KOMITMEN Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua Barat dalam pelestarian lingkungan tidak diragukan lagi. Hal tersebut dibuktikan dengan penyediaan areal sebanyak 70 persen luas daratan dan 50 persen luas perairan yang dijadikan sebagai kawasan lindung.
Hal tersebut diutarakan oleh Nataniel D Mandacan, Sekda Provinsi Papua Barat dalam Konferensi Transfer Fiskal Ekologis dan Peluncuran Laporan dan Rekomendasi Kebijakan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Akademi Ilmuwan Muda Indonesai dan World Resources Institute Indonesia, di Gedung Perpustakaan Nasional Jakarta, Kamis (1/8/2019) di Jakarta.
Nataniel mengutarakan bahwa Papua Barat memiliki luas hutan 9.7`13.137 hektar yang berkontribusi 8,12 persen terhadap luas hutan tropis Indonesia.
Sedangkan perairan Papua Barat juga mempunyai terumbu karang asli terbaik dengan jumlah spesies ikan karang dan karang keras sekitar 75 persen dari ikan karang dan karang keras dunia.
Sementara sekitar 1,1 juta penduduk Papua Barat menggantungkan hidup pada sumber daya alam yang kaya raya ini. Tapi ironisnya, sekitar 25 persen penduduk Papua Barat masuk termasuk kategori miskin.
“Provinsi Papua dan Papua Barat menjadi provinsi termiskin di Indonesia sekalipun hidup di atas tanah dan hutan serta mineral yang kaya,” kata Nataniel.
Masalah konservasi dan pelestarian lingkungan ini sesuai dengan visi dan misi Pemprov Papua Barat terkait lingkungan yang berkelanjutan. “Kita berorientasi pada pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam yang berkeadilan dan berkelanjutan dan penguatan instrumen konservasi tidak hanya dalam bentuk perlindungan keanekaragaman biota dan habitat serta kekayaan alam, tapi juga melalui penguatan law enforcement terhadap setiap bentuk pemanfaatan SDA secara ilegal (illegal logging, illegal mining dan illegal fishing),” kata Nataniel.
Di samping itu, juga melakukan penciptaan nilai ekonomi dari perlindungan biota dan habitat dengan mendorong investasi rendah karbon (low carbon investment).
“Kita mendorong dilakukannya Kajian Lngkungan Hidup Strategis di berbagai kawasan industri untuk mengelola dampak kumulatif terhadap daya dukung lingkungan setempat dan meningkatkan peranan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup dengan berbasiskan adat istiadat dan kearifan lokal,” katanya. Bahkan, pihak pemerintah telah menyusun rancang bangun serta payung hukum yang jelas bagi perlindungan hak-hak masyarakat asli Papua Barat melalui Peraturan Daerah Khusus dan melakukan pemetaan partisipatif hak ulayat yang menjamin pemenuhan hak-hak adat serta menjamin kepastian investasi.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa hutan merupakan bagian yang sangat penting, tidak terpisahkan dan bernilai strategis dari Indonesia. Kurang lebih sebanyak 120,6 juta hektar atau sebesar 63 persen wilayah daratan Indonesia merupakan kawasan hutan.
Kawasan hutan juga menjadi sumber penghidupan bagi banyak warga Indonesia, kurang lebih 25.000 atau 34,1 persen desa di Indonesia berlokasi di pinggiran kawasan hutan dan sekitar 6.381 desa berada di kawasan hutan konservasi dengan populasi signifikan penduduk desa yang bergantung pada hutan untuk sumber penghidupan.
“Saya menyadari bahwa bagi banyak kepala daerah mereka dihadapkan pada suatu dilema. Bagi daerah yang menjaga hutannya seringkali hanya mendapat sedikit manfaat atau tidak mendapat manfaat sama sekali atas usaha konservasi tersebut,” katanya. Bahkan daerah-daerah tersebut berpotensi kehilangan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang signifikan.
Deklarasi Manokwari
Komitmen Papua Barat sebagai provinsi konservasi, seperti tertulis dalam Deklarasi Manokwari 2018 dan Perdasus Papua Barat, tidak berlebihan bila provinsi ini dapat menjadi teladan dan contoh pengelolaan hutan dan lahan yang bagus serta berkelanjutan.
Namun belum adanya acuan satu peta sebagai bagian dari one map Indonesia atau kebijakan Satu Peta sebagai landasan kebijakan menyebabkan terjadinya konflik lahan, tumpang tindih kepemilikan lahan, korupsi di sektor lahan, pelanggaran hak-hak adat dan kerusakan lingkungan yang memperparah krisis cuaca atau iklim.
Menurut Martha Triasih Karafir, Research Analis Papua World Resources Institute (WRI) Indonesia pada Minggu (11/8/2019). Kebijakan satu peta atau one map Indonesia adalah salah satu program pemerintah untuk mengatasi konflik pemanfaatan dan kepemilikan lahan di Indonesia dan mendukung konservasi lingkungan.
Sedangkan Rika Rumbiak, West Papua Landscape Manager WWF Indonesia menyatakan kebijakan satu peta memerlukan partisipasi akif dan inklusif dari masyarakat adat, yang juga melibatkan persepsi gender dalam pengelolaan sumber daya alam dan jasa lingkungan.
“Hasil peta ini tidak hanya berpotensi meminimalisir konflik lahan tapi juga merupakan salah satu bentuk dokumentasi masyarakat adat dalam upaya pengakuan eksistensi mereka di dalam penataan ruang dan kebijakan yang menentukan masa depan Papua Barat,” katanya.
Komitmen peduli dan apresiasi terhadap konservasi dan lingkungan juga diejawantahkan oleh para seniman fotografer Papua Barat. Adalah Yustinus Yumthe, Meisye Evelyn Alvian, Mario Nicolas Munthe dan Safwan Ashari Raharusun yang memamerkan karya-karya fotografi terbaiknya pada Minggu (11/8/2019) di Hotel Manokwari, Papua Barat. Pameran ini juga disertai dengan diskusi foto bertajuk #IniTanahKita: Memotret Isu Lahan di Papua Barat.
Acara diskusi foto ini diselenggarakan oleh World Resources Institute (WRI) Indonesia, kolektif pelatih fotografi Akademy, VICE Indonesia dan Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Indonesia Universitas Papua.
Foto karya Yustinus Yumthe menggambarkan pengerukan pasir pantai oleh masyarakat adat di Kampung Pami dan Kampung Mandopi di Distrik Manokwari Utara, Kabupaten Manokwari.
Sedangkan foto karya Meisye Evelyn Alvian menceritakan soal kawasan Hutan Wosi. Foto karya Mario Nicolas Munthe memotret salah satu pengusaha kayu di Kampung Sibuni, Distrik Manokwari Utara, Kabupaten Manokwari. Sedangkan foto karya Safwan Ashari Raharusun juga memotret hutan di Taman Wisata Alam Gunung Meja.
Menurut Mario Nicolas Munthe, karya fotonya ini menggambarkan bagaimana eksploitasi sumber daya alam, yaitu hasil hutan yang berupa kayu, dapat menopang perekonomian keluarga maupun masyarakat adat yang hidup di dalamnya. Namun dibalik kisah hebatnya hutan dalam memberikan masyarakat sekitar penghidupan, tidak diiringi dengan langkah-langkah penanaman kembali hutan tersebut. “Kira-kira apa yang akan masyarakat lakukan ketika tidak ada lagi kayu untuk dimanfaatkan,” kata Mario.
Jadi, jangan lagi ragukan komitmen konservasi dan upaya pelestarian lingkungan Papua Barat! n Adv.