Jakarta.Portonews.com – Peneliti Imparsial Anton Aliabbas berpendapat, prajurit TNI aktif tidak boleh menempati jabatan sipil berdasarkan UU No. 34 tahun 2004. Karenanya, dia menegaskan bahwa ulang tahun TNI lebih baik fokus pada pembenahan atau reformasi dalam tubuh TNI.
“Ketika penunjukan kolonel di kementerian ESDM. Kita sudah tahu kalau merujuk ke UU TNI, ada 10 jabatan yang bisa diduduki, dan ESDM tidak termasuk,” ujar Anton di kantor Imparsial, Jakarta Selatan, Jumat (4/10).
Selain perwira tinggi yang menjabat pejabat sipil, terdapat pula 30 nota kesepahaman (MoU) antara TNI dengan kementerian atau lembaga. Aturan ini, menurut Anton, kerap menjadi landasan pelibatan TNI di ranah sipil.
Problem lain yakni mengenai ketidakjelasan agenda kebijakan reformasi keamanan. Kondisi ini ditunjukkan dengan pengesahan regulasi yang sesungguhnya tidak urgen dan bermasalah yakni RUU Pengelolaan Sumber Daya Nasional (PSDN).
Regulasi lain yang disorot Imparsial yakni revisi Undang-Undang Pemberantasan Terorisme yang melibatkan TNI dalam penanganan terorisme. Pula, soal transparansi dan akuntabilitas pengadaan alutsista.
Anton mengungkapkan pada era pemerintahan Joko Widodo terjadi peningkatan anggaran pertahanan yang cukup signifikan tapi kondisi ini tak dibarengi dengan konsep dan arah yang jelas.
“Pada 2014 itu dianggarkan Rp86 triliun, sementara pada 2019 ini Rp108 triliun atau lebih 25 persen ada kenaikan. Sayangnya, ketika anggarannya sudah naik, tidak ada arah yang jelas di era Jokowi ini melakukan modernisasi alutsista,” jelas Anton lagi.