Ketimpangan dalam pendidikan, ketimpangan dalam ekonomi itu juga turut menciptakan menciptakan atau membentuk masyarakat yang tidak mampu menerima dan memperlakukan perbedaan dengan semestinya.
Persoalan sosial politik di masyarakat Indonesia demikian kompleks. Namun, terbungkam selama puluhan tahun masa Pemerintahan Orde Baru. Ironisnya, reformasi tahun 1998 seolah hanya melepaskan sebagian dari energi persoalan tersebut. Pemilihan Presiden tahun 2014 menjadi momen pemicu mengemukakan persoalan lama yang semakin kompleks.
Membedah fenomena sosial politik di Indonesia yang semakin mencemaskan, Dosen Ilmu Komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Dr. Inaya Rakhmani memaparkan secara komprehensif. Ia kini tengah mendalami satu media yang mencakup hal yang menyimpan pesan, bisa simbol, bisa manusia, bisa media massa, media online, dan sebagainya.
“Selama dua-tiga tahun terakhir saya melakukan penelitian tentang politik identitas, terutama yang berkenaan dengan simbol-simbol keagamaan. Dari penelitian itu saya menulis buku dengan judul ‘Mainstreaming Islam in Indonesia’. Di situ saya berargumen, ada datanya, ada sintesisnya. Itu hasil studi mulai tahun 2010,” kata Inaya, yang meraih gelar doktor di bidang Studi Media dari Murdoch University, Australia tahun 2013.
Fenomena yang muncul di masyarakat dalam beberapa tahun terakhir, kata Inaya, adalah bagian proses sejarah. Mungkin terlihat ekstrim. Terutama sejak tahun 2014, politik identitas di dunia online begitu marak. Ironisnya, subyeknya juga datang dari kelas menengah yang terdidik. Pertanyaannya, ‘Kok bisa sampai seekstrim itu?’.
Menurut Inaya, proses itu dimulai sekitar 30 tahun lalu, sejak dibukanya pasar bebas. Artinya modal asing masuk ke Indonesia, produk asing masuk, dan aspirasi untuk menjadi orang dengan tingkat pendidikan lebih tinggi, dengan pendapatan yang lebih tinggi, dan kehidupan lebih aman, lebih nyaman itu juga menjadi lebih tinggi di kalangan kelas menengah.
Berdasarkan catatanya, ekspansi kelas menengah dari 25% tumbuh menjadi 45% dalam waktu kurang dari 10 tahun (1980-1990). Jadi, dari sisi makro pun masyarakat berubah dengan sangat cepat.
Menurut Inaya, sejak akhir dekade 1980an ada proses yang berkaitan satu sama lain yang bersamaan dengan dimulainya pasar bebas. Tapi bukan pasar bebas itu yang menyebabkan munculnya politik identitas, melainkan ada perjalanan sejarah di mana di tahun sekian terjadi peristiwa A, di tahun berikutnya ada kejadian B, dan seterusnya, ini menyebabkan rangkaian kejadian berikutnya.
Politik identitas di Indonesia muncul karena simbol-simbol yang ditanamkan secara efektif dan masif sejak Orde Baru, ketika gerakan masyarakat sipil diredam, ketika institusi pendidikan itu tujuannya hanya untuk modernisasi, untuk menghasilkan orang-orang yang siap bekerja membangun perekonomian.
“Misalnya, di TVRI itu ada Si Unyil yang mengajarkan generasi saya untuk toleran terhadap kelompok yang berbeda, tapi toleransi itu gak mengajarkan menerima perbedaan, tapi mengajarkan kita bertenggang rasa ketika ada ketidaknyamanan. Tapi ketika tidak ada lagi figur orang tua yang memaksa kita menanam nilai bahwa kita harus menenggang rasa, ya kita lagi dalam periode panen kehilangan figur itu. Padahal 30 tahun sebelumnya, sejak tahun 1960an, kita juga dipaksa, diredam untuk membicarakan perbedaan,” jelas Inaya.
Dalam tiga puluh tahun terakhir, kondisi itu dibarengi dengan ekspektasi masyarakat terhadap institusi publik yang tidak terpenuhi. Kondisi ideal institusi publik seharusnya mampu memberikan pelayanan tanpa terkecuali. Kesehatan, pendidikan, dan perumahan, terhadap siapapun warga negara.
“Gak ada orang gembel, gak ada orang yang gak dapat pendidikan, gak ada orang sakit yang gak diobati. Ini juga ada di undang-undang kita. Tapi sejak 30 tahun lalu institusi kesehatan kita swasta, institusi pendidikan kita swasta, bahkan UI juga sekarang Perguruan Tinggi Negeri statusnya Badan Hukum (PTN-BH), kita harus mencari uang dari pendaftaran mahasiswa dan penelitian. Perumahan juga ke property developer swasta. Jadi kalau, kita mau sehat, kita mau pintar, kita mau sandang, pangan dan papan, kita harus punya uang. Ini menyebabkan situasi emosi yang tadi disebut bipolar. Sebenarnya situasi cemas yang berlebihan, memikirkan masa depan, memikirkan rasa aman di zaman sekarang, yang kalau mau aman kita mesti beli barang. Ada ketimpangan sosial, bukan hanya miskin dan kaya tapi yang merasa dirinya miskin namun secara objektif dia berada,” Inaya memaparkan.
Sehingga, kata Inaya, ada kecemburuan yang terpusat pada simbol-simbol, lebih mudah memaafkan orang yang agamanya sama, yang sama-sama Minang, sama-sama Solo, sama-sama Jombang, daripada memaafkan orang yang sosok fisiknya berbeda, dialeknya beda, semuanya asing, karena mereka menginginkan rasa aman itu dari institusi publik. Jadi, masing-masing kelompok mencari kenyamanan dengan cara yang relatif seragam dengan orang yang sama, dan menyerang orang yang dianggap mengambil keamanan itu dari mereka.
Kalau dilihat dari kelompok Islam, Inaya melakukan penelitian bersama Prof. Vedi Hadiz tentang ‘Aksi Bela Islam 212’. Narasi yang terbangun dan motivasi yang membuat orang mau ikut berdemonstrasi saat itu adalah perasaan, bahwa ‘sumber daya kita’ diambil oleh orang dari ras tertentu, yang sejak zaman kolonial ras itu selalu mendapat posisi yang lebih tinggi karena mereka menjadi buffer kolonial. Menurut data yang didapat Inaya, kelompok-kelompok itu dari etnis Tionghoa.
Padahal, menurut Inaya yang juga menjadi editor di berbagai media internasional mengenai ilmu komunikasi, dari etnis Tionghoa juga beragam, seperti halnya dalam kelompok Islam, ada Muhammadiyah, NU, ada yang pluralis, modernis, ada dari pesantren, ada yang dari perkotaan, ada fundamentalis dan macam-macam. Sedangkan dari etnis tionghoa ada peranakan, ada yang elit, ada yang kosmopolitan, macam-macam juga.
“Jadi, kita sebagai akademisi dan barangkali dari media juga mesti menggambarkan keberagaman itu dengan presisi, supaya kita juga tidak terbawa label yang sedang dimanipulasi menuju 2019,” kata Inaya.
Bukan hanya berpolitik, dalam bersosial pun identitas ini sangat menentukan. Ada fenomena menarik, mungkin sangat klasik, bahwa orang-orang yang memiliki sifat yang sama, terlebih lagi mereka memilki tingkat pendidikan yang sama, strata sosial yang sama, kemampuan ekonomi yang sama, mereka akan lebih mudah untuk berkumpul dan menyepakati agenda yang sama.
Mengapa demikian? Karena masalah ketimpangan sosial ekonomi tidak bisa diatasi secara langsung dan instan. Maka simbol-simbol keagamaan, simbol-simbol etnis, simbol nasionalis itu bisa menyumirkan, bisa mengeliminasi, smooth over, bisa distimulus, bahwa mereka melihat sisi kesamaan, sama-sama Islam, sama-sama orang Indonesia.
“Gak apa-apa, kamu miskin dan saya kaya, asalkan sama-sama Islam. Jadi, justru demonstrasi berbasis sentimen keagamaan, atau isme-isme lainnya itu berguna untuk meniadakan, menihilkan, mereduksi ketimpangan sosial yang tidak bisa diatasi dalam waktu dekat,” jelas Inaya.
Aksi kelompok-kelompok yang mencoba mengeliminir, smooth over ketimpangan sosial dengan cara mereka sendiri, bersamaan dengan momen-momen politik di mana kelompok-kelompok politik tertentu memiliki banyak kepentingan, dan tentu saja orientasinya kekuasaan.
Inaya menampik tesis tersebut. Poinnya bukan mau atau tidak berkuasa, karena mereka belum tentu berhasil. Tapi bahwa gerakan bisa semasif itu karena kelalaian negara dalam arti luas, bukan hanya rezim pemerintah tertentu, tapi negara sebagai sebuah entity at the whole, sebagai masyarakat, ada pemerintah, media, dan semua institusi di dalamnya itu tidak bisa memberikan jaminan sosial kepada semua warganya, sehingga ada politisasi ketidak-adilan untuk kontestasi mereka dalam mendapatkan pucuk kekuasaan, dan ini bisa berwujud kelompok Islam, bisa berwujud kelompok apapun yang menginginkan kekuasaan itu.
“Bagi saya permasalahnya ada di institusi publik kita yang gak jalan. Artinya yang terjadi sekarang itu adalah konsekuensi sejarah,” tegasnya.
Inaya bercerita, pernah melakuakan penelitian sosial, lantas ia menyimpulkan situasi saat ini telah terjadi segregasi sosial dari dua arah. Pertanyaannya, segregasi itu terjadi karena apa? Karena tanahnya itu tanah privat, tanah yang dijual oleh swasta. Jadi, ketika ada pasar pasti akan dibuat seperti itu. Gak ada orang ‘jahat’, bukan developernya jahat, juga bukan konsumennya jahat, tapi ini konsekuensi dari keputusan sosial yang bisa ditarik puluhan tahun lalu.
Fenomena di mana perbedaan menjadi haram, karena lingkungan sosialnya mengajarkan itu. Kalau sehari-harinya berinteraksi dengan orang sejenis, tidak akan mengenal perbedaan. Anak-anak di sekolah yang homogen, mau sekolah agama, negeri, atau swasta, di sana ada simbol sosial yang membuat orang tua memutuskan anaknya bersekolah di sana. Sehingga sehari-harinya tidak terlatih untuk menerima perbedaan.
Lalu, kenapa orang tua tidak menanamkan, tidak membekali anak-anaknya dengan pemahaman bahwa di luar rumah itu banyak yang berbeda? Karena orang tuanya juga tidak biasa dengan perbedaan. Menurut Inaya, sikap dan tindakan seseorang itu merupakan konsekuensi dari lingkungannya. Sehingga, kalau tidak punya kemampuan untuk menerima dan menyikapi perbedaan dengan wajar, itu berarti lingkungannya tidak mengajarkan untuk mempunyai kapasitas itu.
Ketimpangan dalam pendidikan, ketimpangan dalam ekonomi itu juga turut menciptakan menciptakan atau membentuk masyarakat yang tidak mampu menerima dan memperlakukan perbedaan dengan semestinya. Karena begitu ada pasar yang tidak puas dengan pendidikan yang ada, mestinya kalau tuntutan untuk memperbaiki kurikulum nasional, itu seharusnya ada dorongan yang kuat dari para orang tua yang tahu pendidikan itu seperti apa, tapi tidak tersedia.
Sehingga ada tekanan politik terhadap pemerintah. Tapi dorongan politik ini tidak ada, karena para orang tua bisa menyekolahkan anak-anaknya di sekolah swasta yang menangkap kebutuhan pasar, yang memilki demand pendidikan tinggi, sehingga ini menciptakan ketimpangan baru. Ada orang tua yang menyekolahkan anaknya di sekolah swasta, di sekolah agama, dan seterusnya. Hal ini menyebabkan anak-anak menjadi tidak siap menerima perbedaan di generasi selanjutnya.
Untuk mengakhiri kondisi seperti itu memang dibutuhkan waktu yang cukup lama. Tapi dalam konteks kebijakan ada beberapa hal yang perlu didahulukan. Pertama, pemerintah harus memperkuat institusi publik, jaminan sosial tanpa terkecuali, BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, dan Dana Pensiun.
“BPJS Pensiun itu salah satu yang dibutuhkan. Karena para orang tua yang sudah memberikan hidupnya untuk pertumbuhan ekonomi tiba-tiba dibuang begitu saja karena sudah tidak bisa dipakai lagi. Jika demikian, pertumbuhan ekonomi itu keji banget kalau buat saya, yang akan nanggung mereka itu anak-anaknya yang berusia 40-50 tahun. Mereka itu salah satu ‘institusi’ yang bisa menampung orang tua yang tidak lagi dijaga oleh negara.”
Artinya, mereka akan meluangkan waktu yang mestinya dialokasikan untuk keluarga dan pekerjaan, dialihkan ke orang tuanya yang tidak dijaga oleh negara. Mereka akan merasakan kecemasan baru, dan kecemasan itu juga akan menghasilkan politik identitas yang baru. Proses pembenahannya tentu cukup panjang karena semua institusi publik saat ini adalah warisan Orde Baru punya masalah yang inheren.
Di antara sekian banyak identitas, yang paling menonjol adalah agama. Pertama, di Indonesia Islam adalah mayoritas, kalau di Amerika WASP (white, anglo saxon, protestan). Politik identitas yang mengedepankan agama tidak terlepas dari suasana politik menuju Pemilu dan Pilpres 2019. Sama seperti di Amerika ada electoral politics yang bermain.
Menurut Inaya, mekanisme pasar dan mekanisme pemilu itu serupa. Orang banyak memiliki nilai-nilai yang bisa dimobilisasi. Ketika mereka cemas, ramai-ramai rasa cemas itu dimobilisasi agar mereka membeli asuransi, logika demokrasi sama dengan logika pasar. Itu mirip sekali. Majority rules, minoritas itu hampir pasti dimarginalisasi kecuali dijaga oleh negara.
Kedua, secara sejarah kelompok masyarakat Islam dibungkam selama puluhan tahun, depolitisasi. Artinya, kalau orang dibungkam, ketika dia mendapat ruang pasti akan teriak. Tidak semua orang dalam mayoritas menyukai figur-figur yang ‘teriak’, tapi yang teriak ini bisa jadi yang berguna untuk mereka yang teredam dan merasa tidak bisa menyuarakan pendapatnya. “Jadi dia juga secara berlebihan memegang narasi yang keras ini, dan narasi keras ini terbentuk sejak Orba.”
Inaya menambahkan, ada studi yang mengatakan cikal bakal ormas Islam yang ‘populer saat ini’ sudah ada sejak Orba. Ormas itu mulai mainstreaming di pertengahan tahun 2005. Itu juga karena ‘bantuan’ pemberitaan media komersial yang lebih suka menyajikan berita-berita sensasional. Kelas menengah di masyarakat tahu kalau ormas itu bukan cuma ‘selalu bikin gaduh’, tapi juga punya tempat di media mainstream.
“Namanya pasar, media terus mendorong ke tengah. Jadi, seperti gayung bersambut antara demokrasi dan mekanisme pasar. Studi saya bersama Prof. Vedi Hadiz menunjukkan, perilaku kelas menengah dan politik identitas itu sumber daya yang kaya untuk dimanipulasi di Pemilu dan Pilpres 2019. Jadi kontestasi elit, rebutan sumber daya, rebutan kapital itu sudah jadi keniscayaan dalam politik elit kita. Studi oligarki itu ada ahlinya. Yang bahaya itu ketika politik identitas menjadi sifat keseharian, meski dalam ruang pribadi itu masih bisa dikekang, tapi ketika dimobilisasi untuk kampanye itu bisa menjadi jahat dan itu sedang terjadi.”(yus/nol)
Inaya Rakhmani, S1 Jurusan Komunikasi Universitas Indonesia, S2 Media Studies di University of Amsterdam, Belanda. S3 Media Studies, Asia Research Centre di Murdoch University, Australia.