Jakarta, Portonews.com – Rakyat Indonesia nampaknya harus banyak bersyukur karena hidup di negeri yang kaya dengan sumber daya alam. Beragam jenis tanaman dapat dijadikan sebagai sumber pangan bagi masyarakat. Ditambah lagi potensi-potensi alam lainnya belum banyak tergali.
Negara pun memegang peranan dalam mengelola ketersediaan pangan hingga pada akhirnya mampu menciptakan ketahanan pangan nasional yang kuat. Ya, sama seperti di negara-negara lainnya, ketahanan pangan turut menjadi fokus bagi pemerintah Indonesia. Hal ini bahkan masuk dalam program Nawacita Presiden Joko Widodo.
Sepanjang lima tahun ini, pemerintah melalui Kementerian Pertanian (Kemtan) mengklaim bahwa ada sejumlah peningkatan dalam hal produksi pangan, baik itu pangan pokok maupun hortikultura yang berkaitan dengan ekspor.
Kuncinya adalah strategi dalam meningkatkan produksi sesuai dengan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat. Menurut Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, produksi beras tetap menjadi prioritas, sama halnya dengan jagung dan jenis pangan lainnya tetap diproduksi.
“Beras kita sudah swasembada, kita pertahankan terus. Tidak cukup swasembada tapi kita juga harus surplus agar punya cadangan. Begitu juga jagung kita sudah swasembada dan harus ditingkatkan lagi. Kemudian, daging karena sebagian masih impor, tingkat konsumsi daging kita sekitar 600 ribu ton setahun. Sementara kita produksi masih sekitar 450 ribu ton, jadi hitungannya masih kurang,” kata Kepala Badan Ketahanan Pangan Kemtan, Agung Hendriadi.
Lalu, seperti apa upaya Badan Ketahanan Pangan Kemtan untuk memenuhi ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau?
Berikut petikan wawancara PORTONEWS dengan Kepala Badan Ketahanan Pangan Agung Hendriadi, di ruang kerjanya, Kementerian Pertanian, Jakarta, (15/7/2019).
Apa perbedaan ketahanan pangan dan kemandirian pangan?
Konsep ketahanan pangan nasional adalah kita mampu memproduksi pangan sendiri dan kebijakan kita tidak merupakan kebijakan kita sendiri, bukan diintervesi oleh luar. Itu artinya kita berdaulat, ada kedaulatan pangan di sana, ada kemandirian pangan di sana, itulah ketahanan pangan kita.
Beda dengan ketahanan pangan di Singapura. Masyarakatnya bisa makan dan bisa beli, terserah dari mana barang itu datang. Kalau Indonesia, yang penting masyarakatnya menjangkau, punya daya beli, dan jumlahnya tidak kurang. Negara kita agraris, petani banyak dan mampu memproduksi sendiri, tidak ada intervensi dari orang lain. Jangan sampai masyarakatnya tidak punya daya beli.
Berapa ton produksi beras saat ini?
Data dari BPS untuk produksi gabah sebesar 56 juta ton. 2018 surplus kita mencapai 3,5 juta ton. Surplus ini menjadi cadangan. Stok beras kita ada di Bulog sekitar 2,3 juta ton. Jangan sampai cadangan ini hanya mengalir digunakan begitu saja tanpa diisi kembali. Kita juga mendorong peningkatan produksi agar bisa mengisi kembali cadangan itu. Demikian juga dengan cadangan komoditas-komoditas yang lain.
Kita punya cadangan 2,3 juta ton. Kita produksi minimal 2,5 juta ton setiap bulan. Konsumsi kita 2,3 juta ton. Jadi kalau tiap bulan kita produksi kira-kira cadangan dipakai ngga? Tentunya kita memakai produksi yang 2,5 juta ton. Cadangan manakala diperlukan apabila Indonesia terkena bencana dan tidak memproduksi beras selama satu bulan, maka semua cadangan akan dimakan.
Pernahkah kita tidak produksi selama satu bulan?
Tidak mungkin. Indonesia punya delapan zona iklim yang berbeda. Jadi, kalau satu zona kekeringan, zona lain tidak terkena kekeringan. Artinya zona lain berproduksi. Oleh karena itu strategi Kemtan dalam satu bulan kita harus menanam satu juta hektar, itu dikontrol terus melalui pemerintah daerah.
Tidak boleh kurang dari satu juta hektar. Mengapa? karena satu juta hektar itu produksinya kira-kira tiga juta ton. Dengan kita mempertahankan luas tanam satu juta hektar maka tiap bulan kita akan produksi.
Indonesia itu kaya. Iklim saja zonanya ada delapan, mana ada di negara lain. Sama juga dengan komoditas lain. Contoh, cabai. Cabai kita jaga produksinya sebulan itu 12 ribu hektar. Kita konsumsi cabai sebulan berkisar 80 ribu ton. Kita harus bisa memproduksi di atas itu kira-kira 120 ribu ton. Tapi jangan berlebihan karena harga bisa jatuh. Kalau harga jatuh ada demotivasi untuk petani kita. Ya, seninya di situ.

Bagaimana dengan program diversifikasi pangan?
Kita juga mendorong adanya program diversifikasi pangan. Artinya bahwa Indonesia ini kaya. Saya berikan contoh, buah-buahan yang ada di ruangan saya ini lokal.
Jadi, kita mendorong masyarakat untuk mengonsumsi pangan yang lebih beragam, bergizi seimbang dan aman. Dimulai dari ibu hamil dan semua masyarakat Indonesia agar bisa hidup sehat, produktif, dan aktif.
Kenyang saja tidak cukup. Asupannya harus bagus. Mengapa dimulai dari ibu hamil, karena kita harus mengurangi kasus stunting. Makanya, kita membutuhkan produksi yang cukup. Kalau produksi tidak cukup negara kita akan menjadi pasar negara-negara lain.
Kampanye untuk diversifikasi pangan juga kita lakukan kepada anak-anak usia dini (PAUD) bekerjasama dengan Kementerian Pendidikan, serta dari Kementerian Kesehatan dengan program Isi Piringku untuk mengedukasi anak-anak.
Ada juga beberapa pemerintah daerah yang membuat kampanye diversifikasi pangan. Tanggapan bapak?
Kampanye itu bagus, tapi tidak cukup dengan kampanye saja. Kita harus bisa menyadarkan masyarakat. Sekarang begini, One Day No Rice. Kita dipaksa sehari tidak makan nasi, pasti orang akan lari ke mana-mana (tempat lain) untuk mencari nasi.
Kalau kesadarannya dibangun untuk tidak mengonsumsi nasi berlebih, dia dengan sendirinya akan mendiversifikasi.
Jadi, program tersebut berjalan dengan baik atau tidak menurut Bapak?
Ya, kita terus mendorong diversifikasi mulai dengan kampanye, menyediakan produk yang cukup. Kuncinya ada di tingkat pendidikan dan pendapatan masyarakat. Jika tingkat pendidikan dan pendapatan masyarakat tinggi, akan memilih makanan yang lebih bervariasi. Ini akan berjalan dengan sendirinya. Kita siapkan produksinya, biarkan masyarakat memilih.
Apa yang dilakukan Badan Ketahanan Pangan untuk menghadapi tantangan produk-produk impor?
Kita harus bijak, harus bisa memprediksi berapa besar konsumsi kita. Kemudian, kita juga harus meningkatkan produktivitas sesuai apa yang diperlukan.
Kita mendorong masyarakat mengonsumsi pangan yang lebih beragam supaya tidak tergantung pada satu makanan.
Contohnya, ada 250 jenis buah-buahan di Indonesia, siapa lagi yang membudidayakan kalau bukan kita?