Jakarta, Portonews.com – Pemerintah Indonesia, Food and Agriculture Organization (FAO) serta negara peserta Workshop on the Best Practices to Prevent and Reduce Abandoned Lost or Otherwise Discarded Fishing Gear (ALDFG) akhirnya berhasil formulasikan rekomendasi terkait penanganan ALDFG di Bali, Kamis (11/7/2019).
Terkait hal ini, Asisten Deputi Bidang Keamanan dan Ketahanan Maritim Kemenko Bidang Kemaritiman Basilio Araujo mengatakan akan mendorong semua pihak yang terkait dengan industri perikanan untuk segera mengambil langkah mengatasi alat tangkap ikan yang ditelantarkan, hilang atau dibuang di laut. “Penting untuk segera mengatasi Jaring Hantu” (Ghost Fishing) karena bisa mengancam kelangsungan hidup dan merusak ekosistem laut dan mengancam keamanan pelayaran jika jaring ikan tertangkap baling-baling kapal,” tegasnya.
Lebih jauh, rekomendasi yang terdiri dari 12 poin tersebut dimasukkan kedalam rencana aksi implementasi FAO voluntarily guideline on ALDFG (Petunjuk Penanganan ALDFH Sukarela FAO). Diantaranya meminta negara anggota FAO untuk memasukkan ALDFG dalam mekanisme pendanaan dan proyek-proyek yang berkaitan dengan perbaikan degradasi lingkungan yang berskala global maupun regional.
Kedua, meminta lembaga-lembaga internasional dan regional seperti FAO, IMO, UNDP, UNEP, SEAFDEC, COBSEA, BOBP-IGO, APFIC, IOTC, PEMSEA, ASEAN dan GGGI untuk berkolaborasi dan mendukung beragam inisiatif untuk menangani ALDFG di kawasan.
Lalu, FAO juga diminta untuk terus berkolaborasi dengan Global Ghost Gear Initiative (GGGI) dan lembaga lainnya untuk memfasilitasi implementasi Rujukan Sukarela FAO untuk Penandaan Alat Tangkap Perikanan ( VGMFG) dan Best Practice Framework (BPF) GGGI di tingkat regional dan nasional termasuk penyusunan payung program ALDFG.
Sebagai informasi, GGGI adalah aliansi internasional lintas pemangku kepentingan yang terdiri dari kalangan industri perikanan, sektor swasta, pemerintah, perusahaan, LSM, akademisi di seluruh dunia. Aliansi ini berfokus pada penyelesaian masalah ALDFG di dunia. Ketua GGGI Ingrid Giskes dalam workshop mengemukakan pentingnya kolaborasi antar lembaga pemerintah, swasta dan LSM global untuk menangani permasalahan ALDFG karena isu tersebut merupakan permasalahan bersama.
Selain kedua rekomendasi diatas, rekomendasi Bali juga menyarankan kepada pemerintah dan swasta untuk mengatur pemanfaatan jaring dengan baik. Hal tersebut termasuk penarikan kembali jaring yang telah dipakai, pemanfaatan kembali serta daur ulang ALDFG dengan menggunakan mekanisme insentif yang sesuai.
Sebaliknya, pemerintah maupun sektor industri diminta untuk menghilangkan insentif yang justru meningkatkan resiko ALDFG dan upaya-upaya untuk mengatasi masalah terkait ALDFG.
Kemudian dari sisi teknis, institusi-institusi regional maupun nasional, LSM, asosiasi ataupun pemerintah di daerah diminta untuk memfasilitasi penggunaan VGMFG dan petunjuk praktis kerangka kerja manajemen alat tangkap dengan cara menerjemahkan dan menyesuaiakan petunjuk penandaan alat tangkap. Lalu, untuk meningkatkan kepedulian para stakeholder perikanan pemerintahpun diminta untuk mengembangkan materi-materi pelatihan bagi trainer.
Lebih jauh, FAO diminta untuk segera melengkapi Annex B VGMFG dengan petunjuk teknis mengenai bagaimana menandai alat tangkap yang berbeda-beda.
Lalu, untuk negara berkembang, FAO dan organisasi terkait disarankan untuk melakukan pendampingan dalam pengembangan alat penanda yang murah, efektif dan ramah lingkungan yang dapat digunakan untuk melakukan berbagai aktifitas perikanan di laut.
Masih terkait dengan hal ini, FAO, pemerintah dan lembaga terkait disarankan untuk melakukan pelatihan peningkatan kapasitas, memfasilitasi transfer teknologi, serta melaksanakan proyek-proyek untuk mengaplikasikan petunjuk VGMVG FAO.
Karena ALDFG juga melibatkan nelayan kecil, dalam rekomendasi Bali, pemerintah, NGO dan industri diminta untuk melibatkan nelayan, komunitas nelayan dan pemangku kepentingan terkait untuk menerapkan insentif serta teknologi dengan harga terjangkau untuk mengurangi, menggunakan kembali, menarik atau mendaur ulang ALDFG serta mengembangkan program daur ulang jaring ikan. Tak ketinggalan, pemerintah dan FAO juga diminta untuk mendukung riset-riset terkait ALDFG dan memonitor pelaksanaannya.
Rekomendasi terakhir adalah pemerintah dan organisasi regional diminta untuk mengembangkan standar pelaporan ALDFG. Dan, lembaga International Maritime Oganization (IMO) disarankan untuk mengimplementasikan upaya-upaya penanganan ALDFG yang relevan dengan agenda rencana aksi IMO untuk penanganan sampah plastik laut bekerja sama dengan organisasi dan negara-negara anggota IMO.
Sementara itu, sebanyak duapuluh satu peserta workshop ALDFG mengunjungi Pelabuhan Benoa di Bali, Kamis (11-7-2019). Tujuan kunjungan rombongan yang dipimpin oleh Asisten Deputi Bidang Keamanan dan Ketahanan Maritim Basilio Araujo itu adalah untuk melihat prosedur keamanan kapal perikanan dan jaring ikan yang digunakan.
“Terkait dengan rekomendasi ALDFG yang sudah dihasilkan, kita ingin menunjukkan kepada peserta yang berasal dari berbagai negara tentang jaring yang digunakan di dalam kapal perikanan,” kata Asdep Basilio.
Di awal kunjungan, rombongan diterima oleh Kepala Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Kelas II Benoa-Bali Agustinus Maun. Kepada peserta, dia menjelaskan berbagai hal seputar standar perizinan kapal, operasional pelabuhan dan navigasi keselamatan pelayaran.
Kunjungan tersebut dilanjutkan ke sektor barat yang merupakan lokasi bersandarnya kapal-kapal perikanan. Para peserta diberikan kesempatan untuk melihat proses loading ikan tangkapan nelayan dari kapal ke mobil pengangkut.
Lalu, masih lokasi yang sama, dari sana mereka diajak melihat kondisi salah satu kapal nelayan yang sedang menunggu terbitnya buku pelaut. Ketua GGGI Ingrid Giske mengaku prihatin dengan peralatan keselamatan yang seharusnya tersedia bagi anak buah kapal. “Saya mengkhawatirkan keselamatan anak buah kapal karena tadi saya tidak lihat ada pelampung dan sekoci penyelamat,” ujarnya usai kunjungan. Dia berharap pemerintah Indonesia dapat lebih tegas menerapkan aturan tentang standar keamanan dan keselamatan kapal perikanan.
Namun disisi lain, dia mengapresiasi alat tangkap berupa gill net (jaring insang) yang telah dikelola dengan baik di dalam kapal nelayan tersebut. “Saya lihat sudah dilipat dengan rapi, tidak berserakan, hanya saja pemerintah perlu segera menerapkan standar penanda jaring yang lebih ramah lingkungan untuk mencegah ALDFG,” pungkas Giske.