Jakarta, Portonews.com – Porsi energi baru terbarukan (EBT) Indonesia ditargetkan mencapai 23 persen pada 2025 mendatang. Dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2019-2028 yang disusun PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), tambahan untuk pembangkit EBT hanya 16 Gigawatt (GW).
Untuk mengejar target tersebut butuh tambahan 35 GW hingga 2025 atau 5-6 GW per tahun. Salah satu langkah untuk mencapainya adalah dengan membangun kilang hijau (green refinery). Kilang ini akan menghasilkan bahan bakar minyak (BBM) nabati dari kelapa sawit.
BBM yang dihasilkan nanti akan setara dengan minyak solar, bahkan lebih baik. Jadi bisa langsung digunakan pada mesin diesel yang ada.
Pembangunan kilang hijau tentunya membutuhkan investasi yang tidak sedikit. Namun berdasarkan sumber di pemerintahan, sudah ada beberapa investor asing yang berminat membangunnya di Indonesia.
“Ada dari Inggris, Denmark, dan beberapa negara Eropa yang berminat berinvestasi di green refinery. Mereka perusahaan enregi tapi saat ini belum bisa diungkapkan perusahaan mana saja,” kata sumber di pemerintahan kepada PORTONEWS, Kamis (31/10/2019).
Jika pembangunan kilang hijau bisa diwujudkan di banyak kawasan perkebunan kelapa sawit, ada dua keuntungan yang bisa didapatkan sekaligus. Keuntungan pertama adalah meningkatnya sumber energi hijau. Yang kedua, kilang ini bisa menyerap kelebihan produksi sawit sehingga harganya tidak jatuh.
Optimalkan EBT
Sementara itu, menjalankan tugas sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif akan mengoptimalkan potensi energi baru terbarukan (EBT) yang dimiliki Indonesia. Salah satunya, pemanfaatan biodiesel yang menjadi prioritas percepatan capaian bauran EBT nasional melalui mandatori B30 (campuran 30 persen biodiesel pada minyak solar), yang akan diimplementasikan awal tahun depan.
“Untuk B30 sudah siap, ini tinggal (memastikan) suplainya, tinggal dijalankan,” tegas Arifin di Kantor Kementerian ESDM Jakarta (1/11). Sebagaimana diketahui saat ini minyak bakar jenis solar di pasaran telah dicampur dengan Bahan Bakar Nabati (biodiesel) sebanyak 20 persen atau yang disebut B20.
Kesiapan yang disampaikan Arifin ini tak lepas dari hasil uji coba penggunaan B30 pada kendaraan bermesin diesel. Setelah dilaunching pada 3 Juni 2019, uji jalan menggunakan B30 dilakukan pada kendaraan uji kurang dari 3,5 ton dan lebih dari 3,5 ton. Hasilnya, pada kendaraan uji kurang dari 3,5 ton menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan pada kinerja kendaraan yang menggunakan bahan bakar B30 dibandingkan dengan B20 yang sudah diimplementasikan selama ini. Sementara untuk kendaraan besar (lebih dari 3,5 ton) masih menyelesaikan tahapan uji jalan.
Uji Jalan
Road test B30 ini dilaksanakan Badan Litbang ESDM dengan melibatkan berbagai Kementerian/Lembaga dan stakeholder terkait antara lain, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI), PT Pertamina (Persero) dan Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo).
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo pada Rapat Terbatas (Ratas) tentang Penyampaikan Program dan Kegiatan bidang Kemaritiman dan Investasi, di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (30/10/2019), kembali menekankan kebijakan energi baru terbarukan yang harus dipercepat lagi ke depannya, terutama mandatori dari B20 menjadi B30, hingga ke B50 dan B100.
Arifin menuturkan, peralihan dari satu tahap ke tahapan lainnya membutuhkan proses dan evalusi yang berkesinambungan. “Memang Kita harus stepping, harus bertahap. B30, B40, B50 itu harus dicek kesesuaiannya dengan pemakaian. Ini kita harus menjaga kualitas saat di transportasi, tingkat security-nya. Nilai bakarnya dan sebagainya atau engine akan bermasalah,” tandas Arifin.