Dalam peradaban manusia modern, peran minyak dan gas bumi sangat besar, bahkan menentukan. Meskipun saat ini beberapa negara di Eropa, Asia Timur, Australia, dan Amerika Utara mulai menggunakan sumber bahan bakar terbarukan, namun secara umum pertumbuhan ekonomi satu kelompok manusia atau negara, bisa diukur dari tingkat konsumsi migas masyarakat negara tersebut.
Sebagai contoh, Indonesia dengan jumlah populasi terkini yang mencapai 260 juta jiwa, total konsumsi bahan bakar per harinya setara 1,6 juta barel minyak. Sehingga, setiap orang Indonesia menghabiskan bahan bakar migas rata-rata 1,06 liter per hari.
Angka ini relatif tinggi, karena di beberapa belahan lain di dunia, masih banyak kelompok manusia atau negara yang rata-rata konsumsi bahan bakar migasnya sangat kecil, jauh di bawah Indonesia.
Konsumsi bahan bakar migas ini memberi gambaran betapa derap perputaran roda ekonomi di tiap belahan dunia ini masih timpang. Dengan kata lain, hal ini juga menunjukkan kesenjangan tingkat peradaban dan kesejahteraan umat manusia saat ini sangat lebar. Berikut delapan negara terendah di dunia diukur dari rata-rata konsumsi migas per orang per hari.
Mali (0,04 liter)
Mali adalah salah satu negara dengan wilayah terluas di Afrika Tengah yang letaknya terkungkung di antara negara lain. Negara ini tidak memiliki laut, sebagian wilayahnya berupa gurun tandus dan kering.
Dengan kondisi geografis seperti itu, Mali amat tergantung pada pasokan bahan makanan dari negara lain, sehingga fluktuasi harga komoditas sangat ekstrim. Mali memiliki populasi penduduk 18,67 juta jiwa, hanya 10% dari penduduknya tinggal di bagian utara, yang merupakan bagian terbesar dari teritori negara ini.
Maka tidak mengherankan jika konsumsi bahan bakar minyak dan gas di Mali menjadi yang terendah kedua di dunia, sebesar 5.440 barrel per hari. Dengan jumlah penduduk 18,67 juta jiwa, maka rata-rata konsumsi migas per penduduk per hari di negara ini hanya 0,04 liter.
Padahal, pada abad ke-15 dan ke-16 Mali memiliki peranan penting sebagai jalur perdagangan yang menghubungkan negara-negara di Afrika Utara dan Afrika Barat, juga secara tidak langsung dengan pedagang dari Eropa.
Hal itu pula yang membuat Timbuktu, yang terletak di utara Mali menjadi pusat kebudayaan Islam. Kota Timbuktu terkenal dengan Universitas Sankore dan madrasah lainnya yang menjadi pusat penyebaran agama Islam di Afrika berabad lampau.
Perekonomian Mali sebagian besar bertumpu pada pertambangan dan produksi komoditas pertanian, peternakan, dan perikanan air tawar. Daerah pertanian yang paling produktif terletak di sepanjang tepi Sungai Niger, Delta Niger yang juga dikenal dengan nama Macina atau Masina di sebelah selatan Gurun Sahara dan wilayah barat daya di sekitar Sikasso.
Sebagian besar penduduk di pedesaan Mali menggunakan sistem pertanian subsisten, yang berarti hasil produksi pertanian mereka hanya cukup untuk kebutuhan pangan keluarga mereka masing-masing, bukan untuk dijual ke pasar.
Mali adalah salah satu dari sepuluh negara termiskin di dunia, merupakan penerima utama bantuan luar negeri dari berbagai lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia, African Development Bank, dan Arab Funds.
Baca juga: Defisit Anggaran Terparah Negara Penghasil Minyak
Somalia (0,06 liter)
Sejak awal berdirinya pada tahun 1960, Somalia kerap dilanda konflik horizontal yang membuat banyak warganya menderita. Upaya untuk memulihkan perdamaian, stabilitas dalam negeri dan kemajuan ekonomi baru menemui jalan terang pada tahun 2012 dengan pembentukan parlemen dan pemilihan presiden yang pertama sejak 1967.
Musuh terbesar Somalia selain iklim politiknya adalah kekeringan yang menyebabkan di sektor pertaniannya sangat rentan. Hal itu menyebabkan warganya sering mengalami kekurangan pangan.
Konsumsi minyak mereka tidak lebih dari 5.650 barel per hari untuk memenuhi kebutuhan 14,84 juta penduduknya yang sebagian besar tinggal di sekitar ibu kota Mogadishu. Rata-rata penduduk Somalia mengonsumsi minyak dan gas setara 0,06 liter per hari.
Perekonomian Somalia ditopang oleh hibah, pengiriman uang, dan investasi langsung dari warga negara Somalia yang berdiaspora di negara lain. Sejak 2013, komunitas donor telah memberikan hibah lebih dari US$4,5 miliar untuk kemanusiaan dan pembangunan.
Laos (0,08 liter)
Laos adalah negara di Asia Tenggara yang konsumsi bahan bakar fosilnya paling minim. Konsumsi minyaknya hanya berkisar di angka 3.520 barel per hari. Jika dibagi dengan jumlah penduduknya yang mencapai 6,88 juta orang, maka rata-rata konsumsi migas per orang di negara berhaluan komunis itu tidak lebih dari 0,08 liter per hari.
Salah satu penyebab rendahnya konsumsi migas di negara itu adalah kurangnya infrastruktur jalan raya. Laos hingga kini masih belum memiliki jaringan rel kereta api meskipun ada rencana pembangunan rel yang menghubungkan ibu kota Laos, Vientiane dengan Thailand yang menjadi negara tetangganya di sebelah barat.
Desa-desa yang jauh dari kota besar hanya dihubungkan oleh jalan tanah yang mungkin jarang pula dilalui oleh moda transportasi darat. Listrik pun belum banyak dinikmati oleh penduduk yang tinggal di pedesaan.
Sebenarnya, di Laos sudah banyak penduduk yang berpendidikan tinggi, memiliki keterampilan, akan tetapi tidak cukup banyak lapangan pekerjaan yang tersedia untuk mereka. Akibatnya banyak dari mereka yang pindah ke luar negeri.
Pada tahun 2005, Bank Dunia melaporkan bahwa 37% dari penduduk Laos yang berpendidikan tinggal di luar negeri. Hal itu menempatkan Laos di urutan ke-5 di dunia untuk konteks ini.
Republik Demokratik Kongo (0,09 liter)
Republik Demokratik Kongo tidak dapat dilepaskan dengan sejarah panjang pertikaian, perang saudara, dan korupsi. Sebuah kisah klasik dari kelompok negara dunia ketiga. Padahal Kongo memiliki sumber daya alam yang sangat besar, berbagai jenis mineral dan migas, tersimpan di tanah Kongo.
Republik Demokratik Kongo dengan luas wilayah mencapai 2,345 juta kilometer persegi adalah negara dengan wilayah terluas di benua Afrika, setelah Sudan Selatan memisahkan diri dari Sudan.
Total konsumsi bahan bakar negara di Afrika barat daya ini hanya 9.320 barel per hari. Sementara jumah penduduknya mencapai 81,94 juta jiwa. Maka rata-rata konsumsi BBM per hari penduduk Kongo hanya 0,09 liter per orang.
Sangatlah wajar, karena setelah merdeka dari Belgia tahun 1960, negara ini selalu dilanda perang saudara yang menyebabkan sekitar enam juta nyawa rakyat Kongo melayang. Maka, kegiatan ekonomi hanya berlangsung di ibu kota negara, Kinshasa. Itu pun untuk kegiatan-kegiatan ekonomi yang sifatnya sangat mendasar, seperti pembangkit listrik dan transportasi.
Buruknya situasi politik dan kondisi ekonomi Kongo, menyebabkan rendahnya tingkat kesehatan dan kesejahteraan warganya. Kemiskinan adalah potret umum masyarakat Kongo. Pada pemilu tahun 2011 dan sebelumnya tahun 2006 yang dimenangkan Joseph Kabila, para petugas pemungutan suara harus berjalan kaki berhari-hari untuk membawa kartu suara ke TPS karena tidak adanya sarana transportasi yang memadai.
Presiden pertama Indonesia, Soekarno mengirim Pasukan Perdamaian Garuda II ke Kongo pada 10 September 1960. Lalu ketika konflik horizontal mendera Kongo pada 1998 dan awal tahun 2017, Indonesia turut serta dengan misi PBB bernama Konga XX-M.
Selama satu tahun bertugas, Kontingen Garuda Kizi TNI XX-M/MONUSCO dengan personel sebanyak 175 orang sudah membangun berbagai fasilitas publik di kota Dungu, seperti perbaikan dua ruas jalan utama sepanjang 101 kilometer di Faradje dan Makalimbo, pembangunan gedung sekolah dan sarana ibadah (gereja dan masjid), perbaikan bangunan penjara, perbaikan tiga jembatan utama, serta pembangunan gedung pemuda dan pers Dungu.
Sierra Leone (0,09 liter)
Sierra Leone adalah sebuah negara di Afrika Barat yang menghadap ke Samudera Atlantik di sebelah barat. Di titimangsa peradaban modern, Sierra Leone mengalami perang sipil yang brutal sejak awal dekade 1990 sampai tahun 2002.
Perang baru usai setelah Presiden Ahmad Tejan Kabbah dari Partai Rakyat Sierra Leone meminta bantuan militer kepada pasukan Nigeria dan kemudian Inggris, untuk mengusir kelompok pemberontak. Perang itu dipicu oleh kekayaan alamnya berupa berlian dan mineral lainnya. Kelompok-kelompok pemberontak mempunyai sumber dana untuk bertikai, dari penguasaan tambang berlian ilegal.
Kini di bawah kepemimpinan Presiden Ernest Bai Koroma, seorang broker asuransi yang menang dalam Pemilihan Presiden secara demokratis pada tahun 2007, dan terpilih kembali pada tahun 2012, banyak kemajuan yang dicapai. Pertambangan tetap menjadi industri primer dan komoditas utama ekspor.
Namun demikian, ekonomi yang berbasis industri belum berkembang di Sierra Leone. Salah satu indikasinya, tingkat konsumsi migas negara ini hanya 4.400 barel per hari. Dengan jumlah penduduk 7,59 juta jiwa, rata-rata konsumsi migas rakyat Sierra Leone hanya 0,09 liter per hari per orang.
Perang sipil selama lebih dari satu dekade (1990-2002) menyebabkan standar hidup tetap sangat rendah, dan infrastruktur dasar tidak memadai di seluruh negeri.
Korea Utara (0,09 liter)
Korea Utara, jika dideskripsikan dalam tiga kata: Otoriter, Nuklir, dan Tengil. Bagaimana tidak, negeri yang dipimpin oleh diktator berpipi tembem ini kerap menghiasi media internasional dengan percobaan senjata nuklirnya yang sembarangan.
Berdasarkan data dari situs Global Fire Power yang menghitung kekuatan militer di setiap negara, Korea Utara yang berpenduduk 25,52 juta jiwa ini memiliki tentara aktif sebanyak 1,3 juta personel dan tentara cadangan sebanyak 7,7 juta personel, menjadikan Korea Utara negara yang memiliki tentara terbanyak di dunia.
Uniknya, konsumsi bahan bakar fosil Korea Utara termasuk yang paling rendah, yakni 15.000 barel per hari, atau rata-rata konsumsi migas penduduk Korea Utara hanya 0,09 liter per orang per hari. Hal itu dimungkinkan karena negeri ini sudah menggunakan reaktor nuklir untuk menghasilkan listrik. Akan tetapi, itu tidak cukup untuk penerangan di malam hari.
Korea Utara jika dipantau dari satelit pada malam hari, seperti tidak ada kehidupan, hampir seluruh wilayahnya gelap. Tak heran, negara tersebut masuk ke dalam deretan negara pengonsumsi bahan bakar terendah di dunia.
Bhutan (0,42 liter)
Dalam novel ‘The Lost Horizon’, karya James Hilton diceritakan satu kelompok wisatawan barat berusaha menyelamatkan diri dengan pesawat dari Perang Dunia II dengan mendarat di lembah pegunungan Himalaya. Lembah ini didekripsikan terperinci oleh Hilton.
Dia menceritakan tentang salah satu biara yang dihuni oleh Capuchin Lama berusia dua puluh tahun. Biara itu memuat seluruh kekayaan budaya di dunia dan tujuannya adalah untuk melawan kekerasan dan materialisme. Bangunan-bangunan besar menjulang di lembah gunung putih yang besar, gunung paling indah di dunia.
Bhutan adalah negara yang paling mendekati deskripsi dari novel tersebut, bahkan karena alamnya yang masih perawan dan pemandangannya yang identik dalam novel James Hilton itu, kini Bhutan disebut sebagai Shangri-La terakhir.
Letaknya terhimpit antara dua negara ekonomi terbesar, China di utara dan India di Asia Selatan. Bhutan bisa dibilang masih menyandang status negara terbelakang. Pasalnya pihak Kerajaan Bhutan memang sengaja mengontrol pengaruh luar yang masuk, utamanya dari China, sembari dengan ketat menjaga tradisi kunonya.
Penduduk Bhutan yang sebagian besar beragama Budha baru dapat menikmati tayangan televisi pada tahun 1999, setelah Raja Jigme Singye Wangchuck mencabut larangan siaran televisi dan internet, dan membuat rakyat Bhutan menjadi masyarakat terakhir yang mengenal televisi.
Di tahun 2020 Perdana Menteri Bhutan, Tshering Tobgay menargetkan pengurangan 70% impor bahan bakar fosil, mengingat negara tersebut tidak memiliki infrastruktur jalan yang memadai. Negara ini terdiri atas pegunungan yang konturnya kasar, sehingga industri otomotif tidak berkembang. Sejak Juli 2014 impor kendaraan berbahan bakar fosil pun dihentikan, diganti dengan mobil listik.
“Listrik seperti minyak untuk kita dan merupakan sumber daya yang paling melimpah,” kata Perdana Menteri Tshering Tobgay. Maka, tak heran rata-rata konsumsi bahan bakar penduduk Bhutan adalah salah satu yang terendah di dunia.
Total konsumsi migas Bhutan hanya 2000 barrel per hari. Apabila dirata-ratakan, dengan jumlah populasi yang hanya 750.000 jiwa, rata-rata konsumsi migasnya hanya 0,42 liter per hari per orang.
Sekali lagi, meskipun Bhutan lamban dalam hal modernisasi dan ekonomi, tapi Bhutan menjadi unik lantaran tingkat Kebahagiaan Nasional Bruto-nya sangat tinggi. Tak heran, merujuk data PBB, Bhutan selalu masuk daftar negara terbahagia dunia.
Mauritania (0,46 liter)
Seperti negara-negara Afrika lain, Republik Islam Mauritania sebagian besar wilayahnya adalah gurun pasir. Letaknya yang berada di garis penghubung antara Afrika Utara dan sub-Sahara Afrika bagian barat membuat Mauritania memilki akulturasi budaya yang berakar dari Arab dan Berber, sebutan untuk penduduk Afrika Utara Maghribi.
Karena sebagian besar wilayahnya berupa gurun pasir, sehingga hanya 0,5% tanahnya yang relatif subur. Negara ini memiliki populasi penduduk sekitar 4,45 juta orang. Konsumsi bahan bakar minyak dan gas Mauritania hanya 13.000 barel per hari. Artinya, penduduk Mauritania hanya menghabiskan bahan bakar fosil rata-rata 0,46 liter per hari per orang.
Dibanding negara di benua hitam yang lain, Mauritania memiliki iklim politik yang relatif stabil. Memperoleh kemerdekaan dari Perancis pada tahun 1960, Mauritania sempat mengalami gejolak politik yang ditandai dengan dua kali peristiwa kudeta militer.
Pertama pada Juli 1978 saat militer menggulingkan takhta Presiden Moktar Ould Daddah, dan yang terakhir pada 6 Agustus 2008 yang ditandai dengan naiknya Jenderal Mohamed Ould Abdel Aziz. Namun kedua peristiwa tersebut tidak sampai merenggut korban rakyat sipil.
baca lainnya: Delapan Fakta Unik Korea Utara