Dalam perjalanan saya ke Jepang, saya memetik dua pelajaran berharga. Pertama, di kordinat yang sama, pada waktu berbeda, kita selalu melihat ‘konfigurasi awan berbeda’. Mendung dan cerahnya cuaca atau juga kandungan uap air di ketinggian tertentu mempengaruhi formasi iringan awan yang menyertainya. Dari awan yang berarak kita dapat memahami bahwa perubahan itu adalah sebuah keniscayaan.
Kedua, turbulensi dan volatilitas sepanjang penerbangan kini menjadi sesuatu yang normal. Kata ahli ekonomi, “Turbulence and volatility is A New Normal“. Disebut ‘new normal’ karena ada fenomena climate change dan perubahan geopolitik yang dinamis.
Di pesawat terbang saya membaca buku berjudul ‘The Irrational Exuberance’ edisi ketiga karya pemenang hadiah Nobel bidang Ekonomi tahun 2013, Robert J. Shiller, yang pernah menjadi New York Times Best Seller. Buku ini dibeli ketika saya bersama anak bungsu mampir di toko buku Maruzen Tokyo.
Buku ini memberi semacam hints atau rekomendasi halus kepada policy makers dan pelaku ekonomi, hingga mengubah ‘mindset’ dalam investasi dan membuat rule and regulation on economics after the 2007-2009 world financial crisis. Seperti juga peristiwa 11 September 2001 yang membuat tata pengelolaan bandara dan airline berubah drastis.
Menurut Schiller, sekarang kita perlu mengamati ‘Economic Weather’ dengan lebih teliti. Pengetahuan yang diperloeh di bangku sekolah pada masa 20 – 30 tahun lalu perlu diremajakan terus menerus. Sebab, akselerasi perubahan berjalan begitu cepat dan tanpa terasa. Turbulensi dan volatilitas, anomali dan misteri berjalan berbarengan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
‘Economic weather before and after 1960’ berbeda dengan ‘before and after 1980’, apalagi dengan ‘before and after 1997/1998 dan 2007/2009’. Dan pasti berbeda juga dengan ‘before and after 2014/2019’.
Misalnya, Ia mengatakan, kadang kala istilah ‘buble economy’ yang sering digunakan oleh para penulis pasar modal dan masuk ke kosakata awam membuat kita terkecoh, membayangkannya seperti gelembung sabun. Tetapi jika yang dihadapi ‘speculative bubble’, are not so easily ended. Sebenarnya saya ingin menulis resensi buku ini untuk di-share, tapi hawatir salah memahami. Nanti saja kalau waktunya memungkinkan.
Dari dua pengalaman terbang, sebagai seorang aeronautical engineer, saya beruntung bisa mengenal rumus dasar yang diajarkan oleh para mentor perancangan pesawat terbang di mana lalu. Every turbulence and volatility need dynamic stability, setiap turbulensi memerlukan kemampuan pengendalian stabilitas yang dinamis.
Menurut kamus McGraw Hill Illustrated Dictionary yang juga saya beli di Maruzen, disebutkan begini, “The term dynamic stability is defined as the characteristics of an airplane that when disturbed from original of steady state of flight or motion also to damp the oscillations using its inherent restoring moments and gradually restore to its original state“.
Setiap struktur dan konfigurasi pesawat terbang yang sudah disertifikasi oleh FAA, EASA, atau DGAC Indonesia, pastilah memiliki karakteristik yang mampu menghadapi turbulensi dan gangguan cuaca untuk kembali ke kondisi terbang semula. Tiap oscillations dapat diredam melalui momentum yang secara inheren dimiliki untuk kembali ke posisi semula, terbang menuju tujuan dengan selamat.
Begitu juga saya pikir dengan situasi politik dan ekonomi Bangsa Indonesia yang kadang kala mengalami turbulensi dan volatilitas, pastilah kita mempunyai kemampuan pada manusia bersumber daya iptek, struktur, mekanisme, dan tata cara utuk secara inheren memiliki momentum dan energi yang menyebabkan Bangsa Indonesia terus berjaya menuju masa depån.