Jakarta, Portonews.com – Industri batu bara di dalam negeri perlu mewaspadai terhadap transisi energi global yang cenderung mengurangi permintaan akan komoditas tersebut untuk pembangkit listrik dalam jangka panjang.
Hal tersebut seperti yang dikemukakan oleh Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa di Jakarta.
Fabby mengungkapkan bahwa akan ada kecenderungan permintaan batu bara global dalam jangka panjang. Pasalnya, sebagai eksportir batu bara terbesar dunia, Indonesia bisa terdampak oleh tren tersebut.
Menurut Fabby, sejauh ini, Indonesia masih mengandalkan pasar ekspor di Asia seperti China, India. Jepang, Korea Selatan, maupun Asean. Namun, sejumlah negara telah menunjukkan tren perlambatan permintaan.
“Berdasarkan proyeksi International Energy Agency (IEA), permintaan batu bara untuk PLTU di China akan mencapai puncaknya pada 2020, tetapi bisa turun hingga 9% pada 2030,” ujarnya.
Fabby menjelaskan, di India meskipun kebutuhan batu bara masih naik, volume impornya akan turun ke level 13,4% dari total konsumsi pada 2022-2023.
Selain itu, tambahnya, permintaan batu bara Jepang dan Korea Selatan pun diperkirakan turun 3% pada 2023 dibandingkan dengan volume pada 2017.
“IEA memperkirakan ekspor batu bara Indonesia bisa turun sebesar 15,7% pada 2023,” tuturnya.
Sementara itu, dirinya melanjutkan, transisi energi menuju sistem yang rendah karbon merupakan reaksi terhadap tantangan global untuk mengurangi laju peningkatan emisi gas rumah kaca dalam memenuhi Paris Agreement. Selain itu, biaya investasi energi terbarukan, khususnya angin dan surya, serta teknologi baterai akan semakin efisien dan mampu menghasilkan listrik yang murah.
“Walaupun batu bara masih cukup dominan dan dipakai di 78 negara di dunia serta menghasilkan 40% dari seluruh listrik dunia, sejumlah negara telah menerapkan kebijakan untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan PLTU batu bara,” pungkasnya. (us)