Jakarta.Portonews.com-Praktisi Migas Erie Sudarmo mengatakan memanasnya konflik Amerika-Iran, Amerika-Cina,
merupakan kesempatan bagi Indonesia untuk meneruskan pembangunan infrastruktur dan sarana produksi dalam rangka peningkatan kemampuan nasional.
Amerika Serikat kembali meningkatkan suhu konfliknya dengan Iran dengan menuduh bahwa Iran berada dibalik meledaknya dua kapal tanker yang punya keterikatan tidak langsung dengan AS baru-baru ini.
Tanker Front Altair yang mengangkut 75.000 MTon Naphta menuju Kaohsiung, Taiwan diduga meledak karena serangan torpedo, sedangkan tanker Kokuka Courageous yang tengah mengangkut 25.000 MTon Metanol dalam perjalanan ke Singapura, meledak karena dugaan terkena ranjau magnetik yang diduga diletakkan di kawasan Teluk Oman.
Kedua kapal tanker tersebut dilaporkan dalam keadaan terbakar, namun tidak tenggelam.
Konflik kawasan dengan ancaman terhadap lalulintas kapal pengangkut minyak bumi, BBM maupun produk petrokimia juga terjadi pada saat Perang Teluk (Gulf War atau Persian War) tahun 1990-1991.
“Ketika itu Irak mengancam lalulintas angkutan laut di Teluk Oman dengan meletakkan ranjau laut di kawasan teluk serta ancaman peluru kendali darat ke laut. Ancaman baru berhenti ketika AS dan sekutunya menyerang Irak dan berhasil menggulingkan pemerintahan Saddam Husein,”tutur Erie.
Meskipun demikian, lanjut Erie, dampak perang ini telah menaikkan harga minyak bumi dan produk turunannya selama konflik berlangsung.
“Apakah konflik AS – Iran saat ini akan menyebabkan naiknya harga minyak bumi dan produk turunannya seperti saat Perang Teluk berlangsung?”jelas Erie.
Menurut Erie,ada dua hal yang punya dampak saling berlawanan saat ini, konflik AS – Iran tentang perjanjian nuklir dan konflik perang dagang (tarif) antara AS – Tiongkok. Ditambah lagi keinginan negara-negara OPEC dan Rusia untuk menahan produksi minyak bumi mereka.
“Perang dagang antara AS dengan Tiongkok telah melibas perekonomian negara-negara Asia sehingga mengalami perlemahan dengan perkiraan turunnya pertumbuhan ekonomi di kawasan tersebut. Hal ini akan berdampak turunnya konsumsi minyak bumi dan produk turunannya. Oleh karena itu, negara-negara OPEC dan Rusia berniat untuk meneruskan kebijakan pengurangan produksi minyak mereka demi menjaga kestabilan harga minyak bumi,”tandasnya.
Sebaliknya,tambah Erie, konflik AS – Iran telah membawa kancah konflik kepada situasi yang mengancam kelancaran lalulintas angkutan minyak bumi ke kawasan Asia dengan akibat naiknya harga minyak bumi dan produk turunannya.
Ada hal yang membedakan situasi konflik AS – Iran dengan konflik AS – Irak pada saat Perang Teluk.
Pada saat itu, Irak dipimpin secara diktator oleh Saddam Husein yang sangat emosional dan anggota rezimnya yang dibangun secara nepotisme, sehingga kemampuan analisis jangka panjangnya pun sangat terbatas dan sederhana.
Untungnya, kemampuan milter mereka pun juga sederhana. Hal ini terbukti pada saat pemerintahan Saddam Husein digulingkan, tidak ditemukan adanya bukti WMD (Weapon of Mass Destruction) yang diklaim oleh Irak selama konflik berlangsung.
Berlainan dengan Iran, negara yang boleh dianggap setara dengan negara maju di Eropa, Iran memiliki strategi jangka panjang yang lebih canggih, ditambah lagi dengan kemampuan teknologi pertahanan (termasuk Nuklir) yang patut jadi kekhawatiran AS dan sekutunya.
Baik AS maupun Iran tidak akan berlaku bodoh dengan berjibaku langsung dengan senjata pamungkas mereka (Nuklir) dalam konflik ini, namun berbagai tekanan dan intimidasi akan saling dilontarkan, seperti kasus peledakan tanker di atas.
Konflik ini akan berlangsung cukup lama dalam situasi saling mengunci sampai ada perubahan politik di kedua Negara. Kenaikan harga minyak bumi akan terjadi secara sporadis dan fluktuatif.
Hal yang patut dicemaskan adalah kelangsungan konflik perang dagang AS – Tiongkok. Mengingat volume transaksi perdagangan yang besar oleh Tiongkok ke AS dan peran Tiongkok sebagai motor penggerak perekonomian Asia (diluar Jepang, Korea dan Taiwan), melemahnya perekonomian Tiongkok juga berarti melemahnya perekonomian Asia dan akibat pada menurunnya konsumsi minyak bumi dunia.
Kecuali negara-negara Asia sanggup dengan cepat mengambil kesempatan ini untuk mengembangkan pasar Asia dengan mengambil keuntungan kemungkinan relokasi pusat-pusat perekonomian Tiongkok ke Asia.
“Bagi Indonesia? Ini merupakan kesempatan untuk meneruskan pembangunan infrastruktur dan sarana produksi dalam rangka peningkatan kemampuan nasional,”tukas Erie.