Jakarta, Portonews.com – Kinerja direksi sebuah BUMN sangat berhubungan erat dengan hasil kinerja keuangannya setiap tahun, sehingga untuk menjaga KPI (key performance index) direksi saat ini di beberapa BUMN strategis, mereka berupaya dalam membuat laporan keuangan tahunan terkesan tidak lazim alias banyak dipoles.
Menurut Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman, semakin terbukti penambahan jumlah direksi di sejumlah BUMN strategis menjadi gemuk ternyata tidak berkorelasi positif terhadap kinerjanya.
“Contoh terbaru hasil RUPS PT PLN Persero pada Rabu (29/5/2019) yang tanpa mampu menentukan Direktur Utama definitifnya, meskipun terlambat ternyata RUPS tersebut disertai pengesahan laporan keuangannya tahun 2018 yang sudah diaudit oleh kantor akuntan publik RSM Amir Abadi Yusuf dinyatakan berhasil memeroleh laba bersih Rp 11, 6 triliun,” kata Yusri dalam keterangan persnya, Kamis (30/5/2019) di Jakarta.
Namun Kalau ditelisik secara mendalam, lanjutnya, laporan keuangan PLN tersebut, dapat dikatakan hampir sama kasusnya seperti laporan keuangan PT Garuda Indonesia Tbk yang juga kontroversial.
“Jika dalam laporan keuangan PT Garuda Indonesia Tbk pada tahun 2018 dibuat terlihat moncer dengan cara memasukkan hasil pendapatan beberapa tahun yang akan datang tetapi telah diakui semua sebagai pendapatan tahun 2018, meskipun partnernya tidak memasukkan sebagai hutang pada Garuda,” paparnya.
Sementara dalam laporan keuangan PT PLN tahun 2018 agar terlihat moncer, ungkap Yusri, ternyata telah dipaksakan dengan memasukkan pendapatan sebesar Rp 6 triliun dari hasil diskon PJBG (Perjanjian Jual Beli Gas) selama 15 tahun kedepan dan telah diakui dan dicatat sebagai pendapatan PT PLN semuanya di tahun 2018, meskipun didalam laporan keuangan PT PGN Tbk yang lebih awal dirilis ternyata tidak mencatat nilai diskon tersebut sebagai biaya atau hutang kepada PT PLN.
Bahkan ironisnya, imbuh Yusri, didalam klausul PJBG antara PT PLN dan PT PGN disebutkan ada kalimat tidak hak tagih bagi PLN dan tidak ada hak harus bayar dari PGN terhadap PLN atas diskon tersebut, sehingga menjadi lucu dan aneh kalau sekarang disandingkan antara laporan keuangan PLN dengan PGN, pasti tidak cocok.
“Hal yang sama terjadi pada PT Pertamina Persero yang sampai hari ini belum juga berhasil merilis laporan keuangannya yang sudah diaudit, bisa jadi modus laporan keuangan yang sudah diterapkan pada PT Garuda dan PT PLN akan diterapkan juga pada PT Pertamina. Apalagi tersiar kabar rencananya akan mensahkan laporan keuangan pada RUPS Pertamina pada hari Jumat 31 Mei 2019,” ungkap Yusri.
Karena sebelumnya dari penjelasan direksi di berbagai media soal laba Pertamina berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Presiden Jokowi pada 28 Febuari 2019 dengan pernyataan Deputy BUMN bidang Restrukturisasi dan Pengembangan Usaha Allosyus Kiik Roy pada 4 Desember 2018, karena setelah Pertamina berhasil mendapat persetujuan dari verifikasi BPK terhadap total nilai subsidi BBM dan LPG pada awal Mei 2019.
“Mereka terus memburu persetujuan Menteri Keuangan cq Dirjen Anggaran Kemenkeu bahwa dana subsidi BBM yang telah disetujui verifikasinya oleh BPK sesuai formula harga BBM yang dibuat oleh Kementerian ESDM pada Febuari 2019 berlaku surut terhadap formula BBM tahun 2018 oleh direksi Pertamina akan dimasukkan dan dicatat sebagai pendapatan tahun 2018,” katanya. Padahal sejak dahulu selalu dana PSO (Public Service Obligation) berupa subsidi BBM dan LPG tetap dimasukan pada pendapatan tahun berjalan, karena harus dipastikan dananya tersedia di dalam APBN 2019.
Dapat disimpulkan, imbuh Yusri, saat ini kecuali PT Telkom Tbk, hampir semua direksi BUMN strategis untuk tahun 2018 KPI jelek, sesuai kata Deputy BUMN Bidang Bidang Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Fajar Harry Sampurno (20 Maret 2019) bahwa BUMN diperbolehkan menyampaikan laporan keuangan yang sudah diaudit paling lambat bulan April tahun berikutnya dan menggelar RUPS Tahunan paling lambat bulan Juni, meskipun menurut Peraturan Bersama Menteri Keuangan Nomor 23/PMK.01/2007 dan Menteri BUMN Nomor : PER-04/MBU/2007 tentang Penyampaian Ihtisar Laporan Keuangan Perusahaan Negara tertulis BUMN paling lambat LKPN pada 15 Febuari setiap tahunnya.
Oleh sebab itu, kata Yusri, publik tidak salah bila bertanya, apakah tujuan dari kebijakan dugaan pemolesan laporan keuangan BUMN PT Garuda, PT PLN dan mungkin juga dilakukan oleh PT Pertamina sebagai pencitraan?Apakah ini untuk kepentingan korporasi atau Menteri BUMN?
“Sudah saatnya Presiden Jokowi menertibkan Kementerian BUMN terkait laporan keuangan tahunannya. Jangan sampai publik akan memplesetkan BUMN bukan sebagai agen pembangunan, tetapi agen pencitraan,” tegas Yusri.