Turbulensi dan volatilitas sepanjang penerbangan kini menjadi sesuatu yang normal. Kata ahli ekonomi, “Turbulence and volatility is A New Normal“. Disebut ‘new normal’ karena ada fenomena climate change dan perubahan geopolitik yang dinamis.
Catatan ini saya tulis di atas pesawat Garuda Airbus A330-300 ketika sepulang dari perjalanan dinas ke Tokyo. Pesawat berangkat dari Bandara Haneda pukul 11.30 waktu setempat. Di Bandara Haneda, saya diminta oleh Manajer Perwakilan Garuda di Tokyo, Fik Daniel dan beberapa staff di sana untuk berfoto sambil mendengar penjelasan tentang kemajuan program ‘Roadmap to Zero Delay dan Zero Accident’ yang sedang dijalankan di tiap stasiun keberangkatan dan tujuan.
Program yang tidak mudah diimplementasikan, tetapi sekarang telah menjadi suatu keniscayaan atau New Normal bagi semua maskapai penerbangan, termasuk Garuda. Jika tidak, pelanggan akan kecewa. Penerbangan dari Haneda ke Sukarno-Hatta ditempuh selama tujuh jam sembilan menit. Pilot meminta saya dalam lima belas menit pertama untuk tidak tidur dulu, agar saya bisa memotret keindahan Gunung Fuji dari udara, melalui jendela sebelah kanan.
Sejak tahun 1994 saya memang sering memilih duduk di pinggir jendela pesawat, sambil menenteng kamera. Kegemaran ini diawali ketika saya diajak Prof. BJ Habibie yang ketika itu menjadi bos saya, sebagai Direktur Utama Industri Pesawat Terbang Nusantara.
Pada pesawat terbang generasi ke-4 (G4), biasanya dalam perjalanan menuju Eropa, Pak Habibie meminta saya membaca sebuah buku yang berisi data tentang ketinggian, viscositas, kecepatan angin di tiap lokasi yang sedang ia potret. Ketika itu kami ingin menemukan ‘shape and pattern of clouds’ in different time, space and velocities.
Saat itu, Pak Habibie ingin menunjukkan bahwa di tempat yang sama, pada ketinggian yang sama, dan jam yang sama, bentuk geometri awan berbeda. Sambil bercanda Pak Habibie bilang, “Yusman, kamu nggak bakalan ketemu awan dengan bentuk yang sama seperti kemarin disini.”
Awan tidak seperti pohon, bentuk dan formasinya selalu berubah setiap waktu. Pada bulan April 1999, Prof. Bacharuddin Jusuf Habibie, ketika itu sudah menjabat Presiden RI menerbitkan kumpulan karya fotonya dengan judul ‘Pesona Cahaya Kecepatan, Waktu dan Ruang Angkasa’.
Di satu halaman ada sebuah foto sayap pesawat terbang yang sedang menjelajahi angkasa, yang diambil dari balik jendela kabin. Pak Habibie menulis sajak, “Aku Ikan Angkasa, Yang Merenangi Udara di Lautan Gegana.”
Terinspirasi oleh karya foto Pak Habibie, saya selalu mencoba memotret objek yang sama sebagai referensi pada ketinggian yang sama dari udara. Untuk menemukan keindahan ciptaan Allah SWT, awan berarak seperti lumba-lumba yang menyertai perjalanan saya dalam pesawat terbang.
Karena itu saya anjurkan jika naik pesawat pilih tempat duduk dekat jendela, jangan di dekat lorong (aisle), kecuali kursinya tidak tersedia. Setelah itu siapkan kamera. Jangan kamera yang besar, cukup kamera saku atau smartphone dengan posisi ‘airplane mode’. Dengan begitu kita bisa memotret sekaligus menafakuri perubahan geometri awan sepanjang perjalanan sebagai satu keniscayaan yang bersifat alamiah, normal.
Setelah melewati Okinawa, sejajar dengan lokasi Kaoh Siung, Taiwan yang terlihat dalam peta, Captain Pilot memberi ‘warning call’. Permohonan kepada awak kabin dan penumpang untuk kembali ketempat duduk masing masing, dan mengencangkan sabuk pengaman. Sebab posisi pesawat akan berada satu garis dengan ‘the eye of the storm’. Mata badai Noru yang sedang melanda pinggiran pantai Jepang.
Pilot memberi-tahukan, badai itu jaraknya sekitar 50 kilometer dari pesawat. Lima puluh ribu meter. “Kita akan mengalami goncangan sedikit keras selama lima menit” kata Pilot. Suara Pilot yang terdengar santai dan tenang membuat para penumpang merasa tenang. Artinya, semua terkendali. Hanya tidak nyaman selama lima menit.
Saya amati layar televisi 8 inci yang ada di depan kursi. Lalu saya buka menu dan masuk ke mode map. Tampillah peta perjalanan dengan banyak informasi yang menyertai, waktu, ketinggian, dan posisi di mana pesawat yang sedang ditumpangi. Terlihat pada indikator kecepatan menunjukkan perlambatan kecepatan. Yang sebelumnya 870 km/jam berubah menjadi 850 km/jam dan headwind 18 km/jam.
Tiap turbulensi atau guncangan memang menuntut Pilot melakukan penyesuaian arah dan kecepatan terbang. Menghindari ‘red zone’ dalam tampilan layar radar cuaca, indikator tentang segala sesuatu yang bakal ditemui dalam 5, 10, atau 30 menit ke depan.
Menghadapi turbulensi memang seperti mengenderai mobil di jalan tol bebas hambatan. Jalan ‘kriting’, berlubang, dan banyak tikungan, seperti yang terkadang ditemui di Jalan Tol Cipularang menyebabkan kita harus selalu waspada dan mengatur kecepatan. Agar terhindar dari sesuatu yang tidak diinginkan.
Waspada dan tidak bersepekulasi adalah rumus dasar jika menghadapi turbulensi dan volatilitas. Prediksi Pilot memang akurat. Beberapa menit kemudian pesawat mengalami guncangan. Turbulensi berlangsung selama lima menit. Selama guncangan terjadi, saya amati anak saya di sebelah tidur dengan nyenyak. Begitu juga penumpang lain.
Yang masih terbangun dan terjaga lumayan beruntung, ada kesempatan diingatkan kembali akan kekuasaan Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Jadi punya waktu untuk berzikir sambil menikmati guncangan.
Setelah lima menit, lampu tanda sabuk pengaman dimatikan, pramugari datang menghampiri dan berkata, “Pak Yusman, Soto Banjar dan Nasi Kuning Ayam pilihan menunya sudah tersedia. Apa mau makan sekarang?” Sebuah gesture yang langsung memberikan ‘assurance’ bahwa turbulensi selesai. Pengaruh Badai Noru telah terlewati.
Pada periode 1985 – 1989 saya belajar merancang-bangun pesawat terbang bersama para ahli di Fokker, McDonnell Douglas, MBB, dan Boeing. Saya selalu mendapat pengetahuan tentang Weather Condition pada tiap ketinggian yang dapat menyebabkan turbulensi yang kadang kala bisa menjadi ancaman terhadap struktur dan kinerja pesawat terbang.
Karenanya pelajaran tentang dynamic stability, aero elasticity, structural vibration memang perlu dikuasai. Agar rancangan struktur dan konfigurasi pesawat mempertimbangkan dengan serius masalah tersebut. Ada kriteria ‘damage tolerance’ dan ‘risk mitigation’ sebagai alasan mengapa struktur pesawat terbang sengaja dirancang untuk selalu aman sepanjang perjalanan.