Jakarta, Portonews – Juru Bicara (Jubir) Pelaut Senior Teddy Syamsuri yang anggota Majelis Pertimbangan (MPO) DPP Pemuda Pancasila meyakinkan, perlunya perhatian pemerintah atas nasib pembinaan dan kehidupan para pelaut. Sebab, dalam era Presiden Jokowi dalam menuju Poros Maritim, penataan dan penempatan para pelaut masih amburadul.
Teddy yang juga Jubir Gerakan Spirit ’66 Bangkit (GS66B) tak lupa berkisah soal sejarah panjang para pelaut Indonesia. Misalnya senandung lagu “Nenek Moyangku Orang Pelaut” yang lagu anak-anak itu sejak dahulu yang menggambarkan kekuatan terbesar di jaman kerajaan Sriwijaya yang berjaya dan di era kerajaan Majapahit yang makmur loh jinawi. Termasuk semboyan Marinir TNI-AL kita yang “Jales Veva Jaya Mahe” atau “Di Laut Kita Jaya”.
Hanya saja keberhasilan politik cultur steelsel kolonial Belanda yang menyuburkan politik divide et impera telah berhasil mengalihkan cara pandang bangsa pelaut menjadi bangsa daratan yang begitu kuatnya sampai saat ini.
“Bangsa Indonesia yang bangsa pelaut ini mestinya sudah menyadari jika perang laut Sultan Hasanuddin dengan kompeni Belanda sebenarnya dimenangkan jika karena cengkraman politik divide et impera tidak kolonial mainkan sehingga pasukan Sultan Hasanuddin menyerah dengan menandatangani Perjanjian Bongaya. Ini salah satu fakta jika kita belum sepenuhnya terbebas dari warisan kolonial yang suka memecah belah bangsa Indonesia” tutur Teddy Syamsuri yang juga Ketua Umum Lembaga Informasi dan Komunikasi Pembangunan Solidaritas Angkatan 1966 (Lintasan ’66) dalam penjelasan melalui rilisnya kepada pers (25/8/2018).
Dia menunjuk, sebelum Hawaii menjadi negara bagian Amerika Serikat merupakan negara daratan tapi armada lautnya menguasai seluruh pangkalan strategis di semua samudera, dan pasukan marinirnya dijadikan pasukan elite AS dalam semua Medan peperangan.
“Jika tidak keliru, King George IV pernah menyerukan kepada bangsa Inggris bahwa siapa yang menguasai lautan, mereka akan menguasai dunia. Dan faktanya terbangunlah Britania Raya yang negara-negara commonwealthnya (negara-negara persemakmurannya) hampir adanya di gugusan pulau-pulau dan yang kecil-kecil atau berada disemenanjung benua,” akunya.
Teddy menambahkan, pada era Prof. DR. Ir. BJ Habibie masih menjabat Menteri Riset dan Teknologi (Menristek)/Kepala BPPT pernah menginformasikan jika hasil riset NOAA asal AS menyatakan jika Indonesia bukan lagi Archipelago State tapi sudah Benua Maritim.
Terinspirasi oleh informasi dari Habibie tersebut, Teddy yang kala itu menjadi Sekretaris Pelaut Muda Indonesia (PELMI) bersama Prof. DR. Marthin Thomas SH. PHd. dan Ir. Asikin Djanegara sempat rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan pimpinan DPR bidang perhubungan yang meminta adanya Departemen Maritim dan Departemen Perikanan.
“Namun disadari jika di era Presiden Suharto yang berorientasi pada kontinental based dan telah berhasil terhadap program pembangunan swasembada pangan di tahun 1978, jauh api dari panggang jika permintaan PELMI bisa terkabulkan” bebernya.
Bersyukur di era Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) politik kenegaraan agak melihat laut, karena Gus Dur bentuk Departemen Ekplorasi Kelautan yang saat ini menjadi Kementerian Kelautan dan Perikanan. Termasuk membentuk Dewan Maritim Nasional (DMN) yang saat meresmikan di Istana Negara, Gus Dur katakan sudah saatnya ada panglima yang digjaya di laut nusantara.
Ketika pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo (Jokowi) 16 Agustus 2015 di Sidang Paripurna DPR untuk memperkuat visi Poros Maritim Dunia dengan menyatakan sudah tiba saatnya bangsa Indonesia tidak lagi memunggungi laut, selat dan teluk, karena Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia.
“Statement Presiden Jokowi itulah yang menjadi acuan buat kami, Pelaut Senior, menyarankan agar Pemerintah khususnya Presiden Jokowi untuk memperhatikan secara sungguh-sungguh terhadap nasib dan kehidupan pelaut Indonesia yang masih amburadul dalam pembinaannya oleh pemerintah” imbuh Teddy yang sudah lama purna layar tapi jiwanya, semangatnya, akunya tidak akan pudar dalam ikut memperjuangkan nasib dan kehidupan kaum pelaut Indonesia.
Menurut Jubir Pelaut Senior ini, MLC 2006 sudah diundangkan menjadi UU No. 15 Tahun 2016 tentang Ratifikasi MLC 2006 dan sudah jelas pembagian tupoksinya. Tapi baik pihak Kemenaker maupun Kemenhub masih terkesan belum melepaskan ego sektoralnya, nasib pelaut pun terabaikan. Ijasah dan sertifikat konon ada saja pemalsuan tanpa ada yang bertanggung jawab, korbannya pelaut yang memegang dokumen tersebut. Begitupula soal perusahaan perekrut dan penempatan pelaut masih banyak gunakan calo yang besaran pungutan biayanya sampai pelaut harus hutang sama rentenir.
“Ironisnya serikat pekerja pelaut Indonesia satu-satunya yang bernama Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) yang oleh MLC 2006 diamanti untuk kawal hak-hak mendasar pelaut, terkadang malah ikut bermain pada konteks perekrutan dan penempatan pelaut. Lebih ironis lagi KPI konon ikut bermain ketika organisasi serikat pekerja pelaut negara lain bisa merekrut dan menempatkan pelaut Indonesia di kapal-kapal asing melalui Collective Bargaining Agreement (CBA) yang konon bisa disetujui oleh oknum pejabat Ditkapel Ditjen Hubla Kemenhub dan oknum Pengurus Pusat (PP) KPI tinggal terima feenya melalui rekening bank pribadinya. Ini sangat aneh, kok KPI tidak mampu menjaga marwah atas kedaulatan serikat pelaut di negerinya sendiri, karena membiarkan serikat pelaut negara lain merekrut dan menempatkan pelaut Indonesia ke kapal-kapal asing dan melalui saluran CBA yang resmi diterbitkan oleh pemerintah. Sungguh sangat menyesakkan”, beber Teddy.
Oleh sebab itu ada panggilan atas kewajiban dan tanggung jawab moral Pelaut Senior untuk berani menyampaikan saran kepada Pemerintah khususnya Presiden Jokowi, agar memperhatikan nasib dan kehidupan kaum pelaut Indonesia secara sungguh-sungguh merasa pihaknya tidaklah salah dan bukan merupakan gugatan.
“Semoga saja sahabat saya memahami karena memang Pemerintah yang diharapkan membina kaum pelaut kita, aparaturnya juga masih ada saja yang tampilannya feodal, borjuis dan warisan sikap kolonial Belanda yang berpola senior-junior juga masih bisa ditemukan, yang sulit bisa disebut aparatur yang melayani kaum pelaut khususnya”, pungkas Jubir Pelaut Senior Teddy Syamsuri yang didampingi Hasoloan Siregar, Djoko Saliyono, M Amin Nabu dan Yus dari poskonya di bilangan Jatinegara Jakarta Timur.
Ranap
Kumpulan Pelaut Senior Minta Presiden Lebih Memperhatikan Nasib Pelaut
Jakarta, Juru Bicara (Jubir) Pelaut Senior Teddy Syamsuri yang anggota Majelis Pertimbangan (MPO) DPP Pemuda Pancasila meyakinkan, perlunya perhatian pemerintah atas nasib pembinaan dan kehidupan para pelaut. Sebab, dalam era Presiden Jokowi dalam menuju Poros Maritim, penataan dan penempatan para pelaut masih amburadul.
Teddy yang juga Jubir Gerakan Spirit ’66 Bangkit (GS66B) tak lupa berkisah soal sejarah panjang para pelaut Indonesia. Misalnya senandung lagu “Nenek Moyangku Orang Pelaut” yang lagu anak-anak itu sejak dahulu yang menggambarkan kekuatan terbesar di jaman kerajaan Sriwijaya yang berjaya dan di era kerajaan Majapahit yang makmur loh jinawi. Termasuk semboyan Marinir TNI-AL kita yang “Jales Veva Jaya Mahe” atau “Di Laut Kita Jaya”.
Hanya saja keberhasilan politik cultur steelsel kolonial Belanda yang menyuburkan politik divide et impera telah berhasil mengalihkan cara pandang bangsa pelaut menjadi bangsa daratan yang begitu kuatnya sampai saat ini.
“Bangsa Indonesia yang bangsa pelaut ini mestinya sudah menyadari jika perang laut Sultan Hasanuddin dengan kompeni Belanda sebenarnya dimenangkan jika karena cengkraman politik divide et impera tidak kolonial mainkan sehingga pasukan Sultan Hasanuddin menyerah dengan menandatangani Perjanjian Bongaya. Ini salah satu fakta jika kita belum sepenuhnya terbebas dari warisan kolonial yang suka memecah belah bangsa Indonesia” tutur Teddy Syamsuri yang juga Ketua Umum Lembaga Informasi dan Komunikasi Pembangunan Solidaritas Angkatan 1966 (Lintasan ’66) dalam penjelasan melalui rilisnya kepada pers (25/8/2018).
Dia menunjuk, sebelum Hawaii menjadi negara bagian Amerika Serikat merupakan negara daratan tapi armada lautnya menguasai seluruh pangkalan strategis di semua samudera, dan pasukan marinirnya dijadikan pasukan elite AS dalam semua Medan peperangan.
“Jika tidak keliru, King George IV pernah menyerukan kepada bangsa Inggris bahwa siapa yang menguasai lautan, mereka akan menguasai dunia. Dan faktanya terbangunlah Britania Raya yang negara-negara commonwealthnya (negara-negara persemakmurannya) hampir adanya di gugusan pulau-pulau dan yang kecil-kecil atau berada disemenanjung benua,” akunya.
Teddy menambahkan, pada era Prof. DR. Ir. BJ Habibie masih menjabat Menteri Riset dan Teknologi (Menristek)/Kepala BPPT pernah menginformasikan jika hasil riset NOAA asal AS menyatakan jika Indonesia bukan lagi Archipelago State tapi sudah Benua Maritim.
Terinspirasi oleh informasi dari Habibie tersebut, Teddy yang kala itu menjadi Sekretaris Pelaut Muda Indonesia (PELMI) bersama Prof. DR. Marthin Thomas SH. PHd. dan Ir. Asikin Djanegara sempat rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan pimpinan DPR bidang perhubungan yang meminta adanya Departemen Maritim dan Departemen Perikanan.
“Namun disadari jika di era Presiden Suharto yang berorientasi pada kontinental based dan telah berhasil terhadap program pembangunan swasembada pangan di tahun 1978, jauh api dari panggang jika permintaan PELMI bisa terkabulkan” bebernya.
Bersyukur di era Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) politik kenegaraan agak melihat laut, karena Gus Dur bentuk Departemen Ekplorasi Kelautan yang saat ini menjadi Kementerian Kelautan dan Perikanan. Termasuk membentuk Dewan Maritim Nasional (DMN) yang saat meresmikan di Istana Negara, Gus Dur katakan sudah saatnya ada panglima yang digjaya di laut nusantara.
Ketika pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo (Jokowi) 16 Agustus 2015 di Sidang Paripurna DPR untuk memperkuat visi Poros Maritim Dunia dengan menyatakan sudah tiba saatnya bangsa Indonesia tidak lagi memunggungi laut, selat dan teluk, karena Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia.
“Statement Presiden Jokowi itulah yang menjadi acuan buat kami, Pelaut Senior, menyarankan agar Pemerintah khususnya Presiden Jokowi untuk memperhatikan secara sungguh-sungguh terhadap nasib dan kehidupan pelaut Indonesia yang masih amburadul dalam pembinaannya oleh pemerintah” imbuh Teddy yang sudah lama purna layar tapi jiwanya, semangatnya, akunya tidak akan pudar dalam ikut memperjuangkan nasib dan kehidupan kaum pelaut Indonesia.
Menurut Jubir Pelaut Senior ini, MLC 2006 sudah diundangkan menjadi UU No. 15 Tahun 2016 tentang Ratifikasi MLC 2006 dan sudah jelas pembagian tupoksinya. Tapi baik pihak Kemenaker maupun Kemenhub masih terkesan belum melepaskan ego sektoralnya, nasib pelaut pun terabaikan. Ijasah dan sertifikat konon ada saja pemalsuan tanpa ada yang bertanggung jawab, korbannya pelaut yang memegang dokumen tersebut. Begitupula soal perusahaan perekrut dan penempatan pelaut masih banyak gunakan calo yang besaran pungutan biayanya sampai pelaut harus hutang sama rentenir.
“Ironisnya serikat pekerja pelaut Indonesia satu-satunya yang bernama Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) yang oleh MLC 2006 diamanti untuk kawal hak-hak mendasar pelaut, terkadang malah ikut bermain pada konteks perekrutan dan penempatan pelaut. Lebih ironis lagi KPI konon ikut bermain ketika organisasi serikat pekerja pelaut negara lain bisa merekrut dan menempatkan pelaut Indonesia di kapal-kapal asing melalui Collective Bargaining Agreement (CBA) yang konon bisa disetujui oleh oknum pejabat Ditkapel Ditjen Hubla Kemenhub dan oknum Pengurus Pusat (PP) KPI tinggal terima feenya melalui rekening bank pribadinya. Ini sangat aneh, kok KPI tidak mampu menjaga marwah atas kedaulatan serikat pelaut di negerinya sendiri, karena membiarkan serikat pelaut negara lain merekrut dan menempatkan pelaut Indonesia ke kapal-kapal asing dan melalui saluran CBA yang resmi diterbitkan oleh pemerintah. Sungguh sangat menyesakkan”, beber Teddy.
Oleh sebab itu ada panggilan atas kewajiban dan tanggung jawab moral Pelaut Senior untuk berani menyampaikan saran kepada Pemerintah khususnya Presiden Jokowi, agar memperhatikan nasib dan kehidupan kaum pelaut Indonesia secara sungguh-sungguh merasa pihaknya tidaklah salah dan bukan merupakan gugatan.
“Semoga saja sahabat saya memahami karena memang Pemerintah yang diharapkan membina kaum pelaut kita, aparaturnya juga masih ada saja yang tampilannya feodal, borjuis dan warisan sikap kolonial Belanda yang berpola senior-junior juga masih bisa ditemukan, yang sulit bisa disebut aparatur yang melayani kaum pelaut khususnya”, pungkas Jubir Pelaut Senior Teddy Syamsuri yang didampingi Hasoloan Siregar, Djoko Saliyono, M Amin Nabu dan Yus dari poskonya di bilangan Jatinegara Jakarta Timur.