Jakarta, Portonews.com – Siapa yang bakal menjabat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (MESDM) hingga hari ini informasinya masih simpang-siur.
“Infonya masih berseliweran, belum ada yang pasti. Mestinya Menteri ESDM berasal dari praktisi, bukan politisi,” kata Fahmy Radhi, pengamat ekonomi energi Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta pada Portonews, Sabtu (19/10/2019. Pasalnya, meski alokasi dana APBN relatif kecil, tetapi berwenang memutuskan pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) dalam jumlah sangat besar, bisa ribuan triliun rupiah.
Menurut Fahmy, Arcandra Tahar, Wakil Menteri (Wamen) ESDM, selama menjabat tidak perform sama sekali, sehingga tidak tepat menjadi MESDM.
“Kalau terpaksa harus dari PDI Perjuangan, Arif Budimanta (AB) yang paling tepat lantaran background beliau adalah Doktor di bidang ekonomi energi,” katanya.
Kalau praktisi, imbuh Fahmy, idealnya Ignasius Jonan yang kembali menjadi MESDM. “Alasannya, capaian di bidang energi termasuk out standings. Di antaranya program Energi Berkeadilan termasuk sangat sukses,” tandasnya.
Sebagai catatan, ungkap Fahmy, dalam 5 tahun terakhir rasio elektrifikasi sudah mencapai hampir 100%. Rasio elektrifikasi pada akhir 2014 tercatat masih sebesar 84,35%, lalu meningkat pesat hingga 98,81% pada akhir 2018. Diperkirakan akan mencapai 99,99% pada akhir 2019.
“Program 100% rasio elektrifikasi tidak hanya menyediakan listrik untuk rumah tangga, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan bisnis dan industri,” paparnya.
Untuk menerangi di daerah-daerah terpencil, yang tidak ada jaringan distribusi listrik, digunakan panel tenaga surya dengan memasang 4 lampu di setiap rumah penduduk.
Pencapaian 100% rasio elektrifikasi, lanjut Fahmy, tidak hanya menerangi di daerah-daerah yang sebelumnya gelap-gulita menjadi terang-benderang, tetapi juga mendorong bisnis dan industri, yang berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi dan perluasan lapangan pekerjaan.
“Untuk mencapai pemerataan dan keterjangkauan, dicanangkan dua program utama, yakni subsidi tepat sasaran dan BBM satu harga. Di awal pemerintahannya, Presiden Joko Widodo sudah memutuskan untuk mengalihkan subsidi BBM dari untuk konsumsi dialihkan untuk produksi. Pengalihan subsidi BBM itu diimplementasikan dan dikawal oleh Kementerian ESDM sehingga cukup berhasil, tanpa menimbulkan gejolak,” katanya.
Data menunjukkan subsidi BBM pada 2014 sebesar 46,79 juta kiloliter (kl), turun menjadi 7,15 juta kl pada 2018. Pada periode yang sama subsidi LPG dari 4,99 juta metric ton (MT) turun menjadi 3,10 juta MT. Secara total, subsidi energi yang selama ini menjadi beban APBN mengalami penurunan secara drastis. Pada 2014, total subsidi energi masih bertengger sebesar Rp306,45 triliun. Pada akhir 2018 turun menjadi Rp153,25 triliun.
Penurunan subsidi energi dalam jumlah yang besar itu, imbuh Fahmy, dialokasikan untuk membiayai kegiatan yang produktif, salah satunya untuk membiayai pembangunan infrastruktur.