Jakarta, Portonews.com – Rapat kerja antara Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Menteri ESDM Ignasius Jonan dan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto yang berlangsung pada Jumat (19/7/2019) untuk membahas 12 DIM (Daftar Inventarisasi Masalah) Revisi Undang-undang (UU) Mineral dan Batu bara (Minerba) dan perubahan status Kontrak Karya (KK) dan Pemegang Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara
(PKP2B) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) masuk daftar DIM ke 12. Walaupun berada di posisi 12, tetapi menjadi target utama untuk dibahas dan diselesaikan dalam waktu singkat lantaran Rancangan Perubahan Peraturan Pemerintah (RPP) Minerba ditolak KPK.
Menurut Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman, jalan keluarnya hanya ada 2 pilihan bagi Pemerintah, yaitu menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang (Perpu)
Minerba atau melakukan revisi UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009. “Kalau Perpu diterbitkan akan rawan secara politik bagi Jokowi paska Pilpres sebelum dilantik, karena dianggap tidak konsisten dalam menjalankan kebijakannya dan menyimpang dari janji kampanyenya,” kata Yusri dalam keterangan persnya, Sabtu (20/7/2019) di Jakarta. Karena untuk menguasai saham PT Freeport Indonesia mencapai 51% dipaksa PT Inalum berhutang USD 3.85 miliar dengan resiko lebih tinggi.
“Sebaliknya ada potensi tambang batu bara strategis yang bisa diperoleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) secara gratis dan bisa memperoleh penghasilan tambahan jauh lebih besar dari tambang Freeport kenapa mau dibiarkan lepas kepada konglomerat,” kata Yusri. Oleh karena itu, lanjutnya, rapat kerja DPR dengan Pemerintah pada Jumat (19/7/2019) terkesan sangat istimewa dan penuh muatan pesan sponsor. “Konsep revisi UU itu mendadak baru diserahkan KESDM ke DPR RI pada 8 Juli 2019 telah masuk dalam Prolegnas prioritas. Malahan oleh Ridwan Hisyam Cs ingin diselesaikan dalam 3 minggu sebelum reses DPR, dengan mengajak anggota DPR lainnya untuk membahas siang- malam agar bisa selesai. Tapi akhirnya Ketua Komisi VII DPR Gus Irawan Pasaribu telah mengembalikan DIM tersebut kepada Pemerintah untuk kembali melakukan sinkronisasi antara Kementerian dan Lembaga,” papar Yusri.
Diketahui, kengototan untuk menyelesaikan resivi UU Minerba dilakukan setelah RPP Minerba 23 Tahun 2010 ke 6 ditolak Menteri Sekretariat Negara karena mendapat surat dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada Presiden Jokowi yang menyatakan RPP menyimpang dari regulasi yang ada, yaitu melanggar UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009.
Sulit dibantah, imbuh Yusri, bila publik menilai sejak RPP Minerba ke 6 diproses dengan tidak lazim dan ditolak KPK, dapat dibaca bahwa istana sempat masuk angin. “Bisa jadi ada pembisik bergentayangan mempengaruhi Presiden Jokowi agar meloloskan RPP Minerba tersebut. Untunglah Meneg BUMN Rini Soemarno berani bersikap dan berpendapat dengan mengirim surat kepada Mensesneg pada 1 Maret 2019 bahwa sesuai UU Minerba perlu penguasaan dan penguatan peran BUMN Tambang dalam mengelola bahan baku energi primer untuk menjaga ketahanan energi nasional jangka panjang,” ungkap Yusri. Jamak diketahui, kebutuhan batubara PLN dan swasta pemilik PLTU pada 5 tahun mendatang bisa mencapai 180 juta metrik ton per tahun.
Sikap berani Meneg BUMN, kata Yusri, patut diapresiasi meskipun berisiko akan didepak dari posisi Meneg BUMN karena ada yang terganggu oleh sikapnya. Hal ini berbeda kontras dengan direksi BUMN tambang yang terkesan pengecut, ingin mengelola tambang tetapi tidak berani bersuara karena takut kehilangan jabatan.
Lebih jauh Yusri mengutarakan, tumbal pertama dari penolakan RPP Minerba untuk izin PKP2B generasi Pertama adalah pencabutan IUPK PT Tanito Harum milik Konglomerat Kiki Barki oleh KESDM pada Juni 2019 setelah terancam terkena proses hukum pidana korupsi oleh KPK. “Kalau revisi UU Minerba ini tidak bisa diselesaikan pada sisa periode DPR 2014- 2019, maka korban berikutnya akan menyasar pada pemilik PKP2B berikutnya, yaitu PT Arutmin Indonesia (2020), PT Kaltim Prima Coal (2021), PT Adaro Energy (2020), PT Multi Harapan Utama (2022), PT Kideco Jaya Agung (2022) dan terakhir PT Berau Coal (2025),” ungkap Yusri. Sedangkan ketujuh izin PKP2B generasi pertama ada sekitar 220 juta metrik ton per tahun. “Ini berarti separuh dari total produksi batubara nasional, dengan asumsi meraih laba pesimis 10 USD per metrik ton, maka mereka bisa meraup laba bersih sekitar USD 2, 2 miliar sampai dengan USD 3.5 miliar setiap tahunnya. Ini sangat fantastis potensi labanya dan menggiurkan banyak pihak untuk menjadi centengnya,” ungkap Yusri.
Semua lahan ini awalnya milik PN Batu bara dan oleh Keputusan Presiden (Kepres) Tahun 1997, yang oleh Menteri Pertambangan dan Energi IB Sudjana dikerjasamakan dengan swasta asing dan nasional selama 30 tahun untuk diproduksi. Bahkan telah beberapa kali beralih kepemilikan dan operatornya. Dari sisi produksi tidak ada masalah. Secara riil telah menciptakan beberapa konglomerat batu bara yang mampu menguasai perekonomian nasional, bahkan ada yang merambah ke dunia politik.
“Sekarang publik menonton apa ujung dari proses revisi UU Minerba ini. Apakah benar untuk meningkatkan peranan BUMN dalam menjaga ketahanan energi nasional atau hanya kepentingan menyelamatkan konglomerat batu bara,” tandas Yusri. Bravo KPK perlu digaungkan, lanjutnya, karena berhasil menyelamatkan kerugian negara sektor minerba dan berani menulis surat ke Presiden untuk menolak RPP Minerba ke 6 tersebut.