Jakarta, Portonews.com – Industri tekstil yang menguntungkan dari segi ekonomi kerap memberikan dampak buruk terhadap lingkungan. Hal ini tentu harus memjadi perhatian serius dari berbagai pihak untuk mencari solusi dari masalah ini.
Berdasarkan data Pemerintah Provinsi Jawa Barat, industri ini strategis menyerap tenaga kerja, menyumbang devisa, serta menjadi andalan memenuhi kebutuhan sandang skala nasional khususnya di Jawa Barat.
Dalam hal ekonomi, industri ini berkontribusi terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa barat. Contohnya, pada 2016-2017 secara berturut-turut menyumbang sebesar 6,36% dan 6,24%. Angka ini tercatat tumbuh dengan laju pertumbuhan setiap tahunnya berada di angka 3,25% dan 3,58%.
Selain itu, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat tahun 2018 di pencapaian tahun 2017 industri tekstil di Jawa Barat juga berhasil menarik investasi yang mencapai Rp 8,3 triliun dari 364 proyek dan berhasil menyerap tenaga kerja sebanyak 25.243 orang.
Namun, dari sisi lingkungan, di kawasan Rancaekek, misalnya, (tahun 2012) ada 450 hektar sawah tercemar dan tidak bisa ditanami lagi. Dengan kata lain, diperlukan komitmen peralihan sistem industri dari bahan baku dan proses produksi yang kurang ramah lingkungan.
Menanggapi hal ini, General Manager-Indonesia PT Testex Testing and Certification, Pipit F Hayati mengakui, kesadaran membangun industri yang lebih ramah lingkungan sangat minim. Kalaupun ada, lebih karena faktor permintaan pembeli, bukan inisiatif perusahaan.
Dia menilai, pertimbangan produk tekstil ramah lingkungan sebagian besar baru dari hasil. Padahal dalam kesatuan industri terdapat juga bahan baku serta sistem produksi produk.
“Kalau mereka (pelaku insdustri) sudah sadar dan peduli membangun sistem dengan alat yang mereka pakai (ramah lingkungan). Mereka belum semua ke arah sana, hanya sedikit sekali,” ujar Pipit dalam diskusi Sustainable Textile: Green and Responsible Supply Chain, di Crowne Plaza Hotel, seperti dikutip Merdeka.com, Rabu (3/4/2019).
Pipit menegaskan, pihaknya menyadari industri yang berkelanjutan memang sudah semestinya melakukan produksi dengan memperhatikan semua aspek mulai dari awal bahan baku hingga produk akhir agar tidak membahayakan masyarakat.
Terlebih, ada tren kebutuhan produk tekstil secarabglobal sudah mengalami perkembangan dan semakin sadar atas pencemaran lingkungan. Masyarakat juga mulai memperhatikan menggunakan produk tekstil yang digunakan aman dan ramah lingkungan.
“Kita provide alat, standarisasi metode, dan testing parameters. Walaupun inisiatif tetap dari kesadaran mereka. Wawasan para pelaku industri tekstil diharapkan lebih sadar dan tanpa diminta oleh para pembeli untuk menjalankan industri yang berkelanjutan,” lanjutnya.
Terpisah, Sekertaris Daerah Provinsi Jawa Barat, Iwa Karniwa menyebut bahwa kementerian Perindustrian (Kemenperin) fokus melakukan revitalisasi industri tekstil pada sektor hulu, seperti benang, kain, pencelupan, dan lainnya. Kemenperin berencana melanjutkan kembali program revitalisasi industri tekstil setelah program ini sempat diberhentikan pada 2015 untuk dievaluasi.
“Kami berharap kebijakan ini dapat menjadi momentum agar produk lokal khususnya Jawa Barat mampu menguasai pasar domestik,” ungkap Iwa.
Indonesia di 2045 akan menjadi lima terbaik dalam sektor industri bruto dengan sejumlah syarat yang harus terpenuhi. Di antaranya pertumbuhan ekonomi yang spartan di atas 5 persen sampai 2045. (Dan)