Jakarta.Portonews.com-Pengembang Pembangkit Listrik Tenaga Panasbumi (PLTP) meminta Pemerintah agar menyuruh PT Perusahaan Listrik Negara Persero memberikan incentive harga jual panas bumi bagi proyek-proyek baru.
Harga EBT dan proyek baru memang diperlukan untuk menjalankan tercapainya PP KEN, UU Panas Bumi, UU Energi, juga UU Perubahan Iklim yg disampaikan di Perjanjian Paris. Subsidi Listrik PLN setiap tahun naik dan ini tidak bisa dihindari karena berbagai macam alasan teknis dan nilai tukar US Dolar ke Rupiah. Mendorong proyek EBT hari ini dipastikan tidak ada rugi dan dosanya karena berbagai macam manfaat akan didapat dibandingkan dengan mudaratnya.
“Mari kedepan kita sepakati range atau batas atas – bawah harga EBT proyek baru yang lebih berkeadilan dan disesuaikan dengan insentip diatas, sebagai fair price untuk awal proyek saja atau 10 tahun. FiT atau harga EBT Panas Bumi yang diperlukan adalah segera menerapkan FiT hanya 10 tahun saja tidak lebih dan setelah itu mengikuti persaingan di BPP PLN setempat. BPP PLN setempat pada saat 10 tahun mendatang itu sudah akan cukup memberikan keuntungan yang wajar kepada pengembang EBT panas bumi. Disamping, alasan ini juga mempertimbangkan masukan KPK terhadap potensi kerugian negara atas kontrak dengan FiT 30 tahun karena satu harga tinggi dan panjang,”kata Dirut PT Geo Dipa Energi Riki F.Ibrahim lewat pesan pribadinya ke Portonews.com,Senin (19/8/2019) di Jakarta.
Riki menjelaskan yang diperlukan adalah segera menerapkan FiT Panas Bumi, tetapi hanya 10 tahun saja, tidak lebih dan setelah itu mengikuti persaingan di BPP PLN setempat. Hal ini disampaikan menjawab pertanyaan wartawan karena BPP PLN setempat pada saat 10 tahun mendatang itu sudah akan cukup memberikan keuntungan yang wajar kepada pengembang EBT panas bumi.
Disamping, alasan ini juga mempertimbangkan masukan KPK terhadap potensi kerugian negara atas kontrak dengan FiT 30 tahun karena satu harga tinggi dan panjang.
Pemahaman perlunya FiT harga EBT diawal itu sejalan dengan masukan dari EBTKE ESDM sebagai insentip terhadap EBT Panas Bumi yg disampaikan kepada Menteri Keuangan. Pemerintah diharapkan mempertimbangkan insentip pembangunan infrastruktur, insentip pencegahan risiko ekonomi, dan insentip lingkungan dengan total maksimum sekitar 9 cent pwr kWh yang ditambah harga BPP PLN setempat sebagai harga keekonomian proyek.
Berdasarkan kajian terkait situasi di lapangan, permasalahan yang menjadi penyebab kurang optimalnya pengembangan energi panas bumi antara lain: Pengembang menanggung biaya infrastruktur yang sebenarnya menjadi tanggung jawab Pemerintah, upfront-risk dan kebutuhan investasi awal yang besar, beberapa lokasi potensi panas bumi berada di kawasan konservasi, daya beli masyarakat yang relatif rendah, dan ketimpangan antara kebutuhan listrik setempat dengan sumber daya energi panas bumi yang ada. Selain itu. pengembang Panas Bumi di Indonesia juga masih menghadapi risiko bisnis seperti:
1) Risiko sumber daya (resource-risk),merupakan risiko pengembangan yang disebabkan oleh ketidakpastian kondisi sumber daya panas bumi pada saat proses eksplorasi. Salah satu contoh dari risiko sumber daya ini adalah tidak ditemukannya sumur panas bumi yang produktif dengan temperatur tinggi. Hal ini disebabkan karena tingkat keberhasilan pengeboran sumur eksplorasi hanya sekitar 50%. Tingkat risiko ini akan berkurang sejalan dengan banyaknya kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang dilakukan pengembang (Gambar 7).
2) Risiko kenaikan biaya proyek, beberapa teknologi dalam industri panas bumi menggunakan teknologi yang sama dengan industri migas, salah satunya adalah pengeboran. Sehingga fluktuasi harga minyak dapat berdampak pada biaya pengeboran panas bumi. 3) Risiko sosial, merupakan risiko yang dihadapi pengembang terkait dengan penolakan masyarakat disekitar proyek pengembangan PLTP. Resistensi masyarakat dan isu sosial ini dapat mengakibatkan keterlambatan penyelesaian proyek yang akan berdampak juga terhadap keekonomian proyek. 4) Risiko perubahan kebijakan dan regulasi, merupakan risiko yang muncul akibat perubahan kebijakan atau munculnya peraturan baru yang tidak dapat dipertimbangkan oleh pengembang sehingga dapat mempengaruhi keekonomian proyek panas bumi. Sebagai contoh, terdapat peraturan-peraturan baru seperti pengenaan Pajak Tubuh Bumi pada tahap eksploitasi, penerapan skema Build-Own-Operate-Transfer (BOOT), penerapan Iuran Pemanfaatan Jasa Lingkungan Panas Bumi (IPJLPB), dan sebagainya.