Banyak program pemerintah di bidang pendidikan yang belum sepenuhnya berjalan karena tidak tersosialisasikan ke daerah-daerah. Kalaupun masyarakat di daerah tahu, banyak dari mereka yang tidak tahu cara memanfaatkannya.
Pendidikan adalah masalah paling mendasar dari sebuah negara. Baik buruk nasib satu bangsa di masa depan, ditentukan oleh baik buruknya pendidikan hari ini. Atas pertimbangan itu pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat menetapkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang mengamanatkan anggaran pendidikan minimal 20% dari total belanja APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional) dan APBD (Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah).
“Kita diamanatkan, anggaran untuk pendidikan minimal 20% dari belanja nasional per tahun. Tapi kalau kita bicara anggaran yang 20%, rata-rata 80% (dari 20%) dialokasikan untuk pembangunan prasarana pendidikan, juga belanja rutin, termasuk gaji guru. Artinya, prasarana pendidikan ini, masih banyak sekali sekolah-sekolah yang boleh dibilang secara fisik itu masih kurang layak. Kemudian sarananya seperti komputer, alat peraga, dan lain-lain, karena kita menerapkan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) juga. Tapi tidak semua siap dengan komputer tersebut. Kemudian masalah kualitas guru. Mungkin Pekerjaan Rumah (PR) kita sekarang adalah bagaimana agar 20% anggaran pendidikan itu lebih tepat sasaran,” papar Venna Melinda, Anggota Komisi X DPR RI.
Untuk memajukan pendidikan di Indonesia, sudah jauh-jauh hari pemerintah menetapkan gerakan Wajib Belajar 12 tahun. Komitmen orang tua, pemerintah, dan DPR harus diimplementasikan dalam bentuk meningkatkan sinergitas di antara tiga komponen ini.
Sementara di lapangan, jika dihitung angka partisipasi kasar (APK) anak yang bersekolah di tingkat Sekolah Dasar (SD) masih lebih besar daripada di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP), kemudian di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) lebih rendah dibanding APK SMP. Ini menunjukkan, bahwa gerakan Wajib Belajar 12 belum terealisasi sepenuhnya. Ada yang sudah 12 tahun, 9 tahun, ada juga yang masih 6 tahun.
“Saya merasakan sendiri di Dapil (Daerah Pemilihan) saya, Jawa Timur 6. Kita sebagai Anggota DPR yang punya tiga kewenangan dalam hal ini, legislasi, budgeting, dan pengawasan, akan sulit bagi masyarakat untuk mengetahui kebijakan pemerintah, seperti Program Indonesia Pintar yang diimplementasikan dengan penyebaran Kartu Indonesia Pintar (KIP). Sebetulnya itu dibuat agar tidak ada lagi anak yang putus sekolah hanya gara-gara biaya. Itu tidak susah, yang paling penting Kepala Sekolah rajin meng-up date data anak-anak yang secara perekonomian kurang dan memang anak-anak yang membutuhkan, bukan karena faktor KKN (Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme),” terangnya.
Menurut Venna, yang juga menjadi PR di Komisi X DPR, sampai dibuat Panja, adalah bagaimana meyakinkan para orang tua tentang adanya program pro rakyat di bidang pendidikan itu harus direspon dengan baik. Artinya para orang tua harus mendorong anak-anaknya terus sekolah, bukan mengarahkan mereka menjadi buruh atau menjadi tenaga kerja anak-anak. Cuma karena ketidaktahuan ini, masalah sosialisasi, akhirnya membuat banyak anak putus sekolah. “Lulus SD, sudah bantu orang tua.”
Sosialisasi ini menjadi hal yang rumit dalam hal program pro rakyat bidang pendidikan, termasuk Ruang Praktik Siswa, lalu rehab sedang bangunan sekolah. Masih banyak orang yang tidak tahu apa saja program Mendikbud.
“Padahal banyak banget, tapi karena ketidaktahuan itu, kalau kita ke sekolah-sekolah yang terpencil. Mereka tidak tahu karena belum adanya saluran informasi, tidak punya internet, misalnya. Banyak panduan program di Kemendikbud yang bisa diakses secara online, misalnya bagaimana cara membuat proposal. Tapi mereka gak sampai ke sana,” jelas Venna.
Jadi yang terjadi saat ini, programnya ada tetapi masyarakat banyak yang tidak tahu. Kalau pun tahu, banyak yang tidak tahu bagaimana memanfaatkan program tersebut. Ia membayangkan, kalau 560 anggota DPR yang tahu betul tentang apa saja program Pro Rakyat, itu keniscayaan. Tapi bagaimana kalau ada anggota masyarakat yang tidak tahu? Ya akhirnya lewat.
“Misalnya, program Bidikmisi. Lulus SMA kan ada biaya hidup Rp600 ribu ditanggung di situ, kemudian dia bisa saja tidak bayar uang kuliah. Tapi siapa yang tahu? Padahal itu program dari Kemenristekdikti. Ini masalah mekanisme kontrol,” kata Venna.
Menurut Venna, Kemendikbud seharusnya bekerja sama dengan Kominfo, TVRI, atau RRI, ada kuota untuk mensosialisasikan program pro rakyat itu. Seperti yang dilakukan di Kuba yang sekarang tingkat buta aksaranya 0%, sosialisasi program pemerintah dilakukan melalui radio dan TV Lokal. Bisa berjalan, karena ada TV lokal yang menyiarkannya. Itu bisa ditiru. “Ini semacam masukan, inovasi saja. Kayak undang-undang, sosialisasinya yang mahal.”
Venna menjelaskan, sekarang sudah ada Undang-Undang Kemajuan Kebudayaan, kemudian akan ada revisi total Undang-undang Perfilman yang masuk prolegnas, peraturan mengenai tayangan televisi, film harus didaftarkan di perpustakaan daerah, dan lain-lain, yang menjadi domain DPR yang mengemban fungsi legislasi, sebagai representasi masyarakat.
“Cuma kadang-kadang, kita bikin undang-undang itu gak bisa kayak bikin gado-gado. Kita harus bikin itu secara cermat agar tidak di-judicial review. Artinya, DPR di sini sudah produktif. Tapi sekali lagi, kepentingan ini harus ada juga masukan dari rakyat, rakyat harus merespon itu dengan baik. Makanya saya bilang, banyak sekali program pemerintah di bidang pendidikan yang masyarakat tidak tahu.”
Venna mengaku punya rumah aspirasi yang ia bangun selama 8 tahun, atau dua periode keanggotannya di DPR. Kalau tidak ada rumah aspirasi dan jarang turun ‘blusukan’ ke daerah, bagaimana mungkin masyarakat bisa tahu ada KIP, ada Bidikmisi, ada Ruang Praktek Siswa? Itu menjadi lebih relevan karena wacana yang sedang aktual tentang pendidikan nasional adalah sekolah vokasi.
Saat ini Ruang Praktek Siswa belum memadai. Sementara kalau mengacu ke Jerman yang menerapkan dual system 60%-40%, sekolah vokasi 60% praktek, 40% belajar di kelas, di sekolah-sekolah kejuruan di Indonesia banyak yang tidak punya Ruang Praktek. “Sekarang kita lihat SMK Kelautan, padahal kita negara bahari, itu banyak sekali program Kemendikbud yang tidak dapat mereka akses.”
Belum lama ini, dalam masa reses DPR, Venna berkunjung ke Sekolah Pelayaran Hang Tuah di Kediri, Jawa Timur yang merupakan Daerah Pemilihannya. Sekolah itu menerima bantuan lebh dari Rp1 miliar untuk membangun Ruang Praktik Siswa. Menurut Venna, meski sekolah tersebut sudah puluhan tahun berdiri, tapi para pengurusnya baru tahu tentang program RPS. Untuk menunjang belajar para siswanya, sekolah itu harus punya alat simulasi seperti di kapal.
Jadi, masalah sosialisasi program itu memang harus difasilitasi dan didukung oleh stakeholder lain selain Kemendikbud selaku eksekutor. Harapannya, adanya rumah aspirasi masyarakat bisa tahu program-program di bidang pendidikan. Ia mengaku menyimpan semua data dan petunjuk teknis tentang semua program itu. Selama 8 tahun menjadi Anggota DPR, kata Venna, masih banyak daerah yang belum ia jangkau di 8 Kabupaten 2 Kota di Jawa Timur yang merupakan Dapilnya.
Di tingkat PAUD, lanjut Venna, ada program yang namanya APE, Alat Peraga Edukasi, seperti boneka-boneka, balok, lego, yang bagi sekolah-sekolah PAUD di daerah pedesaan harganya mahal.
Sebagai salah satu perempuan yang duduk di parlemen, Venna punya visi-misi yang ingin ia wujudkan. Keterwakilan perempuan sesuai dengan Undang-undang parpol dan pemilu adalah 30%, tapi itu tidak pernah tercapai. Kenapa? Karena di desa-desa, tak ada perempuan yang mau jadi anggota DPR. Mereka apatis terhadap institusi ini. Mereka selalu melihat stigma DPR itu korup, padahal tidak semua.
Sangat disayangkan, pemerintah membuka 30% keterwakilan perempuan, tapi mungkin karena lebih banyak berita tentang pejabat perempuan yang terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK, akhirnya mereka jadi apatis terhadap DPR. Padahal satu-satunya yang punya tiga kewenangan di antara tiga lembaga dalam trias politika ini adalah DPR.
“Contohnya, kalau kita bicara anggaran KIP, kita bisa dorong agar anggarannya meningkat, supaya gak ada lagi anak yang putus sekolah. Kemudian dari segi pengawasan, kita bisa research. Artinya, kita sudah tahu betul tugas Kementerian sebagai mitra kerja. Ini yang benar-benar harus kita perbaiki,” ujarnya.
Contoh lain, BOS diproyeksikan hanya untuk sekolah formal, tapi anak-anak dari masyarakat marginal yang tinggal di kolong jembatan, yatim piatu, baru ter-cover di Kartu Indonesia Pintar. Itu juga antara lain hasil usaha dari Komisi X DPR dari periode ke periode, siapapun Menterinya. Menurutnya, regenerasi di parlemen, khususnya kaum perempuan, sangat sulit. Ia berjanji, kalau terpilih kembali dalam Pemilu 2019, Venna akan memberikan atmosfer baru.
“Kalau mereka ngefans sama penyanyi perempuan, kenapa mereka tidak ngefans sama politisi perempuan? Artinya, hak untuk dipilih harus dimanfaatkan, karena pemerintah sudah membuka kesempatan itu. Kita negara demokrasi. Itu yang harus dijawab oleh perempuan Indonesia secara mentality. Berani gak menjawab tantangan politik dengan niat tulus untuk masyarakat? bukan untuk memperkaya diri,” tantang Venna.(nol)