Jakarta, Portonews.com – Hingga saat ini sejumlah blok migas yang beroperasi di Indonesia masih menggunakan skema cost recovery.
Hal tersebut seperti yang dikemukakan oleh Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arcandra Tahar belum lama ini di Jakarta.
Arcandra mengungkapkan, realisasi investasi yang lebih kecil dari perencanaan awal sebenarnya mengindikasikan hal yang positif.
“Skema cost recovery membebankan biaya produksi kembali kepada pemerintah sehingga perlu evaluasi dan pengawasan yang ketat,” ujarnya.
Menurut dirinya, realisasi yang rendah tidak selalu mengindikasikan serapan yang rendah pula. Untuk itu, Pemerintah dan SKK Migas pun terus melakukan evaluasi terhadap pengajuan perencanaan perusahaan.
“Jika ditemukan celah untuk penghematan, maka upaya tersebut akan diambil guna menghemat beban negara,” katanya.
Selain itu, Arcandra menambahkan, apabila sebuah perusahaan mengajukan capital expenditure (capex) sebesar US$ 10 miliar, maka pemerintah akan melakukan penghematan yang dirasa perlu.
Pasalnya, Arcandra menuturkan, beban biaya yang harus dibayar pemerintah adalah besaran capex ditambah 70%. Hal ini dianggap merugikan pemerintah. Padahal menurutnya dengan melakukan penghematan maka pemerintah memiliki cadangan biaya untuk membayar beban biaya operasi.
“Upaya penghematan ini menimbulkan dampak seolah-olah investasi tidak mencapai target padahal tidak seperti itu,” imbuhnya.
Sementara itu, Arcandra melanjutkan, penggunaan cost yang ada harus tepat sasaran. “Ini dapat digunakan untuk meningkatkan produksi dan agresivitas kinerja blok migas,” pungkasnya.