Persoalan utama yang dihadapi kota-kota besar di Indonesia adalah over population. Kelebihan jumlah penduduk dibandingkan dengan luas area perkotaan yang terbatas ini, secara otomatis menyebabkan tingkat kepadatan penduduk per kilometer persegi menjadi sangat tinggi, over density.
Ketika satu kota mengalami over population atau over density, maka seribu satu persoalan ikutannya akan timbul, mulai dari persoalan sosial, ekonomi, keamanan, budaya, pendidikan, dan lingkungan hidup.
Karena di negara demokrasi tidak mungkin memindahkan penduduk dengan cara dipaksa atau setengah dipaksa, maka langkah-langkah yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah meminimalisir dampak dari populasi berlebih tersebut, melalui penataan ruang dan pembangunan infrastruktur yang langsung menyentuh kehidupan masyarakat.
Seperti instalasi penyediaan air bersih, saluran penampung dan penyaluran air (gorong-gorong), sistem pengelolaan dan pengolahan sampah, pengaturan pembangunan jalan raya, transportasi umum, pembangunan permukiman massal, pengadaan alat pemadam kebakaran, pembangunan infrastrutur pendukung pemeliharaan sungai, dan infrastruktur sosial dan area bermain untuk anak-anak.
Dengan tersedianya bermacam infrastruktur tersebut, dengan dukungan informasi dan perbaikan sistem pendidikan, masyarakat perkotaan akan bertransformasi menjadi green-oriented society.
Pengamat masalah perkotaan yang juga pengajar di Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Ahmad Gamal mengatakan, dalam konteks ekologis, ada tiga komponen dalam konsep green-oriented society.
Pertama, minimum emission, artinya dalam kegiatan sehari-hari diupayakan untuk menekan seminimum mungkin volume karbon dari proses pembakaran, seperti penggunaan kendaraan bermotor, mesin-mesin kombusi, kompor, dan penggunaan listrik.
Kedua, minimum waste, pola hidup dengan limbah seminimal mungkin, baik limbah organik, limbah non-organik, dan limbah kimia cair dan padat. Ketiga, sustainability of growth, tingkat kehidupan masyarakatnya bisa terus tumbuh secara berkelanjutan. Sebagai catatan, penduduk yang tinggal di sana, tidak pindah ke lain tempat. Hanya penataan dan kualitas permukiman dan lingkungannya menjadi lebih baik, lebih sehat.
Namun, sering kali banyak proyek yang diklaim sustainable tapi menggusur permukiman warga. Itu tidak green-oriented. Masalah terbesar kita itu sering kali proyek yang sustainable harus berskala besar. Tapi, karena skalanya besar tidak ada lahan yang memadai.
“Jadi sering kali harus dilakukan penggusuran warga. Harus dipikirkan bagaimana caranya pembangunan itu tidak menggusur warga,” kata Gamal.
Gamal berpendapat bahwa model yang ditawarkan Bank Dunia, dimana warga terpaksa harus pindah dari rumahnya, maka pemerintah harus menyediakan tempat yang tidak menutup atau memperkecil akses ekonomi dan lapangan kerjanya. Misalnya, kalau petani, tempat tinggal barunya tidak jauh dari lahan pertanian yang digarapnya, kalau nelayan, harus gampang melaut.
“Itu yang pertama, tidak memutus akses usaha. Itu cukup baik, artinya bukan penggusuran, tapi relokasi.”
Kedua, dalam konsep relokasi itu, penduduk yang terpaksa pindah harus mendapatkan tempat tinggal dan lingkungan yang lebih baik dari tempat yang digusur.
Misalnya, sebelumnya tinggal di rumah 100 meter persegi, maka tempat tinggal yang baru harus lebih baik dan lebih luas bangunannya. Jadi tidak boleh ada penurunan kualitas. Ketiga, tidak ada paksaan terhadap warga. Kalaupun mereka pindah, itu adalah pilihannya.
“Jadi aspeknya tiga, tidak memutus lapangan kerja, harus ada peningkatan kualitas, minimal sama. Dan yang ketiga, dia harus punya pilihan,” jelas Gamal.
Mengenai infrastruktur perkotaan, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono, mengatakan bahwa pembangunan infrastruktur yang dilakukan pemerintah juga mencakup penataan di kawasan kumuh di perkotaan.
“Di samping pembangunan infrastruktur berskala besar, kami juga memfokuskan pada pembangunan infrastruktur dasar bagi masyarakat miskin di perkotaan, misalnya penyediaan air minum, sanitasi, pembangunan ruang terbuka hijau (RTH) dan penataan kawasan kumuh,” kata Basuki kepada wartawan.
Penataan kawasan kumuh perkotaan yang dilakukan Kementerian PUPR dinamai program ‘Kotaku’, akronim dari ‘Kota Tanpa Kumuh’. Dalam menjalankan program tersebut, pemerintah pusat bekerja sama dengan pemerintah daerah, pihak-pihak yang berkompeten untuk mempercepat pengurangan kawasan kumuh perkotaan, sejalan dengan Gerakan 100-0-100.
Gerakan 100-0-100 adalah proyek Ditjen Cipta Karya pada periode 2015-2019 dalam mewujudkan 100% akses aman air minum, 0% kawasan permukiman kumuh, dan 100% akses sanitasi layak di seluruh Indonesia. Proyek ini membutuhkan dana sebesar Rp 800 triliun, karenanya pemerintah juga mengajak sektor swasta, mengingat rata-rata anggaran dari APBN per tahun hanya Rp 25,6 triliun.
Per tahun 2014, luas kawasan permukiman kumuh di Indonesia mencapai 38.431 hektar. Kementerian PUPR sudah menyelesaikan penataan kawasan kumuh di berbagai kota di seluruh provinsi di Indonesia, seluas 2.162 hektar.
Hal berikutnya yang harus dibenahi dari masalah perkotaan, Gamal melanjutkan, adalah transportasi. Seperti diketahui, hampir semua kota besar di Indonesia memiliki sistem transportasi yang buruk. Sistem transportasi massal seolah hanya diperuntukkan untuk masyarakat kelas menengah ke bawah.
Setelah pembenahan pemukiman, sistem transportasi massal harus disesuaikan dengan penyebaran penduduk. Misalnya, bagaimana transportasi massal yang layak mudah diakses oleh warga untuk menuju tempat kerja.
Tapi yang paling krusial, kata Gamal, pembangunan tidak boleh semata-mata pembangunan fisik. Tapi harus dipikirkan secara sangat lokal, pembangunan yang diusung itu harus menciptakan banyak lapangan kerja untuk masyarakat sekitarnya.
“Misalnya ada mal yang dibangun di atas lahan yang tadinya perumahan informal. Mungkin argumentasi terbesar adalah pembangunan mal itu bisa menciptakan lapangan kerja. Tapi apakah lapangan kerja itu untuk orang yang tergusur atau untuk orang lain? Jadi sebetulnya replacement itu harus memberi kesempatan bagi masyarakat yang harus ‘rela’ tergusur,” kata Gamal.
Terkait dengan densitas penduduk di kota-kota besar di Indonesia yang sangat tinggi, seperti Jakarta, Bandung dan Surabaya, sementara di kota lain densitasnya sangat rendah, artinya penyebaran sumber-sumber ekonomi terpusat di kota-kota besar. Secara ekologis dan sosial, di kota-kota dengan densitas penduduk sangat tinggi itu sudah jenuh. Kualitas lingkungan hidupnya rendah, begitu juga kualitas kehidupan sosialnya.
Hal itu menjadikan replacement sebagai sebuah keharusan. Di sisi lain, perlu ada awareness dari penduduk untuk bisa memahami, menerima kebijakan pemerintah atas tempat tinggalnya. Sehingga kebijakan yang ditawarkan pemerintah harus compatible dengan tingkat civilization masyarakatnya.
Menurut Gamal, ada dua hal mengenai kepadatan penduduk, yaitu kepadatan kesempatan (ekonomi) dan kepadatan penduduk. Ini dua hal yang berbeda. Kesempatan untuk berusaha, bekerja di kota-kota besar ini jauh lebih tinggi dibandingkan kesempatan di tempat lain. Tapi kalau kita bicara soal kepadatan penduduk, Gamal berpendapat sebetulnya Jakarta bukan kota yang padat, karena pembangunan permukiman belum sepenuhnya vertikal.
Di Indonesia, khususnya di Jakarta saat ini, masyarakat yang tinggal di permukiman vertikal justru masyarakat kelas menengah. Sementara masyarakat kelas bawah tinggal di permukiman tapak yang kumuh. Bahwa kota besar membutuhkan masyarakat dari berbagai lapisan sebagai penggeraknya.
Masyarakat lapisan bawah yang juga berkontribusi dalam memutarkan roda ekonomi inilah yang tinggal di permukiman tapak yang kumuh. Tentu saja, kekumuhan itu tidak hanya persoalan lingkungan dan fisik bangunan yang tidak sehat dan tidak memadai, tapi kekumuhan itu melahirkan dan menumbuhkan berbagai persoalan ikutannya.