Kemacetan lalu lintas di Indonesia sudah sedemikian parah. Namun hal itu masih dianggap sebagai ‘hal biasa’. Penyebabnya banyak. Untuk mengurangi kemacetan itu, kini Polri menjalankan program IT for road safety.
OVER Dimension and Overload (ODOL), muatan melebihi dimensi yang diizinkan dan melebihi kapasitas muat angkutan merupakan salah satu permasalahan transportasi barang di Indonesia. Tidak dipungkiri bahwa banyak barang yang diangkut adalah barang primer, sehingga transportation cost ratio terhadap harga barang itu menjadi tinggi. Misalnya, semen dengan harga Rp60.000 per zak diangkut dengan biaya Rp250 per kilogram, hasilnya biaya angkut per zak (60 kilogram) sebesar Rp12.500.
“Sehingga ongkos transportasinya mencapai 20% dari harga barang yang diangkut. Overload itu cenderung terjadi di negara-negara yang masih mengandalkan bahan-bahan mentah sebagai komoditas unggulan,” kata Kyatmaja Lookman Djaya, Wakil Ketua Bidang Distribusi dan Logistik DPP Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo).
Lebih lanjut ia mencontohkan, ketika menambahkan value added, misal handphone seharga Rp10 juta per unit diangkut dengan biaya Rp100 ribu per unit, maka biaya transport itu hanya 1%. Karena itu di negara produsen barang jadi atau final product biaya logistik cenderung lebih rendah.
i negara manapun di dunia yang pendapatan per kapitanya tinggi, transport cost relatif konsisten, dan biaya logistik cenderung lebih rendah. Contoh lain, satu botol air mineral di Indonesia seharga Rp5.000 biaya kirimnya Rp1.000 atau 20%. Sementara di Singapura, barang yang sama harganya S$2 atau Rp20.000 biaya transportasinya Rp2.000 atau 10%, sehingga transport ratio-nya juga lebih rendah.
Di Indonesia, di mana konektivitas transportasi intermoda dengan angkutan massal sangat rendah, menyebabkan 90% transportasi logistik menggunakan truk. Point to Point adalah metode paling tidak efisien, jika dijumlahkan secara total.
Persaingan usaha di sektor transportasi sangat ketat karena banyaknya pelaku usaha. Dalam bisnis transportasi ada lima komponen utama, yaitu kendaraan (truk), sumber daya manusia, bahan bakar, investasi, administrasi dan maintenance. Biaya semua komponen tersebut naik mengikuti inflasi, kecuali bahan bakar. Tapi anehnya, tarif angkut tidak pernah bisa naik, kecuali jika harga bahan bakar naik.
“Jadi, karena harga bahan bakar di tahun 2018 masih di bawah harga puncaknya di tahun 2013, maka jadi jika logistic cost kita naik, saya jamin itu bukan karena truk. Kondisi ini mendorong para pengusaha truk harus memuat lebih banyak. Jika tidak, ya tidak akan survive,” kata Lookman
Untuk truk sumbu 3, daya angkutnya terus bertambah dari 15 ton menjadi 25 ton, kemudian 35 ton, bahkan 45ton. Bahkan, agen tunggal pemegang merk (ATPM) pun mengeluh, truk yang dibuat di Indonesia terlalu kuat. Akibatnya, ongkos produksi menjadi mahal dan produk yang dihasilkan tidak mampu bersaing di pasar ekspor. Sebuah truk tronton 3 sumbu buatan Indonesia beratnya bisa mencapai 11 sampau 12 ton. Sedangkan di negara lain bobotnya sekitar 9 sampai 10 ton.
“Di negara lain berlomba menurunkan beban truk agar bisa memuat banyak sesuai ketentuan, sementara di sini kita malah adu otot agar mampu memuat sebanyak-banyaknya melebihi ketentuan.”
Peraturan mengenai muatan truk yang menjadi acuan bagi industri angkutan logistik di Indonesia pun tidak memacu pengusaha menjadi lebih kreatif, justru memacu untuk adu otot, siapa yang muat paling besar dan banyak, akan menang dalam kompetisi.
Jika di negara lain menggunakan acuan gross vehicle weight (GVW) atau jumlah berat bruto (JBB), di Indonesia menggunakan acuan jumlah berat yang diizinkan (JBI) atau kelas jalan. Ketentuan mengenai JBI terdapat dalam Undang Undang No.22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan.
Menurut Lookman, acuan JBI pun sudah waktunya direvisi, karena menggunakan acuan ban 900 (tahun 1970-1990-an), di mana sekarang semua truk sudah menggunakan ban dengan lingkar luar 1000 milimeter, 1100, bahkan 1200.
Jika aturan ini tidak direvisi, maka daya angkut armada truk Indonesia tidak akan bisa berkompetisi dengan negara lain. Selain itu, aturan mengenai kecepatan truk juga menjadi kendala, karena muatan yang overload maka kecepatan kendaraan juga tidak bisa sesuai dengan aturan. Selain rangka chasis yang harus lebih tebal, drivetrain juga harus disesuaikan.
“Ibarat naik sepeda, gear depan besar sedangkan yang belakang kecil, kita akan bisa berlari kencang, tapi berat ketika masuk jalan menanjak. Tapi jika kita balik, gear depan kecil, belakang besar, maka kita akan mudah sekali menanjak dan mengangkut beban berat. Tapi di jalan datar dengan muatan ringan, truk jalannya mirip siput. Ini yang mengakibatkan kemacetan,” papar Lookman.