Jakarta, Portonews.com – Setelah hampir 5 tahun, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya menjerat tersangka Mafia Minyak dan Gas Bumi (Migas). Menurut Fahmy Radhi,
mantan Anggota Tim Anti Mafia Migas, meski pentolannya belum dijerat, tapi keputusan KPK patut diapresiasi.
“Hasil kajian Tim Anti Mafia Migas menyimpulkan bahwa Petral digunakan oleh Mafia Migas untuk memburu rente dari monopoli Petral dalam impor BBM,” kata Fahmy pada Portonews, Selasa sore (10/9/2019). Modus pemburuan rente dilakukan dalam bidding dan blending penyedian impor BBM.
Diakui Fahmy, dalam bidding dilakukan secara on line, tetapi ada anomaly bahwa pemenang tender selalu dari NOC negara-negara bukan penghasil minyak, seperti Thailand, Italia, dan Maldives. Ternyata, imbuhnya, NOC tersebut hanya digunakan sebagai frontier mafia migas untuk memasok BBM dengan harga mark up.
“Lantaran Premium sudah tidak dijual di pasar international, pengadaannya dilakukan melalui blending, yang harganya juga di mark up. Harga BBM yang mahal, karena mark up, dibeli oleh Pertamina lalu dijual di pasar dalam negeri dengan memberikan subsidi yang dialokasikan dari APBN,” papar Fahmy.
Menurut Fahmy yang juga pengamat Ekonomi Energi UGM ini, lantaran ada disparitas harga antara BBM Subsidi dengan harga BBM di luar negeri, maka Mafia Migas melakukan penyelundupan.
“Perampokan APBN dilakukan oleh Mafia Migas melalui pembelian BBM dengan harga BBM ysng mahal dan subsidi.
Tim Anti Mafia Migas sudah melaporkan hasil kajian tersebut ke KPK, namun KPK kesulitan menemukan alat bukti untuk menjerat pelaku Mafia Migas. Kalau KPK saat ini akan menetapkan tersangka merupakan kemajuan besar yang dicapai KPK,” terang Fahmy.