Jakarta, Portonews.com – Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Teknologi Mineral dan Batubara (tekMIRA), Hermansyah mengatakan, pihaknya menawarkan salah satu metode pemanfaatan batubara di kedalaman lebih dari 200 meter, dengan teknologi UCG yang dilakukan dengan mengekstrak dan mengkonversikan batubara di bawah permukaan menjadi synthetic nature gas (syngas) secara insitu.
“Teknologi unkonvensional ini tidak memerlukan penggalian batuan penutup dan lapisan batubara terlebih dahulu,” ujarnya.
Hermansyah mengungkapkan, selain dapat dimanfatkan sebagai bahan bakar pembangkit listrik, teknologi non-konvensional ini juga menghasilkan syngas untuk berbagai keperluan seperti bahan kimia industri petrokimia (amonia, methanol, dan sebagainya) dan pembuatan BBM/BBG sintentis dan bahan kimia industri.
“UCG juga menghasilkan karbondioksida (CO2) sebagai bahan enhance oil recovery (EOR) untuk meningkatkan produksi minyak nasional. UCG. Biaya produksi syngas UCG lebih murah dibandingkan impor LNG,” katanya.
Selain itu, tambahnya, teknologi UCG juga bisa membantu perusahaan batubara dalam menggunakan batubara lapisan dalam, yang secara ekonomi tidak layak ditambang.
“Biaya modal dan operasionalnya lebih rendah dibandingkan gasifikasi batubara di permukaan. Perusahaan pun dapat mengurangi dampak lingkungan serta biaya reklamasi dan pasca tambang karena tidak merubah bentang alam,” imbuhnya.
Sebagai informasi, teknologi UCG telah dimanfaatkan secara komersial di Uzbekistan sejak tahun 1945 sampai sekarang. Sejumlah negara seperti Selandia Baru, China, Amerika Serikat, Australia, Kanada, Afrika Selatan dan India. Juga telah melakukan penelitian dan ujicoba UCG.
Berdasarkan data dari Badan Geologi (2013), menunjukkan ada sekitar 40 miliar ton batubara yang berada di bawah tanah (kedalaman lebih dari 150 meter) yang dapat menjadi sumber energi untuk listrik. Diperkirakan potensi gas batubara yang dapat dihasilkan dari teknologi UCG sekitar 13,5 kali lipat dari potensi gas saat ini.