Jakarta, Portonews.com – Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) terus mendorong inovasi teknologi terowongan. Pemanfaatan teknologi terowongan sangat dibutuhkan Indonesia yang memiliki topografi yang beragam, yaitu umumnya terdiri dari dataran rendah, dataran tinggi, perbukitan dan pegunungan.
Keberadaan terowongan dalam pembangunan jalan akan mempersingkat jarak dibandingkan pembangunan jalan yang harus memutar perbukitan atau pegunungan.
“Kendalanya adalah biaya konstruksi pembangunan terowongan masih relatif mahal. Biayanya mencapai 2-7 kali lipat, bergantung pada metode konstruksi, dibandingkan dengan membangun jalan layang. Oleh karena itu pemilhan teknologi terowongan seperti cutting/embankment, jembatan dan terowongan menjadi hal yang menarik untuk didiskusikan,” kata Direktur Jenderal Bina Marga Kementerian PUPR Sugiyartanto saat membuka Seminar Nasional Terowongan yang berlangsung tanggal 17-18 September 2018, di Bandung.
Pembangunan terowongan di Indonesia juga dihadapkan pada tantangan letak geografis Indonesia yang berada di jalur gempa dengan jalur tumbukan tektonik lempeng di beberapa pulau, seperti lempeng India-Australia, lempeng Eurasia dan lempeng Pasifik.
Untuk itu, diharapkan Sugiyartanto, melalui seminar tersebut dapat meningkatkan pengetahuan dalam pembangunan terowongan jalan, yang merupakan salah satu tugas dan fungsi dari Direktorat Jenderal (Ditjen) Bina Marga dan dapat dijadikan momentum untuk melengkapi Norma Standar Prosedur Dan Kriteria (NSPK) di bidang penyelenggaraan terowongan jalan.
Dalam tataran kelembagaan, Ditjen Bina Marga telah membentuk unit-unit organisasi yang memiliki tugas dan fungsi dalam penyelenggaraan bidang terowongan jalan, yakni Sub Direktorat Teknik Terowongan dan Jembatan serta Balai Jembatan Khusus dan Terowongan. Dari sisi keamanan, Indonesia juga memiliki Komisi Kemananan Jembatan dan Terowongan Jalan (KKJTJ) yang beranggotakan para ahli.
Sugiyartanto mengatakan, salah satu terowongan yang saat ini tengah dibangun Kementerian PUPR adalah terowongan di Jalan Tol Cileunyi-Sumedang-Dawuan (Cisumdawu) sepanjang 472 meter dengan diameter 14 meter. Pembangunan Terowongan Cisumdawu yang menembus bukit tersebut menggunakan teknologi metode New Austrian Tunneling Methods (NATM).
Selain metode NATM, terdapat juga metode Tunneling Boring Machine (TBM) yang digunakan dalam pembangunan MRT Jakarta. Sebanyak 4 (empat) unit TBM digunakan dalam melakukan penggalian terowongan yang menghubungkan jalur MRT Lebak Bulus-Bundaran HI-Setiabudi. Pembangunan terowongan juga akan diterapkan pada pada ruas tol Padang-Pekanbaru sebaanyak lima terowongan dengan total panjang 8,95 km yang menembus pegunungan Bukit Barisan. Selain di infrastruktur jalan, terowongan saat ini juga banyak digunakan dalam pembangunan bendungan.
Kepala Pusat Litbang Jalan dan Jembatan Deded P Sjamsudin dalam laporan penyelenggaraan seminar mengatakan, merupakan bagian dari kerja sama antara Puslitbang Jalan dan Jembatan dengan National Institute of Land and Infrastructure Management (NILIM) dan Public Works and Research Institute (PWRI) dari Jepang. Pengalaman Jepang dalam membangun terowongan dan kondisi topografi, densitas penduduk dan resiko gempa yang sama dengan Indonesia, dapat dijadikan rujukan dalam penyiapan kebijakan dan kebutuhan NSPK yang dibutuhkan.
Turut hadir menjadi pembicara dalam seminar tersebut, Direktur Jembatan Iwan Zarkasi, Nobuharu Isago dari Tokyo Metropolitan University, dan peneliti dari Institut Penelitian Bidang Pekerjaan Umum Jepang Atsushi Kusaka. Sebanyak lebih dari 150 orang peserta hadir dari perwakilan pemerintah, perguruan tinggi, asosiasi profesi, kontraktor, dan konsultan.