Jakarta.Portonews.com – Neraca perdagangan minyak dan gas (migas) pada bulan Juli defisit sebesar U$S 566,64 juta atau turun 29 persen dari defisit bulan Juni sebesar U$S 791,1 Miliar.
Demikian dijelaskan Plt. Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Djoko Siswanto, kepada wartawan dalam acara jumpa pers di Jakarta, Jumat (16/8/2019).
Defisit itu terjadi, kata dia, karena suksesnya ekspor produksi kilang seperti BBM dan residue serta kenaikan ekspor minyak mentah yang cukup signifikan.
Selain itu, Djoko menjelaskan, hal itu terjadi dipicu adanya penurunan ICP U$S68,07/bbl bulan Mie menjadi U$S 61,3/bbl bulan Juli.
Namun itu, secara keseluruhan total nilai ekspor minyak dan gas mengalami kenaikan sebesar 23 persen atau naik US$ 169,7 juta.
“Nah, kalau saya perhatikan berita di media massa, periode yang bagus ini tidak diberitakan di media massa, akan tetapi yang diberitakan adalah periode yang jeleknya saja, beritanya menjadi tidak berimbang,” kata Djoko Siswanto.
Sementara itu, Djoko Siswanto kembali menjelaskan bahwa gas tidak lagi untuk diekspor, akan tetapi gas untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri sebagai modal pembangunan ekonomi.
“Sesuai PP No.79 tahun 1974 tentang KEN, Gas diutamakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, ini untuk dijadikan sebagai modal pembangunan ekonomi,” kata Djoko Siswanto.
Menurut Djoko Siswanto, bila menginginkan neraca perdagangan migas yang baik, gas haruslah diekspor secara keseluruhan. Namun, bila gas diperuntukan untuk ekspor maka industri yang menggunakan bahan baku gas akan terpukul.
“Kalau gas kita diperuntukan untuk ekspor, maka pabrik pupuk, petrokimia dan pembangkit PLN akan tutup semua,” kata Djoko Siswanto.
Oleh karena itu, kata Djoko menambahkan, pemenritah mengutamakan gas untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. “Jadi, sekali lagi saya tegaskan, gas tidak untuk ekspor,”katanya.