“Action on climate change is urgent. The more we delay, the more we will pay in lives and in money.” -Ban Ki-Moon, Sekjen PBB 2007-2016-
“We must now agree on a biding review mechanism under international law, so that this century can credibly be called a century of decarbonisation.” -Angela Merkel, Kanselir Jerman-
“People need to stop financing denial of climate change.” -Al Gore, Wapres ke-45 Amerika Serikat 1993-2001
Itulah quotation yang dipampang di website Indonesia Energy and Environment Institute (IE2I), sebuah Non-Government Organization (NGO) yang didirikan dan dipimpin oleh Dyah Roro Esti Widya Putri pada Agustus 2016 lalu.
Esti, menyelesaikan kuliah di University of Manchester jurusan BA (Hons) Economics & Sociology dan jenjang master di Imperial College London jurusan MSc Environmental Policy (Pollution Management), Esti mendirikan IE2I bersama adiknya, Satya Hangga Yudha Widya Putra, tujuan utamanya adalah menumbuhkan kesadaran publik mengenai pemanasan global, sekaligus mengatasi dampak-dampak negatif dari perubahan iklim.
“Kami melihat ada dua sektor yang menonjol, yaitu lingkungan hidup dan energi. Dalam implementasinya, kami melakukan dengan beberapa cara, misalnya mengadakan diskusi-diskusi dan menyelenggarakan konferensi seperti yang digelar pada April 2017 lalu yang bekerja sama dengan Indonesia Economic Forum. Di forum itu saya juga menjadi salah satu pembicara,” kata Esti, kelahiran Jakarta 25 Mei 1993.
Kegiatan lain yang dilakukan Esti bersama IE2I adalah mempertemukan beberapa pihak dari berbagai sektor, untuk bisa berkomunikasi dengan baik tentang energi maupun lingkungan hidup. Kegiatan itu dimaksudkan untuk menstimulasi sikap kritis publik, khususnya generasi muda, mengenai kebijakan-kebijakan pemerintah yang menyangkut energi dan lingkungan hidup.
Beberapa waktu lalu, IE2I juga melaksanakan program sosial bertitel ‘Lautan Bersih, Udara Bersih, Lingkungan Bersih, dan Bersama Kita Bisa’. Salah satu agenda dari program tersebut adalah ‘beach clean up’ yang dilaksanakan di Jenu Mangrove Center, Kabupaten Tuban, Jawa Timur.
Dalam aksi itu Esti mengumpulkan sekitar 150 siswa dari 4 sekolah. Para siswa itu bukan hanya diajak bersih-bersih pantai, memunguti sampah, tapi juga dilakukan sosialisasi mengenai variabel-variabel yang terkait dengan persoalan lingkungan hidup secara komprehensif.
“Kami memberikan edukasi, pemahaman apa itu plastik, seperti apa sifat-sifatnya, bagaimana penanganannya, dan seterusnya. Dengan pemahaman yang lebih baik maka diharapkan akan ada perubahan sikap dan pemikiran para siswa itu terhadap lingkungan hidup menjadi lebih baik,” ujar Esti.
Ia menambahkan, yang tak kalah penting adalah waste management. Seperti diketahui, saat ini sekitar 8 juta ton plastik ada di laut Indonesia. Sampah plastik itu terbawa arus dari berbagai negara. Berdasarkan perhitungan para ahli lingkungan, pada tahun 2050 di lautan Indonesia akan lebih banyak sampah dibanding mahluk hidup.
Dalam skala global, upaya konservasi lingkungan hidup, khususnya dalam rangka mengurangi laju perubahan iklim dan pemanasan global, dilakukan oleh negara-negara di dunia melalui Paris Agreement, yang merupakan kelanjutan dari Protokol Kyoto.
Poin terpenting dalam Paris Agreement, Esti menerangkan, lebih dari 100 negara di dunia yang tergabung dalam United Nation Climate Change Conference (UNCCC) telah bersepakat mengurangi emisi karbon, untuk menghindari kenaikan suhu udara 1,50 – 20 Celcius.
Karena jika proses pemanasan suhu global tidak dihentikan atau paling tidak dikurangi akselerasinya, maka dampak negatifnya sangat banyak bagi umat manusia dan mahluk hidup di dunia. Salah satu yang paling nyata adalah, kenaikan suhu di permukaan laut lebih memudahkan terciptanya badai, seperti yang terjadi di beberapa negara dalam beberapa bulan terakhir.
Caranya, mengurangi emisi gas buang (chlorofluor carbon) yang dihasilkan oleh industri. Tentu bukan menghentikan, apalagi mengurangi kegiatan industri, tapi mengganti bahan bakar fosil yang digunakan oleh industri dengan sumber energi baru dan terbarukan yang ramah lingkungan.
Selain itu, reforestasi, karena dengan lebih banyak pohon yang ditanam, lebih banyak pula karbon di udara yang terserap. “Jadi harus dua-duanya karena dua kegiatan itu terkait satu sama lain.”
Esti menambahkan, Indonesia sudah punya Nationally Determined Contributions (NDC) yaitu program yang bertujuan menurunkan emisi gas buang sebesar 29% dan 41% dengan bantuan negara lain. Adapun tingkat emisi yang dijadikan basis penghitungannya adalah emisi pada tahun 2010.
“Kita sudah meratifikasi agreement itu dan sudah punya kebijakan-kebijakannya. Dalam NDC ada beberapa kategori, salah satunya sektor energi. Bagaimana caranya kita bisa convert ke energi baru dan terbarukan, melepas ketergantungan terhadap energi fosil,” kata Esti.
Namun sangat disayangkan, lanjut Esti, tanggal 1 Juni 2017 atas perintah Presiden Trump, Amerika Serikat menarik diri dari Paris Agreement. Mereka kesulitan mengurangi emisi gas buang, karena pemerintah Trump sedang berusaha untuk mengurangi pengangguran dengan menggenjot sektor industri.
“Itu persoalan besar bagi dunia, terutama bagi negara-negara berkembang. Tapi saya melihat dari sisi positif, sejak 22 April 2016, Paris Agreement sudah diratifikasi oleh lebih dari 100 negara, dan mereka siap untuk melaksanakan program-program yang telah ditetapkan.”
Indonesia sebagai negara berkembang yang masih memiliki hutan yang relatif luas dan tingkat emisi karbonnya relatif sedikit, pantas mendapatkan kompensasi dari partisipasi aktif dalam mengatasi perubahan iklim dan pemanasan global.
Atas dasar itu, kata Esti, IE2I mengusulkan agar Indonesia mendapatkan lebih banyak international aid, berupa asistensi teknis, finansial, alih teknologi, dan lain-lain. Tapi Indonesia juga harus lebih terbuka untuk investasi asing.
Energi Nuklir
Dalam perhelatan UN World Climate Conference di Bonn, Jerman 6-17 November 2017, dalam diskusi yang diadakan di paviliun Indonesia, topik yang dibahas antara lain ‘bagaimana Indonesia bisa beralih dari energi fosil ke energi baru dan terbarukan’. Salah satu energi baru terbarukan yang paling efisien adalah energi nuklir.
“Di Bonn, mantan Wakil Presiden Amerika Serikat, Al Gore mengunjungi paviliun Indonesia dan melakukan tanya jawab. Adik saya, Satya bertanya, ‘bagaimana kalau Indonesia mengimplementasikan energi nuklir untuk pembangkit listrik?’ Al Gore menjawab, pada umumnya masyarakat di negara berkembang seperti Indonesia mengkhawatirkan dampaknya jika terjadi sesuatu, dan itu akan berimbas ke negara lain. Tapi menurut saya, bagaimana dengan negara lain yang sudah menggunakan energi nuklir? Toh jika terjadi sesuatu dampaknya ke negara lain juga. Jadi why not? Energi itu hemat energi juga,” papar Esti.
Menanggapi keputusan Trump menarik diri dari Paris Agreement, Gore mengatakan, reaksi terhadap Trump adalah jika ada yang lebih kuat dari tindakan yang dilakukan Trump.
“Eksperimen yang dilakukan Trump belum sampai setahun. Dalam sains, kadang percobaan dihentikan lebih awal. Saya tidak mengatakan ini akan terjadi sekarang, tapi ini terasa seperti film yang pernah saya lihat.”