Jakarta. Portonews.com – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral melalui Dewan Energi Nasional bahas dalam focus group disscusion (FGD) antispasi potensi krisis energi akibat eskalasi Konflik di Selat Hormuz.
Hadir dalam FGD ini adalah wakil dari Kementerian ESDM, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertahanan, Kementerian Perhubungan, Badan Intelijen Negara, SKK Migas dan PT Pertamina (Persero). Peserta diskusi lainnya adalah Abadi Poernomo dan Prof. Ris. Dr. Maizar Rahman, mantan Sekjen OPEC selaku pakar di bidang energi.
Menurut Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional Djoko Siswanto, selaku penyelenggara dan pemrakarsa mengatakan bahwa tujuan FGD ini adalah untuk mengidentifikasi kondisi energi nasional dan kesiapsiagaan kementerian/lembaga terkait serta usulan rekomendasi mitigasi potensi gangguan pasokan energi yang dapat terjadi.
Hal ini sesuai dengan tugas DEN sebagaimana UU Nomor 30/2007 tentang Energi (pasal 6) bahwa salah satu tugas Dewan Energi Nasional adalah menetapkan langkah-langkah penanggulangan kondisi krisis dan darurat energi. Selanjutnya dalam Perpres Nomor 41/2016 tentang Tata Cara Penanggulangan Krisis dan/atau Darutar Energi menyebutkan (pasal 2) bahwa Menteri, Dewan Energi Nasional dan Badan Pengatur melakukan identifikasi dan memantau kondisi penyediaan dan kebutuhan energi baik langsung ataupun tidak langsung untuk mengantisipasi Krisis Energi dan/atau Darurat Energi.
“Kami perlu memfasilitasi identifikasi kondisi terkini kemungkinan meningkatnya kondisi eskalasi di Selat Hormuz dan antisipasi gangguan pasokan energi nasional, sehingga nantinya bila diminta oleh Bapak Menteri ESDM selaku Ketua Harian DEN kita sudah siap dengan identifikasi dan langkah awal,” ucap Djoko kepada Portonews.com
Direktur Timur Tengah Kementerian Luar Negeri, Achmad Rizal Purnama, bahwa akar masalah dan dampak ketegangan di Kawasan Teluk saat ini adalah dinamika hubungan Amerika Serikat dan Iran yang ditandai oleh penghentian kesepakatan Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) dan penerapan sangsi AS terhadap Iran.
JCPOA dikenal sebagai Kesepakatan Nuklir Iran pada Juli 2015 antara Iran, Amerika Serikat, Rusia, Tiongkok, Inggris, Prancis, Jerman dan Uni Eropa bertujuan menghentikan pembuatan senjata nuklir oleh Iran dengan imbalan pencabutan sanksi ekonomi yang dijatuhkan kepada Iran sejak 2002. Hal ini menimbulkan ketegangan baru.
“Kondisi saat ini masih sesuai kalkulasi walaupun terdapat beberapa insiden di Selat Hormuz seperti penahanan kapal super tanker Grace 1 di perairan Gibraltar diduga membawa minyak ke Suriah dan Kapal Inggris Stena Imperio beserta 23 awak kapal disita di area Selat Hormuz ” ujar Ahmad.
Kementerian Luar Negeri berpendapat bahwa, insiden-insiden yang terjadi di Kawasan Timur Tengah tidak mengarah ke eskalasi yang menuju konflik terbuka, karena hal tersebut tidak akan menguntungkan banyak pihak, kecuali jika terjadi miskalkulasi terhadap pergerakan negara-negara yang terlibat eskalasi ketegangan tersebut.
Kesiapsiagaan pihak Indonesia adalah mengutamakan stabilitas Kawasan, dengan respon case by case untuk mempertahankan posisi netral-impartial, mengecam tindakan yang memicu peperangan, menghindari tuduhan tanpa bukti serta mendorong negara-negara di Kawasan Timur Tengah untuk menghindari konflik terbuka.
Selat Hormuz, merupakan salah satu world oil chokepoint yang dilewati 20,7 juta barrel per day (bpd) minyak (21% dari total konsumsi seluruh dunia). Kawasan Timur Tengah merupakan pemasok minyak terbesar di dunia. Sekitar 847 juta ton atau 74,5% dari total neraca perdagangan minyak mentah yang diekspor dari Timur Tengah melalui Selat Hormuz dialirkan menuju pasar di Kawasan Asia, antara lain ke negara China, Jepang, Korea, Singapura, India serta Indonesia, dimana Perairan Indonesia menjadi salah satu titik transit utama.
Menurut Kepala Biro Fasilitasi Penanggulangan Krisis dan Pengawasan Energi, Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional, Ediar Usman hasil FGD ini serta pemikiran-pemikiran yang muncul akan kami susun lebih lengkap dan selanjutnya akan menjadi bahan laporan ke pimpinan, terutama berkaitan dengan kesimpulan dan langkah-langkah yang perlu dilakukan lintas Kementerian Lembaga.
Adapun usulan rekomendasi yang mengemuka adalah dari sisi penyedia (produsen) energi perlunya Indonesia mencari sumber impor dari negara lain, contohnya Venezuela, Afrika dan Rusia atau meningkatkan volume impor dari negara lain disamping tentunya adalah meningkatkan kemampuan penyimpanan (storage) dalam negeri serta menentukan daftar konsumen prioritas dan seleksi pengguna utama yang harus disuplai dalam kondisi darurat.