang. Bahkan tahun depan diprediksi mencapai Rp127 triliun,” kata peneliti senior Imparsial, Anton Aliabbas, di Jakarta, Jumat (4/10/2019).
TNI genap berusia 74 tahun hari ini, Sabtu (5/10/2019). Seiring berjalannya waktu, banyak persenjataan TNI yang mulai usang sehingga harus dimodernisasi.
Anton menyebutkan ada ada tiga komponen dalam anggaran pertahanan. Pertama, adalah anggaran rutin, gaji dan lain-lain; kedua adalah anggaran belanja barang mencakup penggunaan barang dan lain-lain; ketiga belanja modal, terkait pembelanjaan alutsista.
“Kalau saya mencoba membandingkan, benang merahnya, Pak SBY pada tahun 2013-2014 itu sangat terlihat, bahwa anggaran rutin memang selalu menjadi pos pertama. Perbedaannya antara Jokowi dan SBY adalah di era Pak SBY anggaran pembelanjaan modal itu menjadi nomor dua terbesar. Jadi pada tahun 2013, anggaran rutinnya ada di Rp33,5 triliun di anggaran modalnya ada di Rp25,7 triliun,” kata Anton.
Tidak Ada Konsep
Di era Jokowi saat ini, ketika ada lonjakan anggaran yang cukup tinggi dan signifikan, namun sayangnya anggaran belanja modal menjadi komponen nomor tiga.
“Bahkan pada 2018 justru sangat rendah terkait belanja modal, karena di tahun sebelumnya di 2017 itu sekitar Rp33.4 triliun dan di tahun 2018 justru cuma setengahnya Rp19,1 triliun. Itu jadi problem utama, kami melihat pertama bahwa ada lonjakan anggaran pertahanan yang cukup signifikan, tapi tidak ada konsep, tidak ada panduan, visi yang jelas sehingga tidak ada arah,” katanya.
Hal lainnya adalah terkait manajemen personel karena belakangan sempat ada kabar terkait kebangkitan dwi fungsi TNI akibat banyak perwira tinggi dan perwira menengah tidak memiliki jabatan.
Ia menambahkan, para aktivis khawatir terkait jabatan dwi fungsi TNI semakin nyata, karena ternyata banyak juga perwira aktif yang menduduki jabatan sipil.
“Saat ini ada perwira aktif yang menduduki jabatan di Kementerian ESDM. Padahal kita tahu bahwa ESDM tidak termasuk jabatan yang boleh dimasuki oleh TNI,” ucapnya.